24 Juni 2014

Lima kutukan


Penulis.Cmst

Aku lahir. Gajahmada melepas
jangkar. Melabuhkan armada tempur
di pantai leluhurku. Malam biru.
Seperti jubah laut masa lalu.

Ayahku nelayan tua bermata ungu.
Suka bercengkerama dengan ikan,
ombak, rasi biduk, dan perahu.
Ibuku dayang istana, perayu ulung,
penakluk muasal kata, penadah titah
yang patah.

Suatu malam raja
melepas lelah dalam rahim ibu. Aku
terjaga. Aku benih, gabungan sudra
dan ksatria, hanyut menggenangi
gema genta pendeta. Aku putra
jadah. Rasi bintang yang sendiri.
Terbuang, tak diakui. Meski raja
mencintaiku, namun takhta adalah
utama, setelah titah. Ibu mengeluh.
Aku pasrah. Maka, nelayan tua
bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan janji-janji
Gajahmada, sang penakluk terkutuk.

Aku belajar memanah tangis.
Menebas air mata. Raja merestuiku
jadi laskar. Di garis depan aku
bertempur. Demi leluhur, istana,
dan raja-ayah yang dulu tak
menghendakiku. Namun lacur, aku
gugur. Seperti pokok jati yang rubuh
di musim kering. Lambungku lebih
mencintai tombak ketimbang ombak.

Ruh berputar. Cakra punarbhawa.
Ratusan tahun kemudian, kembali
aku menitis. Ibuku pelacur
terhormat bagi serdadu bermata
biru. Dipuja dan dimuliakan,
lantaran pinggul bulat, payudara
kelapa gading, dan suara merdu
merayu. Bertahun kemudian ibu
digilir lelaki kuning bermata sipit.
Tak tahu aku, siapa sesungguhnya
yang pantas kusebut ayah? Apa
mungkin langit kupanggil ayah?
Dalam tubuhku mengalir darah
serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati
gantung diri, setelah lelah meladeni
serdadu ke seribu, yang haus, ganas
dan beringas.

Aku tumbuh menjadi penjudi,
centeng pelabuhan, pemain
perempuan, sekaligus mucikari bagi
priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku
tersihir api revolusi yang menyembur
dari mulut Soekarno. Seakan
mengenang masa silam, kembali aku
mengasah naluri tempur. Pin merah-
putih di peci, sesuatu yang
kubanggakan sebagai harga diri.
Revolver di pinggang dan senapan di
tangan. Aku memimpin pasukan
menyerbu tangsi dan gudang
senjata. Namun, seperti telah
dinujumkan, aku gugur
berselempang peluru musuh.

Ketika musim pembantaian tiba, aku
mekar kembali dalam keluarga buruh
tani. Usiaku sepuluh tahun saat
ayah digorok dan dikuliti, persis di
depan ibu. Darah ayah menghiasi
wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti
pohon tanpa daun. Ibu gila dan
menghuni rumah sakit jiwa, lalu
mati dengan batin luka parah.

Aku menjadi juru warta,
mengabarkan sengkarut negeri. Aku
menjadi musuh tirani. Suatu malam,
kelam gemetar di udara. Suara parau
burung hantu membawa derap
langkah sepatu lars. Kepalaku
dibungkus kain hitam, dipaksa
masuk kendaraan yang melaju entah
ke mana.

Koran mengabarkan aku lenyap,
tanpa jejak. Mereka tak tahu aku
dipaksa menjadi penghuni liar
kerajaan bawah laut. Aku belajar
menyukai aroma garam yang
menggelembungkan perut dan
jiwaku. Menari bersama ubur-ubur,
menyanyi bersama penyu hijau yang
terusir, hiu kelabu, ganggang dan
kerang. Dari suram bawah laut,
ruhku berputar tak tahu arah.

Aku lahir kembali di lorong kumuh
sebuah perkampungan kaum lanun,
bromocorah, paria, begundal, sundal
dan bajingan. Ayahku turunan
perompak. Kakekku sahabat ombak.
Suka mabuk. Pernah memerkosa
perempuan bisu di geladak. Lalu
lahirlah ayahku, pohon palam yang
mencintai malam.

Ayahku raja pasar gelap.
Penyelundup kayu. Juragan candu.
Ketika aku bocah, ayah menguap.
Jadi buron polisi dan preman. Ada
kabar ia mati di comberan. Tubuh
bugil, putih-pucat, dan penuh rajah.

Ada tujuh lubang luka yang
membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari telanjang
termasyhur. Paha bercahaya,
payudara berkilau. Ibu mengajariku
menenggak anggur bercampur abu
ganja dan sedikit pil tidur. Ibu
melatihku bercinta. Ketika mabuk
aku diperkosa. Aku meronta, aku
berontak. Ibu menjerit: “aku
dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku.
Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga
purba, sukarela aku menjalin asmara
dengan ibu tiriku.

O, di mana rahim hangat ibu yang
melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai
Kuta, ke mana kau usir jukung-
jukung nelayan? Mataku silau
lampu-lampu hotel dan restoran.
Seperti tukik, lahir dari kandungan
pasir, aku merayap pada hamparan
pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada
dadanya yang putih bersih aku
menyusu. Belajar mencicipi air laut.
Mencecap asin garam untuk kali
pertama.

Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo
belia. Usiaku tujuh belas tahun
ketika mereguk cinta pertama,
seakan menyentuh batu mulia, pada
mata jelita negeri salju. Rambut
yang separuh pirang, menyisakan
gerak bayang pada siang. Mata
seteduh lautan, biru yang kurindu,
yang memeram kelam topan.

Maka, cerita baru pun kubuka:

Di pantai aku merayu, seakan alpa
akan duka masa lalu. Kubah langit
jadi jingga. Biru laut mengental
pada kerling matamu. Perahuku
oleng, arus mabuk. Pasir masih
sisakan lokan, bercampur uang
kepeng bekas upacara dan tutup
botol Coca Cola. Kau berlari kecil
dan tertawa renyah ke arah senja
yang melindap harap. Buih putih
meraba mulus betismu yang ranum
tangkai bunga leli.

Seperti ibu yang
setia, aku menunggu di rindang
pohon ketapang. Memandangmu
memainkan senja yang ragu dan
gemetar meniti ombak liar.

Seorang
nenek renta bertopi caping memilin
helai-helai rambut kusutku jadi
beribu warna pelangi, yang melulu
sepi.

Agak ragu kau membujuk,
mengajakku menyulam malam dalam
selimut kusam. Kau ingin aku
bernalam, beralaskan tilam, berkisah
perihal silsilah masa silam
leluhurku, kawanan lanun yang
kalah.

Malam melata. Dinding kamar
samar. Lampu biru. Cahaya gagu.
Kau menawariku anggur. Kita
bersulang, untuk sesuatu yang
mungkin hilang. Meski getir dan
letih, aku telah berkisah. Kini,
izinkan aku membajak lekuk tubuh
pualammu, hingga baris-baris sajak
lumer seperti roti kering tercelup
cappucino hangat.

Upacara dimulai. Gaun kau simpan.
Kita berdansa perlahan. Irama sunyi
nyanyi serangga menghiasi malam.
Setengah mabuk kita rebah di atas
springbed, hamparan surga kelabu.
Beringas kau menyerbu, melumatku
tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di
pangkal paha. Cangkang kerang
mengerang. Seribu pesona
menganga. Kulit lembut teratai
merah muda. Di muka gapura
permata camar- camar memekik lirih,
meluncur dari nganga bibirmu.

Menghambur tak tentu arah. Sesat
dalam lebat rimba bakau. Lalu bau
kambium melunak. Aroma ganggang
meregang, setelah getar terakhir
pinggulmu, penakluk pertapa bisu
yang menyepi di tengah teluk. Ada
sedu sedan tertahan. Dan pantai
pun menjerit manja saat ombak
pasang menyatukan dua benua.

Lalu, igaumu menyusur malam,
menjalar di atas kasur dingin. Uap
garam pada kulit tembaga. Getar
anggur di pangkal lidah. Sebutir
pasir di ujung puting. Lekukmu
seindah teluk yang selalu kelabu.

Usai upacara kecil itu, kau
memaksaku keluyuran. Seperti
pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian
yang bising, berisik, sesak, pikuk dan
sibuk. Padahal aku telah nyaman
melipat tubuh dalam selimut.
Seperti janin dalam rahim hangat
ibu.

“Come on, honey! The night is very
nice!”

Setengah memaksa, setengah
dipaksa, bagai bocah dungu aku
mengikutimu. Sambil menyambar
syal, selinting mariyuana kau
nyalakan. Aku meraba bungkus
kretek di saku jaket. Kau tertawa
jenaka. Mata birumu menuju
bintang, yang bingung berebut
cahaya dengan kerlap-kerlip lampu
pub.

Agak mengerak dalam benakku,
waktu itu puncak malam Sabtu.
Udara dingin Oktober, merembes
membasahi arus darah. Namun,
dalam pub itu, panas tubuh berbagi
panas tubuh, tawa menyilang tawa.

Piringan hitam melantunkan I
Started A Joke, lagu terakhir yang
kau pesan dari DJ berambuk ombak.

Mataku perih. Asap tembakau
berbaur bau tubuh bule, mariyuana
dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku
terkenang aroma karbol. Di sudut
remang, bibirmu meraba bibirku.
Lidahmu yang panas- meski kau dari
negeri salju-memberangus lidahku
yang bau hujan tropis.

Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba
padam. Malam mendadak membara.
Panas mengelupas mulus tubuhmu.
Bagian tubuhku seperti memasuki
liang tanpa cahaya, lubang penuh
lendir. Aku gugup. Kau gemetar.
Urat-urat darahmu coba meraba
geletar asing yang mendedah ruh
dan tubuh di ruang pengap kamar
yang terbakar.

Terasa ringan, aku kapas diempas
angin. Dari dalam udara, aku
melihat tubuh-tubuh menyerpih.
Ada bau daging gosong. Orang-orang
bingung. Sirine ambulance ngeri,
meraung tak henti.

Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala
terbuka sebelum waktu. Seperti
lokan buta yang meraba dengan
sungut, ruhku tertatih meraba
kegelapan jalan terakhirku. Aku
perlu peta, menyibak rute pelayaran,
menyusuri gelombang pinggul yang
bagai badai. Napasku tercekik belelai
gurita raksasa, tepat saat jari-jari
tanganmu ingin raih bulan di atas
samudra.

Pada parak pagi, kutemukan tubuhku
remuk di antara tumpukan puing
dan abu. Bibirmu yang ranum
menganga, menadah derita di atas
basah aspal jalan. Seribu camar tak
henti memekik dan berhamburan tak
tahu arah.

Kemudian, hari, minggu, dan bulan.
Sesuatu yang disebut waktu,
bergelantungan di pucuk-pucuk
pohon waru. Seorang gelandangan
lusuh menyusur Jalan Legian. Aku
terkesima! Gelandangan lusuh itu,
aku sendiri!

Hanya baju-baju kaus pengabar
duka, pamflet setengah hangus,
seikat bunga layu, potret kekasih dan
orang tercinta berjajar pada pagar
seng kusam. Saling berebut
perhatian, tertuju pada semua
penjuru mata.

Mungkin pernah seorang relawan
menemukan biji mata biru pada sisa
abu. Pinggul setengah matang. Atau
mungkin gema tangis dari sisa
puing. Mengambang dalam malam
bergerimis. Uap alkohol bercampur
sisa embun.

Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir
yang sia-sia menempel di kaca
jendela diskotek. Ada bekas
ganggang biru dan sedikit sengat
ubur-ubur pada gambar naga di
lengan kanan. Sisa garam pada
rambut yang separuh hangus. Betis
mulus yang terkelupas seperti
mangga matang, yang pernah
memukau lanun, membajak gelinjang
yang terus meradang, mengerang,
menggasing dalam putaran sembilan
bulan. Seperti kekunang tersihir
cahaya gemintang.

Tak ada lagi mantra penolak bala
atau sesaji penenang ruh. Pun
karangan bunga muram. Mungkin
hanya sebutir aspirin, jarum suntik
dan lima linting mariyuana,
teronggok di sudut kamar kusam.

Kaukah ruh, asal segala keluh dan
jenuh? Atau aku noktah yang akan
terhapus dari kenangan. Atau aku
ruh, yang berkisah perihal waktu,
yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau
kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari
satu tubuh ke lain tubuh. Seperti
burung-burung yang diusir musim
dingin. Pintu rahim siapa mesti
kuketuk lagi, demi ruh yang tak
henti mengembara. Aku letih
menyusuri garis edarku sendiri.

Aku
bukan matahari, bukan bulan, bukan
bumi. Aku noktah pada hamparan
semestaMu. Bila aku mengakui
adaMu, apa harus aku
mempercayaiMu?

Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku
sebilah kelewang berkilau dan kuda
putih. Aku hanya sudi menjelma
ketika usia bumi merapat tua. Itulah
akhir titahMu, akhir kembaraku.
Itulah saat aku mengukur umurku
sendiri, mengumpulkan remah-
remah karma.

Atau titiskan aku lagi 666 tahun
kemudian, ketika bumi menjadi
lapisan es. Aku akan menjelma ikan-
ikan cahaya, yang menghuni lubuk
paling kelam dari samudra
membeku, dari jiwa paling kelabu.
Dan Kau? Kau membeku dalam
istanaMu!.

Lalu lalang malapetaka berahir di sudut legian.

Cmst.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar