28 Februari 2014

Dibantai Air Mata (Cerpen)

Buat penggemar matahari,
malam selalu menakutkan.
Karena hanya pada malam,
semua khayalan tentang iblis
dan hantu memiliki tempatnya.

Malam entah kenapa selalu
memecahkan rongga-rongga
dada dan membuat denyut
jantung lebih cepat.
Terkadang gemerisik angin terlembut
pun entah kenapa tetap membuat
helaan napas menjadi lebih berat.

Malam adalah waktu di mana hanya
boleh dimiliki oleh orang-orang yang
menahbiskan dirinya pada kekuatan
hati. Benar hanya orang yang berhati
kuat yang akan berani menghadapi
malam. Seperti para pemberani di
desaku. Suatu tempat amat elok di
kaki gunung Jaganmantri. Gunung
yang kontur tanahnya menyerupai
payudara ranum ibu yang baru
melahirkan itu benar-benar sangat
cantik. Ibu semesta begitu setiap
kali ada orang yang bertanya
tentang arti Jaganmantri.

Desaku sangat indah luar biasa.
Setiap pagi saat matahari pertama
kali menyetubuhi bumi, genting-
genting rumah berkilauan bersahut-
sahutan dan dari kilau itu
bermunculan warna-warni seperti
pelangi yang menyilaukan memantul
ke angkasa. Seperti selendang para
bidadari bertebaran di langit yang
begitu tampak selalu tertawa.
Seluruh negeri ini tahu bahwa
pantulan kilau dari genting itu
adalah air mata yang membeku
sehingga bisa dibentuk apa saja.
Benar semua benda di desaku
terbuat dari kristal-kristal airmata
yang membeku. Mulai dari jalan
desa, rumah-rumah, bahkan
beberapa baju yang dipakai
penduduk tebuat dari pintalan
warna-warni kristal airmata.
Tidak ada satu orang pun tahu siapa
yang pertama kali membuat adonan
airmata sehingga bisa dibentuk
menjadi apa saja itu. Desaku
menjadi desa terindah di seluruh
negeri dan airmata adalah hal yang
sangat biasa ditemukan di sini.
Penduduk desaku hidup dari
airmata. Apapun yang kami lakukan
selalu diiringi airmata. Bahkan ketika
di saat-saat bahagia sekalipun, saat
bersenang-senang, airmata selalu
harus hadir di sana. Kami tidak
mengenal airmata kesedihan
ataupun kebahagiaan. Kami hanya
mengenal airmata adalah napas.
Seperti detak jantung yang
berdentam setiap detik, airmata di
desa ini pun adalah hidup mereka.
Di sini diyakini orang yang semakin
mengeluarkan airmata adalah orang
yang benar-benar bahagia. Tak
heran salah satu seniman nomor
satu di desa ini mampu membuat
satu komposisi dari lolongan tangis
dan tawa sekaligus.

Konon komposisi ini pernah ditawar
salah satu produsen besar dari
ibukota, tapi seniman itu tak
melepaskan karena si produser
ternyata tidak bisa mengeluarkan
airmata. Ke mana pun penduduk
desa ini pergi mereka tampak selalu
membawa tas berisi botol besar air
mineral kosong dan spons. Karena
ketika airmata merekan mengucur
deras, segera disapunya dengan
spons dan diperas hati-hati ke dalam
botol air mineral tersebut. Sangat
lazim telihat orang-orang membawa
lebih dari satu botol. Airmata dari
botol-botol tersebut terus
dikumpulkan ke dalam sebuah
koperasi unit desa untuk kemudian
diolah menjadi potongan 2 baluk
kristal airmata sebagai bahan dasar
apa pun benda di desa itu.
Potongan-potongan kristal itu terus
diolah menjadi berbagai macam
kebutuhan.

Begitulah desaku begitu damai dan
nyaman penuh keberlimpahan
dengan airmata. Airmata yang
menjadi hidup dan juga bahagia.
Orang-orang sederhana dengan
airmata bercucuran ternyata
membuat hati orang-orang di desaku
menjadi orang-orang kuat luar biasa.
Orang-orang yang pemberani.
Bahkan malam dengan kepekatan
akan duka sekalipun tak mampu
membuat mereka menghindar dari
gulita. Setiap menjelang senja, saat
roh-roh tua mulai ingin
mengembara, para lelaki di desaku
segera keluar menghadap ke barat.
Dengan penuh cinta dibungkukkan
badan mereka dalam sikap berdoa.
Mereka tidak menganggap matahari
itu Tuhan, tetapi mereka percaya
saat matahari mulai membakar kaki
langit dengan ujung-ujung lidah
apinya sehingga langit berubah
kemerahan, saat itu pula seluruh
alam raya ini menangis sejadi-
jadinya. Nah, karena tangisan alam
raya inilah maka mereka
membungkuk menghormatinya
karena mereka merasa bahkan alam
raya turut merestui tangisan-
tangisan yang mereka haturkan
sebagai puja. Sungguh jika malaikat
kesayangan Tuhan sekalipun pasti
akan selalu merasa senang tinggal
di desa itu. Desa yang penuh air
mata, tetapi begitu bahagia luar
biasa ini. Hingga suatu hari ada
yang merubah segalanya.

Awalnya terjadi dari kedatangan
salah satu warga yang sudah lama
merantau. Entah karena sudah lama
merantau hingga lupa bagaimana
caranya mengeluarkan air mata atau
memang dia tidak mau lagi
mengeluarkan air matanya. Tentu
saja pada awalnya para penduduk
terheran-heran bagaimana bisa
lelaki itu tidak lagi mengeluarkan air
mata. Ketika ditanya mengapa dia
tidak mengeluarkan air mata oleh
kepala desa yang diyakini sangat
sakti karena mampu mengeluarkan
air mata seputih susu sungai-sungai
sorga itu, jawabannya sungguh
mengglegarkan “Airmata hanya untuk
para perempuan. Lelaki tidak
menangis. Karena hanya lelaki
pengecut saja yang menangis.”
Sungguh, kalimat itu seperti angin
puting beliung yang merontokkan
semua peradaban dalam satu helaan
napas. Semua lelaki yang
mendengarnya langsung tanpa sadar
menghentikan air matanya. Sejak
saat itu, terjadilah proses
penghentian besar-besaran air mata
oleh para lelaki di desa itu. Wajah-
wajah lelaki di desa itu yang tadinya
begitu ringan dan penuh dengan
harapan, tiba-tiba menjadi tegang
dan tampak sekali ada desakan-
desakan air yang mati-matian
ditahan di dalam sekat-sekat
dadanya. Benar, lelaki tidak
menangis. Begitu jargon baru yang
terjadi didesa itu dan itu fatal.
Sejak saat itu pula para lelaki
menempatkan dirinya lebih tinggi
daripada para perempuan di desa
itu. Lelaki-lelaki yang tadinya mau
membantu para perempuannya
memasak, menjahit dan mengurus
anak tiba-tiba menjadikan diri
mereka tuan. Air mata hanya milik
kaum perempuan. Karena hal ini,
maka sejak hari lelaki berhenti
menangis, tidak ada lagi lelaki yang
membawa botol mineral kemana-
mana. Koperasi pengolah air mata
mulai kesulitan pasokan karena
hanya kaum perempuanlah yang
menyetor air mata. Tentu saja
pasokan itu tidak akan cukup
mensuplai kebutuhan. Terlebih
kompisisi mineral air mata lelaki dan
perempuan berbeda. Balok-balok
kristal air mata menjadi menurun
kualitasnya. Orang akhirnya
mencampurnya dengan air untuk
memproduksi apa saja. Tentu saja
ini sama sekali menghancurkan.
Setiap pagi pelangi-pelangi yang
berkilau karena terpaan matahari di
atap-atap kristal air mata rumah-
rumah penduduk mulai berkurang
kadar warnanya. Meredup pelan-
pelan seperti detak jarum yang
berputar terbalik, makin lama warna
itu makin samar dan begitu tipisnya.
Desa itu benar-benar menjadi desa
yang sedih sesedih-sedihnya. Air
mata menjadi barang langka, tetapi
kesedihan menjadi begitu berakar.

Hingga satu hari koperasi pengelola
balok kristal air mata itu
menyatakan bangkrut. Mereka tak
sanggup lagi berproduksi karena
suplai air mata hampir tidak ada
lagi. Air mata yang tersedia begitu
buruk kualitasnya karena hanya air
mata perempuan sehingga tidak
mampu lagi membuat kristal yang
solid tanpa air mata lelaki. Ketika
menyadari bahwa balok kristal air
mata tidak ada lagi, mulailah mereka
panik. Kepala desa membunyikan
kentongan tanda para lelaki harus
berkumpul, “Ini sebuah kesalahan,
lelaki boleh menangis karena kita
butuh air mata untuk kelangsungan
hidup kita, mari kita menangis lagi.”
Dia pun mulai mengejap-kejapkan
matanya untuk memanggil roh air
mata agar kembali hadir, tanpa
sadar semua lelaki yang hadir
mengikutinya. Tetapi roh air mata
mereka memang sudah tidak ada
lagi. Mereka pun mulai panik.
Semakin keras mereka berusaha,
semakin air mata tidak lagi keluar.
Bahkan karena terlalu keras hanya
darah yang keluar dari mata mereka.
Tentu saja itu bukan air mata karena
berwarna merah. Air mata seperti
suara Tuhan, begitu bening dan
sejuk.

“Roh air mata itu harus kita cari,
kalau perlu ke ujung dunia pun
harus kita buru,” begitu akhirnya
keputusan kepala desa itu dalam
keputuasaannya. Begitulah, sejak
hari itu banyak lelaki keluar dari
desaku. Mereka memburu air mata
ke seluruh pelosok negeri. Ada yang
berhasil ada pula yang tidak. Ada
yang pulang dengan membawa
bergalon-galon air mata, ada yang
mengirimkan lewat kilat khusus,
tetapi ada juga yang pulang hampa
sia-sia. Lelaki perantau pencetus
gagasan penghapusan air mata bagi
lelaki itu menghilang entah kemana.
Konon, ada yang pernah melihat dia
secara diam-diam menghilang ke
atas gunung dalam penyesalannya
karena telah membuat desanya
menjadi berantakan. Tetapi ada juga
rumor yang menyebutkan bahwa saat
dia menyebarkan propaganda anti
air mata itu sebenarnya dia telah
disuruh oleh setan yang tidak
pernah ingin melihat manusia
bahagia. Entah benar atau tidak,
yang jelas sekarang ini sangat jarang
ditemui lelaki di desaku. Kebanyakan
mereka telah menjadi pemburu air
mata. Mereka akan sangat mudah
ditemui di kota-kota besar maupun
kecil. Dengan berbagai cara mereka
akan membuat orang-orang
menangis, yang paling sering
dilakukan adalah menjadi
pendongeng cerita-cerita sedih
dimana ketika para penonton
beramai-ramai menangis maka si
pendongeng akan buru-buru
mengambilnya dengan sponsnya dan
dimasukkan kedalam botol air
mineralnya.

Demikianlah, desaku yang tadinya
begitu damai dan indah kini menjadi
sunyi. Kesunyian yang begitu
menyayat. Kesunyian yang
melahirkan pekat. Seloka-seloka yang
disenandungkan perempuan yang
tinggal hanyalah senandung
kesepian yang dibungkus rapat
dengan kerinduan, karena para lelaki
mereka menjadi pemburu air mata
dan tidak tahu kapan mereka
pulang. Benar-benar desa yang tidak
bahagia. Mereka sering sekali
merindukan waktu lalu, dimana air
mata begitu mudah didapat, sangat
bening seperti hati. Mereka begitu
mendendam kepada lelaki pencetus
ide penghapusan air mata. Dendam
yang melahirkan bara di dada. Bara
yang melahirkan air mata api.
Air mata menjadi makin langka.
Air
mata pada akhirnya melahirkan
hanya lolongan. Air mata pada
akhirnya menjadi absurd maknanya
dan para pemburu air mata tak
pernah lelah memburunya karena
mereka benar-benar tahu bahwa
hidup mereka akan kembali penuh
dengan air mata. Ya, karena dari air
mata akan melahirkan tawa.

Lotim 23 maret
Terima kasih untuk semua air mata yang sudah menjadi guruku.

27 Februari 2014

=WAHAI SEDULURKU ADAM SUFI BADANKU TIDUR ROHKU TERJAGA GERAKKAN AKU NUR MUHAMMAD===

Lombok 2009
______________________________

Sudah terlalu sering kita bahas di
banyak forum, termasuk di blog KWA
bahwa untuk mengenal Tuhan
seseorang harus terlebih dahulu
mengenal dirinya. Maksudnya, untuk
sampai kepada pengenalan terhadap
Tuhan, haruslah terlebih dahulu
dipahami dua hal. Pertama, ia harus
terlebih dahulu mengenal asal mula
akan kejadian dirinya sendiri, dari
mana, di mana dan bagaimana ia
dijadikan? Kedua, ia harus terlebih
dahulu mengetahui apa sesuatu
yang mula-mula dijadikan oleh Allah
SWT. Kedua perkara di atas menjadi
prasyarat kesempurnaan bagi para
salik dalam mengenal Allah.
Kita paham, yang mula-mula
dijadikan oleh Allah adalah Nur
Muhammad SAW yang kemudiannya
dari Nur Muhammad inilah Allah
jadikan roh dan jasad alam semesta.
Bermula dari Nur Muhammad inilah
maka semua roh termasuk roh
manusia diciptakan Allah sedangkan
jasad manusia diciptakan mengikut
jasad Nabi Adam as.
Karena itu, Nabi Muhammad Saw
adalah ‘nenek moyang roh’
sedangkan Nabi Adam as adalah
‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari
penciptaan Adam as sendiri adalah
berasal dari tanah, tanah berasal
dari air, air berasal dari angin, angin
berasal dari api, dan api itu sendiri
berasal dari Nur Muhammad.
Sehingga pada prinsipnya roh
manusia diciptakan berasal dari Nur
Muhammad dan jasad atau tubuh
manusia pun hakikatnya berasal dari
Nur Muhammad. Jadilah kemudian
‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur
35), di mana roh yang mengandung
Nur Muhammad ditiupkan kepada
jasad yang juga mengandung Nur
Muhammad.
Bertemu dan meleburlah roh dan
jasad yang berisikan Nur Muhammad
ke dalam hakikat Nur Muhammad
yang sebenarnya. Tersebab
bersumber pada satu wujud dan
nama yang sama, maka roh dan
jasad tersebut haruslah disatukan
dengan mesra menuju kepada
pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat
Wajibul Wujud yang memberi cahaya
kepada langit dan bumi, dan yang
semula menciptakan, sebagaimana
mesranya hubungan antara air dan
tumbuhan, di mana ada air di situ
ada tumbuhan, dan dengan airlah
segala makhluk dihidupkan (QS. Al-
Anbiya 30).
Pengenalan terhadap hakikat Nur
Muhammad inilah maqam atau
stasiun yang terakhir dari pencarian
akan makrifah kepada Allah,
Martabat Nur Muhammad inilah
martabat yang paling tinggi, dan
pengenalan akan Nur Muhammad
inilah yang menjadikan ilmu menjadi
sempurna.
Nur Muhammad mempunyai dua
bentuk, yakni Nabi Muhammad yang
dilahirkan dan menjadi cahaya
rahmat bagi alam “tidaklah engkau
diutus wahai (Muhammad Rasulullah
Saw) melainkan menjadi rahmat bagi
seluruh alam” dan yang berbentuk
Nur.
Nur Muhammad adalah cahaya
semula yang melewati dari Nabi
Adam ke nabi yang lain bahkan
berlanjut kepada para imam maupun
wali; cahaya melindungi mereka dari
perbuatan dosa (maksum); dan
mengaruniai mereka dengan
pengetahuan tentang rahasia-rahasia
Illahi. Allah telah menciptakan Nur
Muhammad jauh sebelum diciptakan
Adam as. Lalu, Allah menunjukkan
kepada para malaikat dan makhluk
lainnya, bahwa: “Inilah makhluk
Allah yang paling mulia”. Oleh itu,
harus dibedakan antara konsep Nur
(Muhammad) sebagai manusia biasa
(seorang Nabi) dan Nur Muhammad
secara dimensi spiritual yang tidak
dapat digambarkan dalam dimensi
fisik dan realitas.
Nur Muhammad sebagai prinsip aktif
di dalam semua pewahyuan dan
inspirasi. Melalui Nur ini
pengetahuan yang kudus itu
diturunkan kepada semua nabi,
tetapi hanya kepada Ruh
Muhammad saja diberikan universal.
Nur Muhammad memiliki banyak
nama sebanyak aspek yang
dimilikinya. Ia disebut ruh apabila
dikaitkan dengan ketinggiannya.
Tidak ada kekuasaan makhluk yang
melebihinya, semuanya tunduk
mengitarinya, karena ia kutub dari
segenap ruh. Ia disebut al-Haqq al
Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat
pencipta), hanya Allah yang tahu
hakikatnya secara pasti.
Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena
tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal
pertama) karena wadah pengetahuan
Tuhan terhadap alam maujud, dan
Tuhanlah yang menuangkan
sebagian pengetahuannya kepada
makhluk. Adapun disebut al-Ruh al-
Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada
kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh
Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur)
adalah karena ia adalah
perbendaharaan ilmu tuhan dan
dapat dipercayai-Nya. Oleh itu,
tajalli al-Haq yang paling sempurna
adalah Nur Muhammad. Nur
Muhammad ini telah ada sejak
sebelum alam ini ada, ia bersifat
qadim lagi azali. Nur Muhammad itu
berpindah dari satu generasi ke
generasi berikutnya dalam berbagai
bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk
nabi penutup (khatamun nabiyyin),
Muhammad Saw.
Dalam teori martabat tujuh
dipahami bahwa dunia manusia
merupakan dunia perubahan dan
pergantian, tidak ada sesuatu yang
tetap di dalamnya. Segalanya akan
selalu berubah, memudar, dan
setelah itu akan mati. Oleh karena
itulah, manusia ingin berusaha
mengungkap hakikat dirinya agar
dapat hidup kekal seperti Yang
Menciptakannya. Untuk mengungkap
hakikat dirinya, manusia
memerlukan seperangkat
pengetahuan batin yang hanya
dapat dilihat dengan mata hati yang
ada dalam sanubarinya.
Seperangkat pengetahuan yang
dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah.
Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu
pengetahuan yang dapat dijadikan
pedoman bagi manusia untuk
mengenal dan mengetahui Allah.
Ilmu ma‘rifatullah dipilah menjadi
dua macam, yaitu ilmu makrifat
transeden dan ilmu makrifat imanen.
Tuhan menyatakan diri-Nya dalam
Tujuh Martabat, yaitu martabat
pertama disebut martabat tidak
nyata dan martabat kedua sampai
dengan martabat ketujuh disebut
martabat martabat nyata,
terinderawi. Yakni, martabat
Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa);
martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat
yang Esa); martabat Wahidiyyah
(ke-’ada’-an asma yang meliputi
hakikat realitas keesaan); Keempat,
martabat Alam Arwah; martabat
Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam
(alam benda); dan martabat Alam
Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas,
keberadaannya terjadi bukan melalui
penciptaan, tetapi melalui emanasi
(pancaran). Untuk itulah, antara
martabat transenden atau martabat
tidak nyata dengan martabat imanen
atau martabat nyata secara lahiriah
keduanya berbeda, tetapi pada
hakikatnya keduanya sama.
Seorang Salik yang telah mengetahui
kedua ilmu ma‘rifatullah, ia akan
sampai pada tataran tertinggi, yaitu
tataran rasa bersatunya manusia
dengan Tuhan atau dikenal dengan
sebutan Wahdatul-Wujûd. Hal
tersebut dapat dianalogikan dengan
air laut dan ombak. Air laut dan
ombak secara lahiriah merupakan
dua hal yang berbeda, tetapi pada
hakikatnya ombak itu berasal dari air
laut sehingga keduanya merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat
terpisah.
Maqam Nur Muhammad adalah
maqam paling tinggi dari pencarian
dan pendakian sufi menuju makrifah
kepada Allah, tiada lagi maqam atau
stasiun paling tinggi sesudah ini.
Kesimpulannya, berbahagialah
orang-orang yang dapat
menyandingkan penyatuan sumber
asal mula penciptaannya dalam satu
harmoni, yakni Nur Muhammad,
sebab ia berada pada satu
kedudukan yang tinggi dan
terbukanya segala hijab yang
membatasinya.
Allah telah menciptakan Nur
Muhammad dan Nur itu telah
diwarisi melalui generasi nabi-nabi
hingga ia sampai kepada Abdullah
bin Abdul Muthalib dan turun
kepada Nabi Muhammad Saw.
“sesungguhnya yang mula-mula
dijadikan oleh Allah adalah cahaya-
ku (Nur Muhammad)”.
Sesungguhnya Allah menciptakan
sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu
daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur
tersebut berkeliling dengan Qudrat-
Nya sekira-kira yang dihendaki Allah.
Padahal tiada pada waktu itu lagi
sesuatu pun; tidak ada lauh
mahfuzh, qalam, sorga, neraka,
Malaikat, langit, bumi, matahari,
bulan, jin dan manusia; tiada apa-
apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari nur inilah kemudian diciptakan-
Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy.
Allah kemudian memerintahkan
qalam untuk menulis, dan qalam
bertanya, “Ya Allah, apa yang harus
saya tulis?” Allah berfirman:
“Tulislah La ilaha illallah
Muhammad Rasulullah.” Atas
perintah itu qalam berseru: “Oh,
betapa sebuah nama yang indah dan
agung Muhammad itu, bahwa dia
disebut bersama Asma-Mu yang
Suci, ya Allah.” Allah kemudian
berkata, “Wahai qalam, jagalah
kelakuanmu ! Nama ini adalah nama
kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku
menciptakan arsy, qalam dan lauh
mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari
Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku
tidak akan menciptakan apa pun.”
Ketika Allah telah mengatakan
kalimat tersebut, qalam itu terbelah
dua karena takutnya akan Allah dan
tempat dari mana kata-katanya tadi
keluar menjadi tertutup, sehingga
sampai dengan hari ini ujung nya
tetap terbelah dua dan tersumbat,
sehingga dia tidak menulis, sebagai
tanda dari rahasia ilahiah yang
agung. Maka, jangan seorangpun
gagal dalam memuliakan dan
menghormati Nabi Suci, atau
menjadi lalai dalam mengikuti
contohnya (Nabi) yang cemerlang,
atau membangkang dan
meninggalkan kebiasaan mulia yang
diajarkannya kepada kita.
Berikut salah satu ilmu dalam
khasanah budaya nusantara agar kita
bisa menuju Nur Muhammad yang
Agung tersebut. Baca, hapal, hayati,
resapi dan amalkan dalam hidup
sehari-hari:
by
admin Cmst.bts.monta

rahasia hurup alif lam mim

post..
by Cmst
___________

Lombok 2009.
Mungkin kita sering bertanya
mengapa Alif Lam Mim dijadikan
sebagai ayat per tama dalam Al-
Quran setelah surat Al-fatihah? Lalu
mengapa Al-fatihah dan Alif Lam
Mim berada disurat per tama dan
diawal surat kedua dalam Al-Quran,
padahal wahyu yang per tama kali
turun adalah Al-alaq 1-5?
Dalam sebuah artikel yang pernah
saya baca, bahwa jalan hidup yang
harus kita jalani didunia mulai dari
per tama dilahirkan sampai dengan
meninggal ada dalam Al-Quran.
Mulai dari kewajiban yang harus
kita lakukan ketika per tama kali
kita dilahirkan, kewajiban yang
harus dilakukan ketika tumbuh
menjadi anak – anak, remaja,
dewasa sampai dengan meninggal
dunia termaktub dalam Al-Quran
pada juz 1 – 30.
Jalan hidup yang harus kita lalui
harus berdasarkan atas surat Al-
Fatihah yang mana sebagai induk
dari Al-Quran. Lalu setelah itu, kita
mengikuti alur dari juz – juz yang
terkandung dalam Al-Quran.
Sebagai contoh ketika kita berumur
20 tahun, maka alangkah baiknya
kita mempelajari juz 20 dari Al-
Quran itu sendiri. karena hal – hal
yang akan kita hadapi, kewajiban
yang harus kita lakukan pada usia
20 tahun terdapat dalam Al-Quran
dalam juz ke-20. begitu juga
seterusnya.
lalu bagaimana seandainya umur
kita sudah lebih dari 30 tahun,
sedangkan dalam Al-Quran sendiri
hanya terdapat 30 juz? Maka saat
itulah, masa kita untuk
mengamalkan semua yang telah
kita pelajari dari juz 1 – 30 dari Al-
Quran. karena, kebanyakan dari
manusia, mendapat ujian
kehidupan yang paling banyak pada
usia 1 – 30 tahun. karena pada
masa itu, manusia mendapat
banyak ujian nafsu, harta dan
segala macam godaan.
Lalu apa salah satu rahasia dan
kekuatan dari “Alif Lam Mim”,
sehingga dijadikan sebagai ayat
pertama dari surat Al-Baqarah?
ketika kita baru dilahirkan didunia
ini, ternyata Allah SWT
menginginkan kita mempelajari
“Alif Lam Mim”. karena itulah 3
macam pilihan jalan kehidupan
manusia didunia. “Alif Lam Mim”
terdiri dari huruf ” ﻡ ﻝ ﺍ ” yang
mana 3 huruf ini mempunyai
kandungan makna yang sangat
dahsyat.
Huruf pertama, yaitu ” ﺍ = Alif ”
menjelaskan manusia yang pada
masa hidupnya, berada pada jalan
yang lurus sebagaimana huruf
“Alif” tersebut. Yaitu, manusia
yang selalu mentaati segala
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya,
menjaga hawa nafsunya, mulai dari
pertama dia dilahirkan sampai
dengan meninggal dunia. Yang
mana jalan hidupnya selalu
diridho’i oleh Allah SWT. sehingga
surga Firdaus selalu menantikan
manusia – manusia seperti ini.
Huruf kedua, yaitu ” ﻝ = Lam ”
menjelaskan manusia yang jalan
hidupnya seperti huruf “Lam”,
ketika dia baru dilahirkan dia
berada dijalan yang lurus. Tetapi
setelah menjalani tahapan
kehidupan, ketika dia tumbuh
menjadi anak – anak, remaja,
dewasa dan sebelum meninggal
dunia dia telah berbelok kekiri, dia
meninggalkan semua kewajiban,
tidak mentaati Allah SWT dan rasul
– Nya. dia melupakan jalan
kehidupan yang seharusnya dia
lalui, Jalan lurus yang sudah
diberikan oleh ALlah SWT sebelum
dan ketika dia dilahirkan dibumi
melalui hidayah – Nya. Dan
malaikat Malik pun sudah siap
menunggunya dipintu neraka.
Naudzubillah min dzalik.
Huruf ketiga, yaitu ” ﻡ = Mim ”
menjelaskan manusia yang jalan
kehidupannya seperti huruf “Mim”.
dia berputar – putar dalam
kehidupannya mencari kebenaran,
tapi diakhir tahapan pencariannya
dia menemukan jalan lurus. Yang
mana ketika dia baru dilahirkan,
dia berada dijalan yang lurus. Tapi
ketika dia tumbuh dan beranjak
dewasa dia berputar – putar sendiri
dalam kehidupannya mencari jalan
kebenaran sejati. Dan akhirnya
dengan izin Allah SWT diakhir
pencariannya, dia menemukan jalan
yang diridho’i oleh Allah SWT. Dan
surga pun siap menerimanya.
Lalu jalan kehidupan manakah yang
akan kita pilih???
Jalan kehidupan seperti huruf ” ﻡ
ﻝ ﺍ ” “Alif” kah, “Lam” kah atau
“Mim” kah???
Semoga kita selalu dijalan yang
benar, dan terhindar dari jalan
kehidupan seperti huruf ” ﻝ “.
Amin.

Pohon Imbe di Belakang sekolah (cerpen)

BATU SAMBAK 1992.Sudah enam puluh tahun
Imbe itu tegak di pekarangan
belakang sekolah itu. Walau
usia sudah mengelupas kulit
batangnya, namun dia tetaplah
yang paling menjulang di
antara pepohonan yang ada di
sekeliling.
Di ujung akarnya yang menjentang
di permukaan tanah, dengan bersila
beralaskan tikar pandan, duduklah
Reni susilawati sejak beberapa saat
yang lalu.
Mantan guru itu duduk dengan
tegak. Usia tidak membuat
punggungnya condong. Binar bola
matanya di waktu muda masih
disisakan oleh usia. Hanya pojok-
pojok mata itu yang berkerut dilukis
waktu. Rambutnya yang memutih
tidak membuat wajahnya renta.
Sinar matahari pagi mendatangkan
kecerahan pada penampilannya. Di
bawah pohon tua itu dia menanti
murid-muridnya. Tentu bukan untuk
memberikan pelajaran lagi, tetapi
guna menepati janji yang sama-
sama mereka sepakati dua puluh
tahun yang silam. Janji yang lahir
dari pedihnya kebebasan dan
kejujuran.

Susila memang cuma seorang guru
bantu, tetapi dia telah membawa
suasana baru ke sekolah itu. Dia
selalu menyelipkan kelakar untuk
menyingkirkan suasana bengis yang
selama ini merajai ruang belajar.
Kedudukannya sebagai guru tidak
mengungkungnya untuk menjaga
jarak dari murid. Dia memperlakukan
mereka layaknya anak sendiri.
Teman malah.
Terkadang dia memberikan tanda
mata berupa manisan atau alat tulis
kepada murid, yang menurutnya,
pada hari itu telah menunjukkan
upaya yang lebih besar
dibandingkan kemarin. Dengan
begitu, penghargaan itu tidak hanya
monopoli murid yang paling pandai,
tetapi juga menjadi sumber
kepercayaan diri bagi mereka yang
telah berusaha untuk menyayangi
diri sendiri dengan berbuat lebih
baik. Untuk menghidupkan suasana
kebebasan, tak jarang dia mengajak
murid-murid keluar kelas dan belajar
dengan bergerombol mengelilingi
Imbe di pekarangan belakang.
Ke kelas mana pun dia
menampakkan diri, simpati dan
sukacita tumpah padanya. Matanya
yang berbinar dan senyumnya yang
murah acapkali memancing murid-
murid pria, yang suka iseng, diam-
diam menyambut kedatangannya
dengan suitan. Dia tidak hanya
menjadi buah bibir di sekolah,
tetapi juga bahan pujian di meja
makan ketika murid-muridnya
menceritakan kepada orangtua
mereka tentang seorang guru yang
cara mengajarnya membuat mereka
betah di kelas.

Begitu masuk kelas, dia bukannya
langsung memerintahkan murid-
murid untuk membuka buku
pelajaran, tetapi memulainya dengan
percakapan enteng tentang apa saja.
Dia menyemangati murid-murid
supaya berani mengemukakan
pendapat tentang pelajaran yang
mereka peroleh kemarin dan mimpi
apa yang mereka ingin gapai hari
ini. Muridnya memanfaatkan
kesempatan di menit-menit awal
menjelang pelajaran itu untuk
menyampaikan kritik maupun pujian.
Kuping Susila tak pernah tipis. Dia
selalu mendengar dengan sabar dan
penuh minat.
Semangat untuk menyatakan
pendapat itu rupanya sudah tidak
memperoleh ruang yang cukup kalau
hanya diutarakan dalam beberapa
menit menjelang pelajaran dimulai.
Susila kemudian menyediakan buku
harian yang dia bentangkan di dekat
pintu. Ke dalam halaman buku itu
dia persilakan murid-murid untuk
menuliskan apa saja yang mereka
rasakan, atau pikirkan, tentang
sekolah dan dunia mereka sendiri.
”Banyak yang bilang masa di sekolah
menengah merupakan penggal
kehidupan yang paling
membahagiakan. Masa keemasan itu
akan terampas ketika kita sudah
duduk di perguruan tinggi, lantaran
kehidupan senyatanya sudah di
depan mata. Benarkah itu? Tolong
beri aku jawaban. Tapi, jangan klise,
ya…!” begitu kata seseorang di buku
harian itu.

”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana
mengajarkan matematika supaya
menarik, bukannya seperti
menyuapkan simbol-simbol yang
menyebalkan, mati, dan diajarkan
dengan sikap yang sukar dibedakan
apakah guru atau monster?!” tulis
yang lain menumpahkan
kedongkolan.
Ada pula yang menulis dengan awal
yang manis, tetapi ditutup dengan
sikap seperti mau bunuh diri karena
tak ingin kehilangan: ”Sumpah,
swear! Kesemarakan hidup hanya
kutemukan di sekolah ini, pada guru
yang begitu besar cinta mereka
kepadaku. Dan teman- teman hebat
semua. Baik-baik bangat! Kalau
boleh memilih, gue kepingin mati di
sini aja.” Di sebelahnya, ada pula
yang menanggapi dengan
berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa
sih, he-he.”
Buku harian itu menjadi bahan
pembicaraan ketika muncul sebuah
kritik yang terlalu berterus terang
dan tajam di situ. ”Ini adalah
sekolah. Kata-kata guru di sini harus
menjadi kenyataan tanpa tawar-
menawar. Mereka berbicara
mengenai lingkungan yang sedang
terancam. Gak usah ngomong pake
kaka-kata segede gajah, deh.
Bicaralah tentang kamar kecil,
kawan! Bak airnya kumal. Tali air di
lantai mirip najis yang belepetan
mencari jalan keluar. Tidakkah
sekolah ini bisa memberikan contoh
yang baik bagaimana hidup yang
beriman? Kandang kuda tak
sepesing ini.”

Kabar tentang keberadaan buku
harian itu menyebar ke mana-mana.
Murid dari kelas lain turut
menikmati keterusterangan yang
mekar di halamannya. Mereka
seperti menemukan pintu masuk
menuju sebuah lekuk kehidupan
yang menenteramkan di situ. Banyak
yang cemburu mengapa di kelas
mereka tak terbentang buku tempat
mencurahkan perasaan.

Sementara
guru yang merasa tersindir di
halaman buku itu jadi kepanasan
dibuatnya. Terutama kepala sekolah.
Untuk beberapa guru, kritik dan
kecaman yang ditulis di situ terasa
seperti duri yang benar-benar
mengusik ketenangan mereka.
”Siapa lagi yang bikin demokrasi
edan ini kalau bukan si ganjen itu.
Guru bantu saja sok selangit!”

Guru-
guru yang kegerahan terkena
sentilan di buku harian itu
menebarkan kebencian dari kelas
yang satu ke kelas yang lain, dari
satu kolega ke kolega yang lain.
Hasut-menghasut membanjir supaya
buku itu diberangus, disingkirkan.
Puncaknya bukan pada kritik yang
dilancarkan para murid, tetapi pada
Reni susilawati, yang sudah tak
tahan membendung banjir
perasaannya. Untuk pertama kali dia
mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak
pernah menyangka bahwa suatu
ketika, dalam hidup ini, aku akan
menemukan kepelikan yang muncul
dari sikap korup seseorang yang
semestinya menjunjung tinggi
kejujuran. Karena kata inilah yang
justru sering dikumandangkannya di
depan murid-murid, pada setiap
upacara seninan. Dan inilah yang
menyakitkan. Dia menyuruh aku
untuk menjadi penghubung,
menemui seseorang yang akan
memberikan kunci jawaban ujian
nasional di suatu tempat. Mimpi
buruk macam apa yang kudapatkan
ini? Penghinaan seperti apa yang
sedang dia rekayasa untuk
merendahkan derajat anak-anakku?
Aku tak mau dan tak bisa terlibat
dalam kejahatan ini… Aku telah
memilih untuk meninggalkan sekolah
ini.”

Zaman sudah berkelok dan jauh
meninggalkan kodratnya. Seorang
kepala sekolah sudah bukan
lambang di mana kejujuran
menemukan bentuknya. Kartika
harus menutup buku yang menjadi
jangkar bagi para muridnya untuk
melabuhkan kata hati yang sering
datang meronta-ronta. Dia hanya
seorang guru bantu. Dia tidak
dilahirkan dan tidak dikirimkan ke
sekolah itu untuk menjadi dewi
penyelamat. Bakat sebagai
pembangkang juga dia tak punya.
Hanya saja, dia tak punya nyali
untuk menipu dan membungkam
keyakinannya sendiri. Sebagaimana
yang disumpahkannya di dalam buku
harian itu, maka dia memilih
berhenti.

Dia mengajak seisi kelas untuk
mengadakan semacam upacara
perpisahan dengannya di sekolah itu
juga, pada satu pagi di hari Minggu.
Murid-murid membawa tanda cinta
dan air mata mereka yang
penghabisan dalam bentuk kado
kecil-kecil yang mereka bungkus
sendiri. Susila membalas semua itu
dengan terima kasih dan peluk cium.
”Mari kita tanam buku ini di sini,
sebagai tanda terima kasih kepada
lembar-lembar halamannya kepada
siapa kita telah belajar tentang
keberanian dan memercayakan
perasaan kita. Lembar-lembar kertas
yang telah ikut membesarkan kita
semua. Kebebasan berpikir dan
mengungkapkan kata hati takkan
pernah bisa dibungkam. Dan itulah
yang telah kita lakukan dengan
catatan harian ini,” katanya seraya
menahan perasaan dan titik air
mata.

Seperti sedang meratapi
peruntungannya sendiri, katanya
pahit: ”Saya tahu mencari pekerjaan
buat saya tidaklah mudah. Tetapi,
saya tak pernah takut jadi miskin.
Saya hanya gentar pada kejujuran.”
Dengan kesepakatan murid-murid
yang tegak menahan emosi, buku itu
diputuskan supaya ditanam. ”Kita
yang setia kepada kejujuran diharap
datang lagi ke sini, tepat di sini, di
bawah pohon ini, pada hari ini juga,
Minggu, persis dua puluh tahun
mendatang. Kita akan lihat
bagaimana kejujuran akan
menunjukkan wajahnya. Apakah dia
pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu
membuat upacara di bawah pohon
itu terdiam oleh haru.
Dengan setangkai cangkul yang dia
bawa sendiri, Susila memulai galian
pertama, diikuti semua muridnya,
satu-demi-satu. Buku harian itu
dimasukkan ke dalam kantong plastik
dan dikuburkan di bawah pohon
imbe di pekarangan belakang
sekolah itu.
Persis dua puluh tahun kemudian,
pada hari ini, hari Minggu,
sebagaimana yang sudah disepakati,
Susila sudah duduk menanti di
antara akar-akar hariara yang
menjalar melilit-lilit memperkokoh
cengkeramannya di tanah.
Punggung Reni susilawati tetap
tegak. Juga wajahnya yang bundar
menadah sapuan angin pagi.
Matanya menatap ke pintu gerbang.
Dan dia ingat, gerbang itu dulu
terbuat dari kayu, yang kalau
dikuakkan akan berderik. Kini, pintu
masuk itu adalah besi kempa
berukir.

Waktu masih mengajar dulu, dia
selalu datang lebih awal dari murid-
muridnya. Menjadi orang pertama
yang melintas di gerbang itu, dia
selalu disambut tukang kebun yang
kini sudah tiada. Dan, sebagaimana
dulu, pada hari ini, dua puluh tahun
kemudian, mantan guru bantu itu
mendahului kedatangan murid-
muridnya guna menepati sebuah
janji untuk menyaksikan kejujuran
yang tak bisa dibengkokkan.

Mereka akan bersama-sama menggali
tanah di kaki pohon tua yang
berkeriput itu, mengeluarkan sebuah
buku harian, di mana kebebasan dan
kejujuran mereka telah menemukan
bentuknya yang paling awal. ***

Penulis

Cmst.bts.monta

Biografi Tgh.Ali Batu sakre


Tgh. Muhammad Ali Batu (Sakre)
Beliau adalah Muhammad Ali
Batu Bangke Ilang Sabil yang oleh
para sejarawan lokal maupun
Belanda dianggap sebagai tokoh
paling kharismatik sepanjang sejarah
perjuangan rakyat Lombok,
pemersatu masyarakat khususnya
umat islam baik dari kalangan
bangsawan maupun rakyat jelata
dari perpecahan dan juga sebagai
pejuang dalam perang melawan
kekuasaan penjajahan Hindu-Bali di
Lombok.
    Dengan kharisma beliau yang luar
biasa saat itu telah menjadi modal
utama dalam mempersatukan semua
kalangan yang ada di Lombok yang
terkenal sangat sulit untuk
diwujudkan dan kemudian membawa
mereka kepada satu tujuan yaitu
perjuang suci. Keretakaan-keretakan
hubungan masyarakat Lombok yang
ada tersebut tidak lepas dari
keterbelakangan dan adanya
perasaan yang selalu ingin menang
sendiri di antara mereka. Tengtang
keadaan ini dapat diketahui dari
Babad Lombok, Babad Selaparang,
Babad Sakre-Karang Asem dan
beberapa laporan dari pemerintah
Belanda,antara lain:
a. Tentang kharisma beliau yang
luar biasa itu dapat diketahui dari
sebuah laporan pemerintah Belanda
yang menjelaskan sebagai berikut:
“Di tanah ini (Lombok), Haji
Muhammad Ali menebarkan benih
thoriqotnya.......(yang menurut
catatan Belanda disebut dengan “
Sekte Nakasabandrija”).
Orang-orang berdatangan kepada
Mohammad Ali di Sakre minta dibiat
masuk thoriqotnya, kaum bangsawan
dan juga rakyat jelata menganggap
suatu keberuntungan apabila
diperboleh bergabung dalam barisan
para murid yang melakukan ziarah
ke tempat kediaman sang guru
suci......(Laporang Belanda,Minggu
28-10 s/d 4-11-1897(KV
28-11-1896,V19, hal 26-28).
b. Tentang ketolol-tololan dan
keterbelakangan pemikiran yang
membut orang Sasak saat itu selalu
terpecah-belah pada khususnya
dapat di ketahui dari Babad
Selaparang babd sakre-Karng Asem.
“Terkisahkan sekarang di Bali, sudah
siap lengkap perbekalan dan
senjata ,para Gusti di perintahkan
untuk mencari kapal layar tempat
bekal mesin dan peluru. Ada
bantuan dari Tabanan, Buleleng,
dan Mangwi juga ikut
membantu.Begitulah ceritnya
(persiapan itu) sangat baik, kata
musyawarah itu, “Raja Sasak itu
semuanya tolol.”(Babad Selaparang
Bait; 451)
“ Mule meno kelampan Sasak, ndarak
pade mele ngasorin, mele amesak-
mesak, kewastuan pade
cerengeh,marak beberas pesiaq
tetolang, ndarak pade likat mudi.....
”(Babad Sakre-Karang Asem)
c. Tentang kepahlawanan beliau dan
cita-cita perjuangannya yang suci
dapat disimak dalam laporan Van
Der Krann (1980) yang mengutip
pokok-pokok pembahasan Neeb &
Asbeck Brusse pada tahun 1897 dan
dalam Babad Lombok II.
“Pada tahun 1891 orang Muslim dari
suku Sasak di Lombok melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah
raja Bali (Anak Agung Ngurah Karang
Asem). Ini bukanlah pemberontakan
yang pertama, tetapi memeang yang
paling dahsyat. Berbeda dengan
sebelumnya, maka pemberontakan
kali ini tidak dapat di padamkan.
Pemberontakan ini telah
menyababkan berakhirnya setengah
Abad kekuasaan Bali di Lombok dan
mengundang campur tangan
Belanda.”(Van Der Krann)
Sedangkan dalam Babad Lombok II
dilukiskan tentang tujuan
perjuangan suci itu sebagai berikut :
“ Mun kesukaq Allah luih,
Te beriuk ngiring Tuan Guru,
Turut perang sabil andang Bat,
..................................................
Mun te pade menang lemaq,
Ite pade,ndek te buring te pegisiq,
Rakse,dese,dasan te iriq,
......................................................
Petin kebon bangket te kawih ndidik
anak jari,
Gen payas gumi Selaprang seseniq.
Secara terperinci tentang sejarah
kepahlawanan beliau ini dapat di
baca dalam Babad Sakre-Karng
Asem.Babad ini belum lama
berselang diterbitkan oleh Yayasan
Kerta Raharja di Sakra,berupa
stensilan dengan catatan-catatan
singkat oleh L. Djelenge.
Adapun khusus tentang sejarah
perjalanan keguruan beliau dalam
tashawuf(thoriqot), maka dapat
disimak dari kiah yang dituturkan
oleh Bapak.Guru.Syekh
Abdusshomad Habibullah sebagai
berikut:
Sejarah keguruan Muhammad Ali
berawal dari mimpi, dimana beliau
dalam mimpi itu bertemu dengan
Baha’uddin al-Naqsyabandy atau
dalam dialek(penyebutan)
masyarakat Sasak dikenal dengan
nama Syekh Ba’idin yang
memerintahkannya untuk melakukan
suatu pelayaran ke Mekkah dengan
membawa perbekalan berupa 160
biji paku,sebuah palu dan sebuah
sabuk Saje sepanjang 40 Depa.
Sampai pada mimpi yang ketiga
beliau belum juga melaksanakan
perintah mimpi itu hingga akhirnya
pada mimpi yang keempat beliau
baru berlayar dengan ditemani oleh
seorang sahabatnya yaitu Guru
Adam dari desa Aik Mual Praya.
Dalam perjalanannya, beliau
menghadapi berbagai rintangan
yang menyebabkan perahunya
pecah. GuruAdam dengan susah
payah menyelamatkan diri dan
akhirnya terdampar di desa
Pengantap Sekotong, sedangkan
beliau juga berhasil menyelamatkan
diri karena menemukan pohon Paok
Jenggik ( Paok ; Mangga ) yang
tumbuh di tengah lautan.Kemudian
teringat dengan bekal yang ada,
beliau pun mulai memanjat dengan
menggunakan paku yang dibawanya
hingga menghabiskan 100 biji paku.
Setelah sampai di atas pohon itu,
beliau melihat buahnya yang hanya
berjumlah satu biji. Namun
mendadak seketika itu seekor burung
Garuda datang dengan cepat dan
memakan buah mangga itu hingga
setengahnya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan,beliau segera
bersembunyi dan sangat hati-hati
beliau mengeluarkan sbuk saje
kemudian mengikat dirinya di kaki
burung itu.Karena burung itu hanya
memakan setengahnya saja,beliau
berfikir.”Di sini tidak ada yang bisa
saya makan kecuali buah ini.”Buah
itu pun di makannya hingga dirasa
cukup sekedar untuk mengganjal
perut.
Setelah burung itu terbang jauh
hingga sampai ke tengah hutan yang
dalam dialek Sasak disebut dengan
hutan Serandik yang ada di negeri
Mesir.Beliau melepaskankan ikatan
sabuknya untuk segera turun
sebelum burung itu sadar dan
melihatnya.Malang baginya, di
tengah hutan itu beliau di kepung
sekawanan binatang buas (srigala)
yang menyebabkan harus segera
menyelamatkan diri dengan
memanjat sebatang pohon dengan
menggunakan sisa 60 biji paku yang
dibawanya.Setelah beberapa
saat,seekor srigala yang merupakan
raja sekawanan srigala itu segera
memanggil srigala-srigala lainnya
dan kemudian beramai-ramai
mengencingi batang pohon itu
sehingga membuat batangnya
menjadi goyang.Melihat kondisi
tersebut dengan cepat beliau
mengikat kerisnya pada ujung sabuk
saje dan menjatuhkannya ke mulut
srigala hingga akhirnya binatang itu
mati.
Melihat rajanya mati,serta merta
yang lainnya ketakutan dan segera
melarikan diri. Dengan perasaan
lega dan penuh rasa syukur yang
mendalam beliau segera turun untuk
menguliti binatang itu hingga
kulitnya dapat dijadikan sebagai
pakaian penghangat.
Diperjalanan selanjutnya beliau
melewati sungai Nil, terdpat tempat
di sungai itu yang airnya dapat
dapat mengubah segala benda yang
jatuh didalam membatu(keras
bagaikan batu).Hal terbusebut
beliau menjadi takut dan ragu untuk
menyebrang. Beliau tudak berputus
asa, segera di ambilnya debu untuk
bertayamum dan kemudian
melaksanakan sholat sunat.Usai
sholat beliau berdo’a mohon kepada
Allah SWT.agar segera di
pertolongan dari kesulitan yang
dihadapinya.
Allah SWT.mengabulkan do’anya
dengan menurunkan hujan badai
dahsyat yang menyebabkan sebatang
pohon besar tumbang dengan posisi
melintang seperti sebuah titian di
atas sungai itu.Dengan hati-hati
beliau berjalan di atas pohon yang
tumbang itu dan berhasil melewati
sungai terebut. Namun karena rasa
penasaran dengan apa yang di
lihatnya, beliau mencoba untuk
membuktikan dengan mencelupkan
jari telunjuknya kedalam
sungai.Dengan kekuasaan Allah SWT.
Jari beliau segera berubah membatu
(menjadi keras bagaikan batu) dan
oleh karena jari yang telah membatu
inilah akhirnya gelar Muhammad Ali
“ Batu “ dinisbahkan kepadanya.
Singkat cerita sampailah beliau di
sebuah desa di negeri Mesir dan
mendapatkan sambutan yang luar
biasa dari masyarakatnya. Oleh
masyarakat setempat beliau
kemudian diarak ke istana Raja
(Sulthon). Karena Sulthon tertarik
dengan kulit binatang yang
dibawanya, maka dibelinya kulit
binatang itu seharga dengan empat
kantung uang dengan maksud untuk
dijadikan jimat.
Di desa itu beliau menginap di
rumah seorang penghulu agama
yang menceritakan kepadanya bahwa
Syekh yang selama ini bekiau cari itu
pada tiap tiga tahun sekali datang
berkunjung ke desa tersebut dengan
rupa yang berbeda-beda dan itulah
sebabnya mengapa ketika beliau
datang ke desa itu di sambut dan
diarak ke istana raja.Hal itu tidak
lain karena beliau dianggap sang
Syekh.Penghulu itu juga
menambahkan bahwasanya Syekh
tersebut kini sedang melakukan
suluk di Jabalil Asir (gunung Asir)
yang terletak di negeri Yaman.
Setelah mendengar cerita itu,
Muhammad Ali mohon agar
diantarkan ke tempat tersebut.
Penghulu itu menjawab bahwa ia
tidak berani pergi ke tempat dimana
Syekh berkhalwat. Kemudian
Muhammad Ali berkata:”Bila anda
tidak berani (sanggup) ke tempat
itu,maka cukuplah anda tunjukan
dimana arah menuju tempat
itu.”Oleh penghulu itu permintaan
beliau dikabulkan.
Kemudian meraka pun melakukan
perjalanan ke tempat tujuan.Ketika
mereka telah dekat,penghulu itu
kemudian menunjukan tempat yang
oloeh Muhammad Ali merupakan
tempat yang tidak asing lagi baginya
disebabkan beliau beberapakali
melihatnya di dalam mimpi.Dan
sebagai tanda terima kasihnya atas
pertolongan penghulu yang telah
menunjukan tempat itu,beliau
menghadiahkan kepadanya seluruh
uang (yang empat kantung) tanpa
tersisa sedikitpun. Ini merupakan
I’tibar (contoh) bahwa ilmu hakikat
adalah ilmu yang tidak ternilai dan
juga tidak bisa ditukar atau
dibandingkan dengan harta
berapapun banyaknya walau hanya
sekedar ditunjuki tempat
menututnya saja, apa lagi sampai
dapat menerimanya. I’brah ini
hendak menjadi renungan bagi
setiap jama’ah untuk terus
bersyukur kepada Allah SWT.karena
tidak semua orang mampu berfikir
akan tingginya ilmu ini dan juga
tidak semua orang sanggup
menghargainya sebagaimana
Muhammad Ali telah
menghargainya.
&nbs ;   Setelah itu beliau pun
bertemu dengan Syekh Ba’idin dan
langs ng mengucapkan salam
kepadanya.Namun beliau sangat
terkejut,sesampai di hadapan Syekh
Ba’idin beliau bukannya mendapat
sambutan sebagaimana yang
diharapkan,malah ebaliknya dapat
makian.Syekh Ba’idin
bertanya:”siapa yang menyuruhmu
kesini menemui saya ? “Muhammad
Ali menjawab : “Anda wahai Syekh.”
Kemudian setelah itu oleh Syekh
Ba’idin beliau dipersilahkan untuk
segera memasuki ruang Suluk
(tempat khalwat / pertapaan).Ketika
berada dalam pertapaan itulah
ubun-ubun beliau di usap oleh
Syekh Ba’idin hingga menyebabkan
beliau berteriak-teriak dan merasa
ketakutan yang luar biasa karena
perlihatkan kepadanya keadaan siksa
neraka yang konon saat itu sesaat
terasa seperti 70 tahun lamanya.
Kejadian saat itu telah meninggal
bekas yang sangat mendalam hingga
menyababkan beliau menyerah an
hidup dan matinya kepada Syekh
Ba’idin untuk mendapatkan
bimbingan.Oleh Syekh Ba’idin beliau
kemudian di perintahkan untuk
masuk kembali ketempat khalwatnya
yang kemudain ditutup dengan batu
dan di tempat itulah beliau tinggal
selama tiga tahun.
Sementara beliau berada di
tempat khalwatnya tersebut,di
Lombok sahabat beliau Guru Adam
kembali melakukan pencarian
dengan tujuan agar dapat memukan
beliau hidup atau mati.Namun
usaha pencarian itu hasilnya tetap
nihil.
Untuk kesekian kalinya allah
SWT.menunjukan kebesaran-nya,
setelah berada selama tiga tahun di
dalam batu tersebut,tiba-tiba saja
tatkala bangun beliau telah
mendapatkan dirinya berada di
rumahnya di desa sakra.Keadaan ini
bukan hanya mengejutkan dirinya
namun juga bagi keluarga dan
seluruh masyarakat desa saat itu
yang secara spontan membunyikan
kentongan tanda bahaya karena
mendengar istri Muhammad Ali
berteriak-teriak terkejut bahkan
ketakutan tatkala tiba-tiba melihat
seorang lelaki tidur di dalam
rumahnya.Hal tersebut dapat di
pahami, sebab sebelumnya beliau
dianggap sudah meninggal ketika
terdengar kabar perahu yang di
tumpanginya pecah, dan terlebih
lagi usaha pencarian yang dilakukan
oleh Guru Adam tidak menghasilkan
apa-apa.Keadaanpun kembali tenang
setelah beliau menjelaskan kepada
masyarakat semua peristiwa yang di
alaminya hingga akhirnya kembali ke
desa Sakra.
Selang beberapa waktu di Sakra,tiba-
tiba beliau mendapatkan sepucuk
surat dari Ba’idin memerihtahkannya
agar kembali berlayar ke negeri
Mekkah dengan pesan apabilah
telah mendekati pelabuhan Jeddah
nanti pada hari jum’at tengah hari
(sekarang kira-kira pukul 12:00 siang)
untuk segera masuk ke sebuah
masjid masjid yang terletak di
tengah lautan untuk melaksanakan
sholat jum’at.
Kemudian beliau berangkat dan
sampai di tempat itu pada waktu
yang sesuai dengan apa yang tertulis
dalam surat.Ketika beliau memasuki
masjid,nampak suasana sepi tanpa
seorang pun berada didalam.Namun
keadaan tiba-tiba berubah,dalam
waktu sekejap entah darimana
asalnya jama’ah yang terdiri dari
para waliyullah telqah memenuhi
ruang masjid.Kemudian setelah
khutbah jum’at Syekh Ba’idin datang
untuk mengimami sholat jum’at dam
Muhammad Ali berdiri tepat di
belakangnya.
    Usai sholat,para waliyullah secara
perlahan kembali menghilang dan
keadaan pun kembali menghilang
dan keadaan pun kembali kecuali
beliau dan Syekh Ba’idin.karena
khawatir Syekh Ba’idin juga akan
meninggalkan tempat itu,segera
beliau ikatkan jarinya ke surban
Syekh Ba’idin hinggaketika sang
Syekhhendak meninggalkan tempat
itubeliau merasa dad yang menarik
surbannya.Syekh Ba’idin pun tau
kalau Muhammad Ali ada berada di
belakangnya dan dengan segera
kemudian beliau memanggil
kembalijama’ah sholat jum’at (para
waliyullah) untuk berkumpul serta
mengumumkan bahwa Muhammad
Ali adalah tempat menutup segala
pangajian.dan di masjid inilah
Muhammad Ali untuk pertama
kalinya menerima tawajjuh sekligus
mandat dari Syekh Ba’idin sebagai
Guru ilmu hakikat.
Singkat cerita,setelah itu beliau
berhaji dan kemudian beliau
kembali ke Lombok,untuk memberi
pengajian kepada masyarakatdi
pulau Lombok,menegakkan
kebenaran memimpin mereka untuk
mencapai kemerdekaan dari tangan
penjajahan Hindu-Bali sebagaimana
telah dikisahkan.
Dengan damikan,maka hubungan
antara Muhammad Ali Batu dengan
Baha’uddin Naqsyabandy bukanlah
hubungana keguruan yang bersifat
Barzakhi atau Uwaisy karena
pertemuan tersebut bukan dalam
wujud ruhani (dalam ruhani
ataupun dalam mimipi),namun
pertemuan langsung secara dhohir
(nyata) walaupun sebagaimana telah
dikisahkan bahwa jarak kehidupan di
antara keduanya adalah sekitar 500
tahun (Baha’uddin wafat pada tahun
1389 M. Dan Muahammad Ali pada
tahun 1892 M.) dan jalur keguruan
seperti ini sangat terjadi dalam
sejarah pada shufi.
Adapun jalur seperti di atas dalam
sejarah keguruan para shufi pernah
terjadi pada Syekh Abdul Karim al-
Jilli dengan Nabi Muhammad
SAW.sebagaimana beliau kisahkan
dalam kisahnya al-Insan al-Kamil fii
Ma’rifati Awaakhiri wal Awaalihi
menjelaskan :
“ Suatu ketika saya pernah bertemu
dengan dia dalam bentuk persis
seperti Syekh saya Syarafuddin
Isma’il al-Jabarty,tetapi saya tidak
mengetahui bahwa dia (Syekh) itu
sebenarnya adalah Nabi Muhammad,
karena setehu saya bahwa dia (Nabi)
itu adalah Syekh.Ini adalah suatu
penglihatan yang saya dapati di
Zabit Yaman pada tahun 796 H
(1393 M.).Maka hakikatnya yang ada
dalam peristiwa itu adalah bhwa
Nabi Muhammad mempunyai
kekuatan unmenampilkan diri dalam
setiap bentuk.”
Haji Muhammad Ali Batu sang Guru
suci,pemersatu umat danpahlawan
pada perang Lombok itu wafat pada
tanggal 15 Maulid 1310 H. Atau
bertepatan tanggal 7 Oktober 1892
dalam suatu pertempuran yang
menyebabkan beliau mendapatkan
gelar Muhammad Ali Batu “ Ilang
Sabil “yang artinya “ Mati syahid
“dan dimakamkan di desa Sakra
Lombok Timur.

Bau kehidupan

karya
cmst

-______________
Hidup adalah cabikan luka

Serpihan tanpa makna

Hari-hari yang meranggas lara

Ya, sebab aku hanya bisa
memendam amarah

Bukan

Bukan
pada rembulan yang mengikutiku
saat ini

atau pada gugusan bintang
yang mengintai pedih dalam liang-liang diri

Tetapi karena aku tinggal
sebatas luka

Seperti juga hidup itu

26 Februari 2014

Jerit Kutukan

Karya
Cmst
____________________________

Kelam merangkaki belukar malam

Kini aku kembali untuk
menebarkan nyeri dalam pekat

Di bawah  pohon yang telah
meranggas
tangaku mengacung ke udara

”Akulah semesta!”

Langit merah

Tanah pecah dan
angin rebah

Kengerian berhembus
menerjang kabut

melewati lorong-lorong peradaban yang tergali oleh
waktu

membongkar kebiadaban diri
di dasar yang paling sunyi

Ah
walau mandela hidup lagi

tak akan
   mampu untuk membawaku kembali
ke jalan perundingan

Seperti sajak


Sajak tak pernah mati, bukan?

Ya

Dan kau merindukannya?

Aku lebih merindukanmu

Dan kau gelisah

Tidak!!

Aku hanya ingin berteduh
         dan
      menunggu

Menunggumu

Menghitung gerimis yang malas

Atau angin yang benar-benar
           nyaris bungkam

Karya
Cmst.bts.monta

Lelaki Pertama

Karya
Cmst

__________________

Diam-diam aku berhasil
dengan cepat menyudahi
    peperangan dalam hatiku

Nyaris
seluruh bagian hatinya telah
Kutaklukan tanpa ampun

     Dan
            akhirnya
di hari yang sungguh
terasa panjang itu
      kami menyelusup
masuk ke ruang sajak
           yang melompong
ditinggal nafas penghuninya

Sungguh sulit
kumengerti
       Betapa mudah perempuanku
     menyerah petang itu

Aku benar-benar hanyut

Tanpa perdebatan
atau sekadar perbincangan panjang

jadilah aku ”lelaki pertama” dalam
hidup perempuannya

Bercinta sepanjang malam

Dalam ruang sajak sepiku

Wajah perempuan negeriku


karya
Cmst
_________________
Kau ada di situ

Begitu saja

Berpayung jingga

Berdiri
mematung

Matamu terlihat
menerawang

Bajumu putih sedikit
berenda

Kalau saja matahari sedang
berbaik hati pada Praha
        rok tipismu
tentu menerawang pula

Kau seperti
berjejer dengan patung-patung
monumen palsu

Menjadi bagiannya
yang paling menarik bagi mata
negeriku yang kalah

25 Februari 2014

Celeng kurap


karya
cmst.
____________________
Tepat tengah malam

celeng-celeng

yang

telah kerasukan

ratusan iblis itu

akan

menyeruduk seluruh
warga

dan

tak memberi kesempatan
            mereka

untuk

mendengarkan
lagi keributan bangau

dan

gesekan daun-daun bakau

dengan angin amis yang

risau….

Perempuanku

Mungkin kita harus
               pindah  tempat
       sedikit menjauh

Ucap perempuaku

Tidak !! seperti itu sayang.

Dari sini kita bisa melihat
             senja
Ujarku

Tapi ini terlalu dekat

Dia bergumam

Tapi kalau kau pindah
            nanti aku
susah memikirkanmu dalam     bentuk yang seperti ini
             perempuanku

Tentu saja
kelakar terahirnya

karya
cmst.bts.monta

24 Februari 2014

Pejuang terahir


Karya
Cmst

Mungkin aku akan menjadi
pejuang terakhir di kota
ini

    Segalanya terasa sebagai
kesenduan yang abadi

    Gedung-gedung tua dan kelabu
   
   Jalanan yang nyaris lengang
                  di telan gejolak rindu

      Deretan warung
          kelontong
    dan kafe-kafe sunyi
     dengan cahaya matahari
       muram yang mirip kesedihan
        yang ditumpahkan

            Kota ini
seperti dosa yang pelan-pelan
        ingin dihapuskan

22 Februari 2014

Jentik jari bunga cinta


karya
Cmst.
  Mendengar isak tangisnya
                    aku
  terhisap memasuki lorong
                panjang
           penuh kelokan

                     Pada
            setiap tikungan
                      aku
menemukan jejak luka yang dalam

     Aku tak ingin mencari
sebab di balik matanya yang
                 sembab

             Aku sangat
menghormati keputusannya
          untuk menangis

Meski tak dapat aku pinjami kamu
         air mata
                 cukuplah
kau tau kalau aku ada dalam tiap
               tetes bening itu

21 Februari 2014

Lembayung

       Lembayung Sasak masih
    membalut hati pualamnya

Tatapan mata bersama begitu       teduh

      Begitu lembayung

Butir-butir air mata perempuan  menepi di antara     kelopak

Berderai di pipinya yang
                  ranum

Jatuh satu-satu diembuskan
                  angin

Bagai tempias gerimis
     butir air mata itu menyelam
         meraba sisa gelisah hatimu

Air mata bersama bergumul di
                 bola mataku

             Hangat dan beku 

karya
cmst.bts.monta

Negeri impian

Negeri lucu !! sarat tawa
semalaman

Negeri Klewang penuh
darah dan pertikaian

Negeri Ilusi
tak sepi duri dan impian

Ya !! aku akan pulang

Aku bilang begitu
pada "Kembangate "di desaku

Tapi
tunggu dulu! Jevander Sing-tauke
Keling itu-masih berutang padaku

Dollarku masih disimpan di laci
busuk para kapitalis keparat

karya

cmst

Tiga bait saja

Warna langit malam begitu lembut

Angin tajam yang menyisir
kulitku saat itu seperti mengiris
kenyataan pahit dan
menghidangkannya padaku

Apakah
hidup harus sepahit dan sesunyi
ini ??

Karya

Cmst.

Kau diam saja

”Kamu tahu kenapa aku
memikirkanmu setiap kali melihat
senja ?”

Tanya wanitaku

Dan diamku lebih memilih dia menjawab sendiri

”Karena senja seperti dirimu

pendiam

tapi menyenangkan.”

Katakmu

Lalu kataku

”Sabarlah sayang !!
tunggu sampai senja selesai

Dan kau boleh
tak mencintaiku lagi setelah
ini”

Lalu layu sepanjang angin berhembus

karya:
cmst

19 Februari 2014

Sahabat Cmst

Syair mayapada terurai lembut pada
paras irama surga yg kau lantunkan

Gemuruh jiwamu
merobek dinding istana malam

Hingga para istri di sluruh
jagad enggan lelap dalam pelukan
suami

Bait-bait kudus tumpah ruah
di plataran jiwa

Raga layuku seakan
menggeliat pada senyum dinding sepi

Masbuk menyaksikan keindahan
jiwa pada tiap larik yang kau
haturkan

Trimaksi sahabatku

Cmst.bts.monta

Malam sajak dalam kubah al-mabrur (cerpem)

Penulis Cmst.

Malam. Bulan timbul
tenggelam di lautan awan.
Gerimis sesekali menyapa bumi
dan mengabarkan langit
masihlah ada. Namun tak
benar-benar turun hujan.
Sesekali segaris cahaya
mengerjap dan gemetar di
angkasa. Bukanlah kilat atau
petir, hanya segaris cahaya
mengerjap dan gemetar.

Orang-orang di kampungku
menyebutnya "kisap". Seperti
sebuah isyarat atau gelagat. Kau
ingin memahaminya, tapi bagiku
menghayati sudah cukup. Sebab ada
banyak rahasia yang tak terurai
dalam bening pikir manusia.
Semakin ingin memahami, semakin
jauh tersesat dalam pemahaman
yang terkadang memasuki wilayah
amarah.

Kita masih di teras sebuah mesjid.
Menunggu gerimis reda. Kau tak
ingin menyeberangi titik-titik air itu.

Kau ingin berteduh dan menunggu.
Menghitung gerimis yang malas.
Atau angin yang benar-benar nyaris
diam. Cahaya-cahaya temaram di
sekitar pelataran mesjid ini semakin
meremangkan suasana, koridor yang
melingkari mesjid, sungguh sunyi,
memanjang dan berkelok, namun di
sanalah sesungguhnya matamu
mengembara, entah kepada kenang
atau harapan, namun aku tak
terletak di sana. Entah di mana aku
malam ini pada dirimu.
Kau menyandarkan tubuh pada
tembok yang mulai lembab.
Menggenggam pemantik dan
memainkan percikan api. Seperti ada
sesuatu yang ingin kau bakar. Entah
apa. Sebab masa silam tak bisa
dibakar dengan apa pun. Seperti
juga dosa yang tak bisa dihapus.

”Di mesjid ini dulu aku sering kali
tidur dan koridor itu tidaklah seperti
ini.” Bisikmu saat percikan api
semakin sering di jarimu.

”Ada banyak burung bersarang di
kubah masjid ini. Kicaunya
menyusup dalam sujudku.”

Kataku
sesaat menatap matamu yang asyik
menatap api lantas pandanganmu
menyeberang ke setiap lekuk koridor.
Pada salah satu tiang penyangganya
kau katakan, kau sering kali duduk
dan bersandar. Mungkin seperti
posisi dudukmu sekarang.

”Ada banyak malam yang terjaga.”

Ucapmu sesaat setelah kupinjam
pemantik dan kunyalakan rokok
terakhirku.
Aku seperti mendengar malam-
malam yang resah. Entahlah,
barangkali aku salah mengartikan
namun kata terjaga terucap
sedemikian berat. Seperti
memanggul beban dan murung.
Asap rokok keluar masuk paru-
paruku, lalu melayang di udara
basah. Seperti juga kabut yang
pelan-pelan muncul di matamu.
Melayang, naik, kemudian hilang
begitu saja. Sering kali kutanyakan
kepadamu. Ke mana sesungguhnya
api lenyap, ke manakah asap sirna.
Dan sering kali kau hanya diam.

”Terdapat banyak sajak dalam
malam-malam terjagamu.” Pada
isapan ketiga aku menimpali.
Dengan berusaha mengulang
intonasimu pada kata terjaga.

”Bukankah kita disarankan untuk
terjaga ketika orang lain terlelap.”
Kau menggeser duduk dan berbalik
menatapku. Sepertinya kau
terganggu dengan cara
pangucapanku yang terkesan seperti
meledek. Padahal aku cuma ingin
sedikit merasakan suasana terjaga.
”Ya. Teramat banyak malam-
malamku terjaga lantas terlalu lelap
dalam terjaga itu.” Aku kini terseret
jauh ke belakang pada malam-
malam yang dipenuhi hujan. Terjaga
dengan gigil. Tanpa api sama sekali.
Tak ada api.
Beberapa helai rambut nampak lolos
dari perangkap kerudungmu. Garis-
garis hitam lembut itu begitu tegas
pada pipimu. Sementara di langit
garis-garis bulan nampak perlahan
membongkar awan. Angin mulai
bangkit di bumi maupun di langit, di
teras mesjid maupun di hati.
Gerimis belum usai. Di lampu-lampu
temaram, jarum gerimis masih
berguguran. Pada koridor beberapa
orang melangkah dengan hening.
Tak ada suara sama sekali.
Kau seperti merindukan sesuatu,
sementara aku kembali merindukan
gaduh kicau burung-burung di
kubah mesjid. Barangkali kau
merindukan gaduh yang lain, kicau
yang lain, burung yang lain pula.
Aku merindukan kembali sujud yang
riuh itu. Tak bisa kusebut khusyu
namun aku mendapati sebuah
pengembaraan yang ajaib, ketika
tiba-tiba mendapati seluruh burung
menyusup dalam sujudku. Kukatakan
padamu, bahkan aku tak mengingat
apakah membaca doa atau tidak
pada sujud itu. Entah berapa lama
aku tersungkur. Karena seluruh yang
ada di mesjid telah kosong ketika
aku ucapkan salam ke arah kanan
dan kiri hidupku, padahal sebelum
aku shalat masih banyak yang shalat
maupun dzikir. Tinggal aku, suara
burung dari kubah, detik waktu dari
jam dinding.

Mesjid sungguh lengang namun
terasa sangat berisi. Utuh. Dan aku
ada dalam lingkaran keutuhan itu,
menjadi bagian di dalamnya. Dan ini
saat aku mengenal sesuatu yang
bernama haru. Tadinya aku ingin
mengajakmu untuk shalat
berjamaah. Tapi sayangnya ini masa
saat kau sedang tak shalat.
Seandainya tadi kita jadi berjamaah,
mungkin kau pun merasakan apa
yang kurasakan.

”Tuliskan dalam sajak-sajakmu.”
Pintamu, matamu semakin jauh
menerawang. Mungkin masih
mengembara. Masih tak kutemukan
diriku di sana. Di mana kau letakkan
diriku sesungguhnya.

”Ah, barangkali kau sekarang sedang
menemukan getar sajak dari tanah
kenanganmu.” Sesungguhnya aku
meraba kegelisahan dari tatapanmu.
Akar seluruh sajak-sajakmu.

”Masa itu telah usai pada sajak-
sajak yang telah lewat. Aku tak bisa
lagi menulis sajak sejak
menemuimu. Seluruh sajakku melulu
tentang duri waktu. Tentang manis
kematian. Telah kau rontokkan
seluruh duri itu. Kini aku hidup.
Ingin hidup. Maka aku tak
menemukan sajak lagi.” Kau kembali
mengambil pemantik dari jariku,
mempermainkannya layaknya anak
kecil menemukan mainan.

”Sajak tak pernah mati, bukan?”

”Ya.”

”Dan kau merindukannya?”

”Aku lebih merindukanmu.”

”Dan kau gelisah.”

”Ah, pada setiap sajakmu, sekarang
ini, aku mencecap kenikmatan
seketika aku menulis sajak. Pada
setiap kata-katamu kutemukan kata-
kataku.”

”Lantas di mana kau tempatkan aku
pada dirimu?”

”Utuh pada diriku.”

”Belum seluruhnya utuh.”

”Kau tak percaya padaku?”

”Utuhkan diriku pada sajak-
sajakmu.”

”Dirimu hidup dalam doa-doaku.”

”Doa adalah penyatuan dengan-Nya.
Sedang denganku akan utuh dengan
sajak-sajakmu. Aku merindukan kata-
katamu, terlebih jika diriku terdapat
di dalamnya. Jangan membuat sajak
untukku. Sebab itu hanya akan
membuatmu kehilangan kata-kata.
Jadikan aku kata-kata dalam
sajakmu. Mungkin kau akan kembali
menulis. Karena aku pun begitu.”

”Kau hanya membujukku untuk
menulis kembali.”

”Kau gelisah. Diam hanya akan
mengasahnya menjadi gelisah lain
yang liar. Kau tahu? Aku tak bisa
melukiskan kicau burung tadi,
ataupun sujudku tadi. Sampai kapan
juga kau tak bisa merangkainya jadi
kata. Tapi burung dan sujud adalah
kata itu sendiri. Sajak itu sendiri.
Karena itu aku akan menulis diksi
burung dan sujud dalam sajakku.

Seperti apa sajakku, entahlah. Aku
hanya akan menuliskannya. Baru
niat. Tapi ini lebih baik dari tidak
sama sekali. Setidaknya gelisah
sedikit reda. Jika menunggu
memahaminya, aku tak tahu kapan
aku akan mulai menulisnya.”

”Kaulah yang meredakan gelisahku.”

”Lantas gelisah yang kini mekar di
matamu, nyatanya tak reda dengan
kehadiranku. Gelisah yang murni
lahir dari persinggunganmu dengan
hidup, dengan semesta.”

”Sudahlah. Aku hanya ingin
menikmati kebersamaan kita kali ini.

Mungkin lebih pekat, karena tempat
ini menyimpan beragam kenangan
bagiku.” Kau berusaha tersenyum
seperti ingin menyudahi percakapan
dan kembali sama-sama hening dan
sunyi. Seperti koridor itu, seperti
koridor itu.

Gerimis tinggal jejaknya. Bulan
purnama begitu bulat merayap di
langit yang mulai ditinggalkan awan.
Bintang bersinar terang di puncak
langit, tepat di tempat kita
menengadah. Terdengar bunyi saklar
dari dalam mesjid. Satu per satu
lampu ruangan padam. Seseorang
membawa sapu lantas menyapu
lantai.
”Kenapa kau mengantarku shalat di
mesjid ini?” ucapku sembari berdiri
dan mengajakmu untuk segera
beranjak, karena gerimis tak lagi
hadir.

”Karena aku ingin menulis sajak.”

Ucapmu menggenggam jemariku.

”Sudah?” ucapku sedikit terkejut.

”Telah lunas seluruh kenangan, maka
kau akan temukan dirimu dalam
sajak-sajakku. Tak lama lagi. Aku
akan kembali menulis.”

”Aku tak sabar untuk membacanya.

”Bisikku, saat dua pasang kaki
menyusuri koridor yang sunyi. Dan
kutemukan dirimu pada setiap
tiangnya. Tersenyum padaku. Tanpa
kutahu artinya.

Tapi kutemukan
diriku dalam senyum itu.

”Kau telah membacanya.”
o
”Yang mana?”

”Aku mengirim seluruh burung dari
hutan hatiku untuk bersarang di
kubah mesjid ini, telah kususupkan
seluruh kicau rindu pada sujudmu,
telah kau dengar seluruhnya, sajak-
sajakku kembali hidup.

Di mesjid itu
kusimpan seluruhnya, kata dan
kalimat, cinta dan perjalanan. Telah
kau reguk seluruh isinya. Kini kata-
kata kembali mengalir dengan
dirimu berdenyut di sajakku.” Kau
berbicara dengan tenang dan pelan.
Aku perlahan melayang dalam kata-
katamu. Meninggalkan mesjid
dengan sesuatu yang tak terkatakan.

Kelana asa


Cmst.2012
Aku telah melepas dirimu pergi
dari sisiku.
Dari hidupku.
Rasa sakit dalam kebisuan yang
kau tunjukan,
Aku merasakannya….
Apa yang telah terjadi dengan
kita..???
Tak perlu bertanya,
Biarlah waktu yang masih memberi
ruang semakin mendewasakan kita.
Kata kata indah dalam bibirmu,
Ku hamburkan dengan keakuanku.
Maaf kan aku,
Sebuah kata yang sulit bagiku
diucap.
Tetaplah menjadi senja dalam
kehidupanmu.
Seperti aku yang kan tetap menjadi
fajar tanpa berkelana.
Apa yang kita alami, apa yang kita
jalani..?
Itulah warna kita….
Cukuplah kau rasakan pahit
bersama nyataku dan bayanganku.
Kenanglah jika kau masih ingin
mengenangnya,
Jangan melemahkanmu.
Jangan membuat arah hidupmu
bercabang.
Atau biarkan saja semua tentang
kita membeku dalam waktu.
Pernah kulihat kisah pedih tentang
cinta di luar sana.
Tak pernah terpikir olehku,
Kita akan menjadi bagian itu.
Tak pernah terbayang olehku,
kita akan menjadi pemerannya
dalam tokoh itu…..
Pada akhirnya aku mengerti,
smoga kaupun mengerti.
Lebih baik memahami apa yang
ada,
Ketimbang mengejar apa yang tak
pasti…
Lebih baik mensyukuri apa yang
tengah kita jalani,
Ketimbang memuja ambisi
memuaskan diri dengan yang
bukan hidup kita.
Sungguh hidup ini terlampau
singkat untuk dilewatkan bersama
pilihan yang salah.
Maaf kukatakan salah,
Aku mengerti ini tentang hati.
Ini cinta…
Tapi kini akupun mengerti langit
dan bumi tlah memberikan kita
satu ruang masing masing.
Ruang hidup yang kita jalani tanpa
harus dicemari keegoisan dan
ambisi.
Aku percaya cinta adalah anugerah
dari Tuhan.
Cinta bukan pertanyaan,
Terima apa adanya tanpa
melupakan jati diri kita…
Tetaplah menjadi senja dalam
kehidupanmu.
Seperti aku yang kan tetap menjadi
fajar tanpa berkelana.
Inilah kita,
Asa yang kita bangun demi cinta
kita,bolehlah pupus.
Namun bukan pada kehidupan
cinta masing masing yang kita
jalani.
Aku tengah menggapainya,
Seperti engkau tengah
menatanya….
Seiring dengan langkah,
airmata ini tlah banyak menetes
hampir menutupi semua tulisan,
Tetap aku menulis walau hanya
sebaris,sebait…
Engkaulah senja.
Dan aku fajar.
Dalam kenangan kita masing
masing………
Kelana ~ asa dan

Cmst.bts.monta

Keparat Peci Tuhan


Drama lembut terurai di wajah ibu
pertiwi

Lembut gemulai jari jutaan
kemunafikan

Melumat tawa ngeri negeriku

Menidurkan jutaan rintih kerongkong
kurus wajah petaka

Tarian keparat menjadi sabda nabi

Meja tuhan sarat nakjis ludah para
penjilat

Negeri kurap borok luka bangkai
jelata

Busuk aroma ibu pertiwi di bungkam
suara orator dinding istana

Ngeri negeri ini

Kenapa tidak kau musnahkan kami
tuhan

Kenapa kau jadikan kami tontonan
hina jagad dunia

Musnahkan saja tuhan

Letih peluh raga lusuh kami di atas
pentas drama iblis

Lalu jangan lagi tanya kebosanan itu

kau suruh kami ajukan pada anjing
biadab di balik peci tuhan
cmst.bts.monta

Wajah Penyakit Negeri


Ditengah persimpangan warna warni

Di banyak kerumunan besi berasap

Tersaksikan tangan tangan kecil
menengadah

Meminta belas kasihan pada sang
raja jalanan

Bertalu talu berada di bawah
mentari

Menahan hausnya rintihan hati

Mengharap ada yang memberi

Tak pernah lusuh walau dilakukan
setiap hari

Sungguh, membenakan hati dirimu
itu terlukiskan

Namun siapa gerangan bisa berbuat

Tuk'membalikkan telapak tangan
tentang keberadaanmu itu berada

Cmst.bts.monta

17 Februari 2014

Mirah Delima

Senja warna kencana ketika
putri jelita itu tiba di
pesanggrahan hamba. Tiga
angsa seputih bunga kamboja
mengiringinya.
Angsa-angsa ini tak mau kutinggal di
puri. Selalu ingin mengikutiku ke
mana pergi,” ucapnya.
Harum cempaka merekah dari
langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah
delima. Angin cemburu tak mampu
mengurai hitam rambutnya. Hamba
terpana pesona di hadapan hamba.
Gerimis merah muda mengurai cuaca
di kesunyian pesanggrahan.
Hamba tuntun sang putri masuk
gubuk. Langkahnya pasti menjejak
lantai tanah. Mulus betisnya
memancarkan cahaya surgawi.
Hamba menenteramkan riak-riak
ombak di hati.
Sang putri duduk anggun di balai-
balai bambu. Dia mengulum
senyum. Seakan hendak menerka
rahasia dari lontar-lontar kusam
masa silam, yang hamba susun rapi
di peti tua berukir bunga padma.
”Lautan dan topan sejatinya
sepasang kekasih yang ingin
menembangkan kidung-kidung dewa
di cangkang-cangkang kerang,”
lirihnya.
Hamba merasa malu pada hati
hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita
matanya. Buru-buru hamba nyalakan
pelita minyak kelapa. Malam telah
membutakan jarak di pesanggrahan.
Remang cahaya pelita menggurat
dua bayang di dinding kayu. Bayang
yang saling termangu merunut
silsilah dan sejarah, yang
mengasingkan kami sejauh tahun-
tahun kepedihan, sepanjang jarak
dua belahan bumi.
”Angin apa kiranya yang
membawamu ke sini, Putri? Hamba
telah asingkan diri dari segala
kenangan meski parasmu masih
membekas di hati. Cahaya apa
menuntun langkahmu, menyusuri
jejak sunyi tak terperi, hingga tiba
di gubuk hamba?”
Mata sekilau purnama menatap
hamba tajam. Menembus remang
ruang, remang jiwa. Bibir seindah
mirah membuka sabda: ”masih
ingatkah kau pada sebilah daun
lontar di mana tertatah syair, yang
kau gurat dari lubuk jiwamu?”
Hamba merasa darah hangat dari
jantung yang berdegup malu,
mengalir perlahan memenuhi wajah
hamba. Sudah lama sekali, belasan
tahun lalu. Ketika usia kami masih
ranum, begitu hijau. Agaknya waktu
telah membekukan syair itu di
sebuah gua rahasia di hatinya.
”Meski bilah lontar itu telah kusam,
tinta hitam dari kemiri dan jelaga
hampir luntur, tapi syair itu tak
henti menitiskan rindu dan mengalir
hangat di nadiku. Kini tiba saatnya
bagiku melunasi karma,” ucap Sang
Putri.
Hamba terpana, menerka-nerka arah
kerumunan kata yang berhamburan
bagai kunang-kunang dari bibir
rekah yang dulu hamba rindui. Di
luar gubuk, angsa-angsa
bercengkerama dengan malam,
dengan halimun. Lengking suaranya
melengkapi hening
”Jangan ragu. Aku tiba di sini
untukmu. Aku akan berkisah. Dan
hanya kau yang kupercayai
menggurat kisah-kisahku ini di
bilah-bilah lontarmu. Karena kau
pujangga istana di mana dulu hatiku
pernah bahagia….”
Hamba terkesiap, jiwa hamba
berdesir, serupa angin subuh
mengelus lembut kulit ari. Sudah
lama sekali hamba tak mampu
menggurat syair. Tiba-tiba hamba
terkenang, saat hamba tinggalkan
istana, diam-diam di tengah sunyi
malam. Demi janji hamba pada
keheningan dan pengembaraan.
Pantai demi pantai hamba susuri.
Gunung demi gunung menjulang
hamba daki. Rimba demi rimba
rahasia hamba jelajahi. Lembah
demi lembah misteri hamba hayati.
Hingga tiba hamba di pesisir timur
ini.
Tak ada yang mengenali hamba.
Kecuali sunyi, kawan sejati
seperjalanan. Bukankah manusia
dilahirkan demi merayakan
kesunyian? Dan ketika tiba saat
kembali, jiwa menyusuri jalan sunyi
yang itu-itu juga….
Suatu waktu angin pegunungan
mengabarkan warta. Putri jelita
sangat bersedih hati tak menemukan
hamba di istana. Dia pun pergi
membawa duka lara menyeberangi
lautan seorang diri, menetap di
negeri asing, demi menemukan
kesejatian.
Hamba memahami kesedihannya.
Hamba terlanjur tergoda kesunyian.
Lebih memilih mengasingkan diri,
ketimbang mendampingi sang putri
melewati hari-harinya di puri.
Hamba merasa tak leluasa berada di
istana, mengabdi pada raja.
Hamba hanya ingin kembali pada
alam dan kaum jelata. Belajar
bertani, memahami nyanyian jengkrik
dan kodok hijau. Berbaur dengan
kuli, petani ladang garam dan
nelayan. Mendengar siul angin di
pucuk-pucuk bambu. Belajar
mengurai makna sabda cicak di
dinding kayu.
”Tak perlu disesali. Waktu begitu
jauh berpacu. Namun wajah dan
hatimu masih seperti dulu. Hanya
beberapa helai uban tumbuh di
sela-sela hitam rambutmu.
Ketahuilah, kau masih selalu
pujanggaku.”
Hamba tak pernah tahu, apa wajah
dan hati bisa tidak berubah. Hanya
waktu yang abadi, dan sekelumit
rasa yang berupaya kekal dalam
fana.
Remang jadi makin nyalang. Cahaya
pelita bergoyang. Mengaburkan
bayang-bayang. Angsa-angsa sesekali
melengking. Halimun melingkupi
pesanggrahan. Dua ekor cicak di
dinding kayu sedari tadi menerka-
nerka arah jiwa kami. Menerawang
sesuatu yang makin sawang.
”Ketahuilah, pujanggaku. Aku bukan
sejatinya putri istana. Aku hanya
anak jadah. Meski ayahku turunan
raja, yang sungguh kasip kuketahui.
Namun tak pernah kutahu rupa
ibuku. Sedari janin aku telah
mencecap getir. Tangis pertamaku
menyayat rahim ibu. Hatinya
memang telah lama luka. Tak diakui,
malu dengan aib sendiri. Aku
dibuangnya begitu saja, seperti
membilas daki di kelamin…,” keluh
Sang Putri.
Hamba tercekat, sungguh
terperanjat. Kata-kata berasa duri
menyumbat kerongkongan. Nyeri
seperti mengalir di sumsum nadi.
Hamba hanya mampu terdiam. Sang
putri tak henti berkeluh kesah.
Kisah miris ini makin meyakinkan
hamba, betapa manusia sejatinya
ditakdirkan mengalami kesunyian
dan kesepian. Hamba merasa
sepasang cicak di dinding kayu
sedari tadi tertawa. Dan, lengking
angsa menggenapi sunyi kami.
Letih dengan jiwa sendiri, sang putri
terlelap di bale-bale bambu, tanpa
kelambu. Di bilah-bilah daun lontar
hamba mulai menggurat syair. Di
remang cahaya pelita, terbayang
wajah sang putri, sedang mengutuki
dirinya….

Batu sambak 18 februari

Penulis

Cmst.bts.monta