29 April 2015

Malaikat kota sina

Malaikat tersesat

  Malaikat yang lahir dari doa-doa bekas

Sudah kehilangan jalan pulang
dan lelap dibelai murkaku pada malam laknat

Malaikat kasian yang tersesat

Mukjizat bersama sayap satu sayap dua yang lepas

Dan sudah ku katakan

Pulanglah dari sina

Sina,  kota tanpa arah dan juga pijar

Sina  !!
Kotaku yang mirip dosa lusuh
pada cawan tuhan yang di tumpahkan

Jika malam ini malaikat sekarat tidak dapat pulang , maka langit akan memakiku lewat gerimis pekat yang memuakkan

Pasti juga tuhan murka pada kota sinaku yang kasian , buta , juga luka

Malaikat keras kepala !!!
coba kau lihat tuhan lelap pada selembar daun awan yang murka di sepasang mata

Dan kau harus pulang

Disini tidak ada anggur lezat
apalagi sepasang paha gadis yang siap kau gali kemudian kau lupakan

Kau harus pulang

Disini tidak akan kau temukan aroma betina pada gadis yang tesaji di meja pagi sina yang mirip dosa penebusan

Adapun yang tersisa seorang gadis gila penyakit kota sina

Jangan lewat , kau harus pulang

Dan ku katakan

Kau
jangan - sejangan janganya meniru Jibril yang ingin memberi
berkah kepada gadis gila kota sina yang dinubuatkan

Kotaku membenci
segala yang dipalsukan,
dan aku membenci harapan

Sebab

Berulang kali tuhan meniduriku
dengan harapan penghianatan

******

CMST , 2015

28 Januari 2015

Senja terkutuk

Sore seharusnya masih
terang

  Namun, hujan membuat sore
terasa tua

  Tambah pula dingin
mendekap segala

Suana pemakaman menjadi milik
hujan

Semalam , seorang gadis
menyelesaikan dirinya dengan memar
merah melingkar di leher , memar
kematian

Tangisan langit di pemakaman itu
seolah sedang menghina seorang
lelaki muda yang masih berdiri
menatap tajam gundukan tanah
basah tanpa mawar kematian

Dari celah gerimis hitam yang
menusuk wajahnya , terlihat sorot
mata tajam , setajam takdirnya sore
itu

Tekanan jahannam pada batin luka
parah kekasihnya mengahiri cerita
mereka

Kata - kata laknat perihal cinta dan
dusta dunia tentang kesetiaan
menjadikan gadis pemetik air mata
itu berahir pada tali keparat

Kepedihan lahir atas nama cinta

Kematian berangkat atas nama cinta

Lalu jeritan penyesalanku atas kematian itu, juga
akan tergelar atas nama yang sama.
**

Kelamnya suasana pemakaman pada
sore yang menggigil itu , menjadi
awal kehancuran yang sempurna bagi lelakimu, dan sekaligus memulai meneruskan sisa hidupnya dengan bathin luka
parah

Lelaki yang meneruskan hidup tanpa
makna

Lekaki yang malu terhadap sinar
binar mentari pagi

  Lelaki lorong sepi yang abadi dalam
bisu, menikmati cabikan luka yang
mendera pada tiap udara yang di
hirupnya

    Lelaki sial yang memiliki rindu
memalukan

Maafkan aku kekasihku , aku terbiar dalam neraka suci yg kau tinggalkan , semenjak kematianmu aku lebih menyukai gelap dan kesendirian.
___

Catatan takdir seorang CMST

08 Desember 2014

Setengah lalu

Delima ,2014
Cmst

   Dulu

Setengah dulu
karna tidak juga lama waktu itu
ada kabar dosa memuja kekasihnya

Setengah dulu
ada mimpi rusak terbiar
bersiar - bersiar mengunyah senyum lelap ranjang jauh serapuh subuh

Ya

Setengah dulu
dia itu lalu meresah menjadi mereka satu lalu bisu berdua
tawa bau dari hirup sesak
mendesak kabar lalu yang setengah itu

Dan satumu terusik bisik
pergi mengisi sisi

Ada satu
setengah kini rupa serupa
tidak tau melupa hingga papa
bermimpi mengisi sisi

Setengah lalu
cerita itu mebusuk dimana ahir waktu
tak tau air juga bisu
begitu juga aku

Mu

Nya
entah ini tanya
sisatu itu sudah setengah menunggu carita ahir waktu

Huhuhu dia pergi menujuMu
      .

07 Desember 2014

Calon mayat menggali kubur

Seperti gerimis dengan rintik yang tidak sopan ,
derap menderap langkah para penjagal memasuki kampung mengutip beberapa petaka calon mayat dari lajur kiri yang terfitnahkan.
    
Menderu - deru jeef dan truk .

Batuk,
melayan kepentingan ritual tuan negeri menjagal pemuja arit dan palu , meringis memasuki tanah lapang calon kuburan massal.

Ideologi berkata ,
seperti titah tuhan , meninggalkan jutaan yg di tinggalkan dengan kehancuran pilihan terkucilkan untuk waktu yang panjang.

Panjang,
sepanjang rintihan dari ayah saudara sanak mereka dari penghuni jeef truk sombong yang menjemput para calon mayat terbiar.

Dengan harapan rusak , nafas sisa amukan sepatu si loreng buntung , serta sekerat cemas dengan degup batin yang luka parah , sejumlah laki - laki kurus terus menggali .

Ya , gali bukan sepeti sehari kemarin , menggali menghias pertiwi dengan jerih iklas khas petani pada petak - petak penghasil ranum beras penerus hidup seisi pertiwi.

Galau kah mereka menggali ??, jelas !!
Tuhan saja menangis malam itu.

Mereka menggali membuat kelengkapan ritual penjagalan agar ringan beban tugas para panitia loreng berwajah dingin.

Subuh sepi , tanah lapang hening , sejumlah lelaki calon mayat berusaha menghirup sepuas - puasnya udara terahir setelah kerja menggali perlengkapan kematian mereka.

Dari pucuk panas baja , beberapa letusan si pencabut nyawa memecah hening subuh , angin berhenti sejenak , dan tanah lapang siap menjadi saksi bisu tentang di mulainya derita dari jutaan mereka pewaris sial yang di tinggalkan para lelaki yang resmi menjadi mayat setengah pagi.

Delima , 2014
Cmst

Debu November

Berkali-kali kaki melangkah di pagi
november

Debu di jalan bisu menggigit sepatu

Keruh

Barangkali waktu menggoda jarak
dan perjalanan pun terbagi-bagi

Aku kehilangan lelah saat mencari-
cari jejak

Menari-nari

Meliuk - liuk
dalam matamu

Barangkali langkah tinggalkan seribu
jalan

Sepi
menyapa berkali-kali malam tadi

Aku kembali ingin rasakan waktu
dalam dekapmu

Meniti rindu yang berkepanjangan
membelenggu

Semua membayang dalam setiap
langkah

Barangkali kini engkau lelah dan
tinggal dalam sejarah

Ya, aku tidak ingin lagi duduk dan
bercakap ditemani bulan

Bercerita tentang seribu perjalanan
dalam satu kematian

Aku kembali ingin bercakap sambil
berjalan

Meninggalkan bulan

Meninggalkan
tahun

Meninggalkan angan-angan

Berkali-kali mengukur jarak waktu

Berkali-kali engkau menunggu

Semua bisu

Langkah kaki masih menembus pagi november

Debu di jalan kramat watu menggigit sepatu

Lusuh

Merah dari debu pemakaman di nopember bisu

Brunei , 2014
Cmst.

05 Desember 2014

Ketika POLITIK bicara

"Jadikan deritaku ini sebagai
kesaksian, bahwa kekuasaan seorang
presiden sekalipun ada batasnya.
Karena kekuasaan yang langgeng
hanyalah kekuasaan rakyat. Dan
diatas segalanya adalah kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno,
1967)
Tak lama setelah mosi tidak percaya
parlemen bentukan Nasution di
tahun 1967 dam MPRS menunjuk
Suharto sebagai Presiden RI, Bung
Karno menerima surat untuk segera
meninggalkan Istana dalam waktu 2
X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk
menginventarisir barang-barang
pribadinya. Wajah-wajah tentara
yang mengusir Bung Karno tidak
bersahabat lagi. "Bapak harus cepat
meninggalkan Istana ini dalam waktu
dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan
dan melihat Guruh sedang membaca
sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-
kakakmu" kata Bung Karno. Guruh
menoleh ke arah Bapaknya dan
berkata "Mereka pergi ke rumah
Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah
rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya,
Kebayoran Baru. Bung Karno berkata
lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh
lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu
persiapkan barang-barangmu, jangan
kamu ambil lukisan atau hal lain, itu
punya negara". Kata Bung Karno,
Bung Karno lalu melangkah ke arah
ruang tamu Istana, disana ia
mengumpulkan semua ajudan-
ajudannya yang setia. Beberapa
ajudannya sudah tidak kelihatan
karena para ajudan bung karno
sudah ditangkapi karena diduga
terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak
boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian
jangan mengambil apapun, Lukisan-
lukisan itu, Souvenir dan macam-
macam barang. Itu milik negara.

Semua ajudan menangis saat tau
Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak
tidak melawan, kenapa dari dulu
bapak tidak melawan..." Salah satu
ajudan separuh berteriak memprotes
tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan
nanti perang saudara, perang
saudara itu sulit jikalau perang
dengan Belanda jelas hidungnya
beda dengan hidung kita. Perang
dengan bangsa sendiri tidak,
wajahnya sama dengan
wajahmu...keluarganya sama dengan
keluargamu, lebih baik saya yang
robek dan hancur daripada bangsa
saya harus perang saudara". tegas
bung karno kepada ajudannya.

Tiba-tiba beberapa orang dari dapur
berlarian saat mendengar Bung Karno
mau meninggalkan Istana. "Pak kami
memang tidak ada anggaran untuk
masak, tapi kami tidak enak bila
bapak pergi, belum makan. Biarlah
kami patungan dari uang kami untuk
masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah
sayur lodeh basi tiga itu malah enak,
kalian masak sayur lodeh saja. Aku
ini perlunya apa..."

Di hari kedua saat Bung Karno
sedang membenahi baju-bajunya
datang perwira suruhan Orde Baru.
"Pak, Bapak harus segera
meninggalkan tempat ini". Beberapa
tentara sudah memasuki ruangan
tamu dan menyebar sampai ke ruang
makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung
Karno dengan senapan terhunus.
Bung Karno segera mencari koran
bekas di pojok kamar, dalam pikiran
Bung Karno yang ia takutkan adalah
bendera pusaka akan diambil oleh
tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno
membungkus bendera pusaka dengan
koran bekas, ia masukkan ke dalam
kaos oblong, Bung Karno berdiri
sebentar menatap tentara-tentara
itu, namun beberapa perwira
mendorong tubuh Bung Karno untuk
keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya
Maulwi Saelan ( pengawal terakhir
bung karno ) dan Bung Karno
menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno
dengan terburu-buru. "Bapak tidak
berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan
separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan
tangannya. Bung Karno langsung naik
VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi
yang ia punya dan meminta sopir
diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah
Ibu Fatmawati.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno
hanya duduk seharian saja di
pojokan halaman, matanya kosong. Ia
meminta bendera pusaka dirawat
hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya
mengguntingi daun-daun di
halaman.
Kadang-kadang ia memegang
dadanya yang sakit, ia sakit ginjal
parah namun obat yang biasanya
diberikan sudah tidak boleh
diberikan. Sisa obat di Istana
dibuangi.

Suatu saat Bung Karno mengajak
ajudannya yang bernama Nitri gadis
Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat
duku, Bung Karno kepengen duku
tapi dia tidak punya uang. "Aku
pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis,
aku tidak punya uang" Nitri yang
uangnya pas-pasan juga melihat ke
dompetnya, ia merasa cukuplah buat
beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku
dan berkata "Pak Bawa dukunya ke
orang yang ada di dalam mobil".
Tukang duku itu berjalan dan
mendekat ke arah Bung Karno. "Mau
pilih mana, Pak manis-manis nih "
sahut tukang duku dengan logat
betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum
senang berkata "coba kamu cari yang
enak". Tukang Duku itu
mengernyitkan dahinya, ia merasa
kenal dengan suara ini. Lantas
tukang duku itu berteriak
"Bapak...Bapak....Bapak...Itu
Bapak...Bapaak" Tukang duku malah
berlarian ke arah teman-temannya di
pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak
Karno...." mereka berlarian ke arah
mobil VW Kodok warna putih itu dan
dengan serta merta para tukang
buah memberikan buah-buah pada
Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang,
ia terbiasa menikmati dengan
rakyatnya. Tapi keadaan berubah
kontan dalam pikiran Bung Karno, ia
takut rakyat yang tidak tau apa-apa
ini lantas digelandang tentara gara-
gara dekat dengan dirinya. "Tri,
berangkat ....cepat" perintah Bung
Karno dan ia melambaikan ke tangan
rakyatnya yang terus menerus
memanggil namanya bahkan ada
yang sampai menitikkan air mata.
Mereka tau pemimpinnya dalam
keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno
sering keluar dari Jalan Sriwijaya,
membuat beberapa perwira pro
Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu
malam ada satu truk ke rumah
Fatmawati dan mereka memindahkan
Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia
dirawat oleh Dokter Hewan!...

Tak lama setelah Bung Karno
dipindahkan ke Bogor, datanglah
Rachmawati, ia melihat ayahnya dan
menangis keras-keras saat tau wajah
ayahnya bengkak-bengkak dan sulit
berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno
berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia
merangkak dan memegang kursi.
Rachmawati langsung teriak
menangis.
Malamnya Rachmawati memohon
pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta
saja dan dirawat keluarga. "Coba aku
tulis surat permohonan kepada
Presiden" kata Bung Karno dengan
suara terbata. Dengan tangan
gemetar Bung Karno menulis surat
agar dirinya bisa dipindahkan ke
Jakarta dan dekat dengan anak-
anaknya.

Rachmawati adalah puteri Bung
Karno yang paling nekat. Pagi-pagi
setelah mengambil surat dari
bapaknya, Rachma langsung ke
Cendana rumah Suharto. Di Cendana
ia ditemui Bu Tien yang kaget saat
melihat Rachma ada di teras
rumahnya.
"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya
Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien
memeluk Rachma, setelah itu Rachma
bercerita tentang nasib bapaknya.
Hati Bu Tien rada tersentuh dan
menggenggam tangan Rachma lalu
dengan menggenggam tangan
Rachma bu Tien mengantarkan ke
ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata
Pak Harto dengan nada santun.
Rachma-pun menceritakan kondisi
Bapaknya yang sangat tidak terawat
di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak
dan kemudian menuliskan memo
yang memerintahkan anak buahnya
agar Bung Karno dibawa ke Djakarta.

Diputuskan Bung Karno akan dirawar
di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma
Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara
lebih keras. Bung Karno sama sekali
tidak diperbolehkan keluar dari
kamar. Seringkali ia dibentak bila
akan melakukan sesuatu, suatu saat
Bung Karno tanpa sengaja
menemukan lembaran koran bekas
bungkus sesuatu, koran itu langsung
direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali,
jorok dan bau. Memang ada yang
merapikan tapi tidak serius.

Dokter
yang diperintahkan merawat Bung
Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris
menangis karena sama sekali tidak
ada obat-obatan yang bisa digunakan
Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci
Istana sudah dibuangi atas perintah
seorang Perwira Tinggi. Mahar
mardjono hanya bisa memberikan
Vitamin dan Royal Jelly yang
sesungguhnya hanya madu biasa.
Jika sulit tidur Bung Karno diberi
Valium, Sukarno sama sekali tidak
diberikan obat untuk meredakan sakit
akibat ginjalnya tidak berfungsi.

Banyak rumor beredar di masyarakat
bahwa Bung Karno hidup sengsara di
Wisma Yaso, beberapa orang
diketahui diceritakan nekat
membebaskan Bung Karno.
Bahkan ada satu pasukan khusus KKO
dikabarkan sempat menembus
penjagaan Bung Karno dan berhasil
masuk ke dalam kamar Bung Karno,
tapi Bung Karno menolak untuk ikut
karena itu berarti akan memancing
perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno
datang ke rumah Fatmawati untuk
menghadiri pernikahan Rachmawati.
Bung Karno yang jalan saja susah
datang ke rumah isterinya itu. Wajah
Bung Karno bengkak-bengkak.
bk-nikahnya-rachmawati
Ketika tau Bung Karno datang ke
rumah Fatmawati, banyak orang
langsung berbondong-bondong ke
sana dan sesampainya di depan
rumah mereka berteriak "Hidup Bung
Karno....hidup Bung Karno....Hidup
Bung Karno...!!!!!"
Sukarno yang reflek karena ia
mengenal benar gegap gempita
seperti ini, ia tertawa dan
melambaikan tangan, tapi dengan
kasar tentara menurunkan tangan
Sukarno dan menggiringnya ke
dalam. Bung Karno paham dia
adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari penyakit
Bung Karno parah sekali ia tidak kuat
berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada
orang yang bisa masuk. Ia sering
berteriak kesakitan. Biasanya
penderita penyakit ginjal memang
akan diikuti kondisi psikis yang
kacau.
Ia berteriak " Sakit....Sakit ya
Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal
diam saja karena diperintahkan
begitu oleh komandan. Sampai-
sampai ada satu tentara yang
menangis mendengar teriakan Bung
Karno di depan pintu kamar.

Kepentingan politik tak bisa
memendung rasa kemanusiaan, dan
air mata adalah bahasa paling jelas
dari rasa kemanusiaan itu.

Hatta yang dilapori kondisi Bung
Karno menulis surat pada Suharto
dan mengecam cara merawat
Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di
beranda sambil menangis
sesenggukan, ia teringat sahabatnya
itu. Lalu dia bicara pada isterinya
Rachmi untuk bertemu dengan Bung
Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung
Karno sudah jadi tahanan politik"
ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan
berkata "Sukarno adalah orang
terpenting dalam pikiranku, dia
sahabatku, kami pernah dibesarkan
dalam suasana yang sama agar
negeri ini merdeka. Bila memang ada
perbedaan diantara kami itu lumrah
tapi aku tak tahan mendengar berita
Sukarno disakiti seperti ini".

Hatta menulis surat dengan nada
tegas kepada Suharto untuk bertemu
Sukarno, ajaibnya surat Hatta
langsung disetujui, ia diperbolehkan
menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar
Bung Karno yang sudah hampir tidak
sadar, tubuhnya tidak kuat menahan
sakit ginjal. Bung Karno membuka
matanya. Hatta terdiam dan berkata
pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata
Hatta ia tercekat mata Hatta sudah
basah.
Bung Karno berkata pelan dan
tangannya berusaha meraih lengan
Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata
Bung Karno dalam bahasa Belanda -
Bagaimana pula kabarmu, Hatta -
Hatta memegang lembut tangan
Bung Karno dan mendekatkan
wajahnya, air mata Hatta mengenai
wajah Bung Karno dan Bung Karno
menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini
menangis, di sebuah kamar yang bau
dan jorok, kamar yang menjadi saksi
ada dua orang yang memerdekakan
bangsa ini di akhir hidupnya merasa
tidak bahagia, suatu hubungan yang
menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung
Karno meninggal. Sama saat
Proklamasi 1945 Bung Karno
menunggui Hatta di kamar untuk
segera membacai Proklamasi, saat
kematiannya-pun Bung Karno juga
seolah menunggu Hatta dulu, baru ia
berangkat menemui Tuhan.

21 November 2014

Selembar keabadian

Di ujung malam jum'at,
  jauh di sudut terkutuk kota cilegon ,
lembar terahir kekasihku terkapar meregang kematian.

Pagi ??,
mungkin lebih tepatnya setengah pagi ,  angin amis laut  sungai bunga berceloteh perihal rencana seorang perempuan terluka yang memilih kematian pada sepertiga malam nanti.

Dan dia mati ,
mati - sematinya.

Si BODOH SIAL ,
berhenti di gerbang cakrawala ,
menitipkan sebuah luka panjang ,
luka terindah dari kekasih yang mati atas nama CINTA .

Istirahatlah
Jenongku.