31 Januari 2014

Sabda Bumiku

Wajah mentari sedang terluka,
siang merah seperti darah,
amuk marah memanggang bumi.

Tanah tak sejuk lagi.

Mata air di rahimnya bertahap
menjadi nanah.

Terdengar kabar dari utara
tempat bertahta aurora,
tentang salju yang tak lagi beku,
meluruh di ombak biru.

Laut menanggung beban berlebih,
seperti langit yang lelah menangis,
seperti bumi yang menjerit pedih,
seperti udara yang terus meringis.

Kemana kau kupu-kupu?,
merindumu di sela angin lalu,
tapi kepompong enggan kau
tinggalkan.

Dimana kau tuan belalang?,
mungkin melupa jalan pulang,
sibuk mendo'a agar tak diciptakan.

Ooo  betapa malam gerah meremang,
tiada lagi kerlip kunang-kunang,
mungkin bumi sedang dikutuk
bintang.

Hingga pawana menjadi garang,
mengutus tsunami menghantam
karang.

Ooo    akankah kenapa berakhir, apa
tangis bumi mengisak tanya??,
rumput bergoyang tidak tahu
jawabnya.

Apatah lagi ilalang di lembah, hanya
mampu mengucap serapah.
cuiih!!.

Coba tanya ke gedung sana
pasti manusia tahu jawabnya.

Cmst.bts.monta

Aksara Kita

Aku tak lagi memiliki aksara yang
mampu menyimpan pesan
untukmu.

Hanya ada sebuah elegi yang
tercatat rapi dalam lembaran yang
menghitai.

Aksaraku tak mampu lagi bercerita
tentang kita
yang pernah mengukir kenang di
atas mimpi-mimpi yang terasa
pincang.

Tak ada lagi bait bait indah dalam
syair kita,
saat semua kegundahan terangkat
perlahan.

Aksaraku menghilang ditengah
pematang fikir,
hanya gundah melenggang ditepi
bayang samar....

Kusibakan kelamnya selambu
malam,
tuk menjamah ketabuan rindu,
meski sayat memecah pada
keterasingan diri.

30 Januari 2014

Satu Angan

Aldenalib 30 januari
.........

Coba ku tepis angan tentang dirimu
Coba kau resapi makna airmata ini
Sekian lama aku termenung dalam
duka
Setia menemani mimpi indah
tentangmu
Mencoba mencari jejak hatiku
Namun kenyataan bahwa hanya di
hatimu
Aku temukan angan kelabu untuk
menanti datangnya MIMPI INDAH.
“Coba sebut satu kata.” Kata Afiel
padaku. Aku menoleh padanya,
kemudian tersenyum semanis yang
aku bisa.
“Api.” Jawabku singkat sesuai
permintaannya. Afael mengambil
buku fisika-ku kemudian mencoret
sesuatu disana. Aku hanya mampu
mengeleng, tak berani memarahinya
karena mencoret buku pelajaranku.
“Nih,” Kata Afiel sembari memberi
bukuKu. Ia segera bankit dari
duduknya, sebelah tangannya
menyentuh rambutnya sehingga
membuat rambut hitam kelamnya
tampak aut-autan. “Baca saat jam
pelajaran fisika.” Lanjutnya
meninggalkan mejaku.
Aku mengangkat bukuku dengan
wajah bingung. Apa maksudnya?
Batinku, namun sejujurnya aku tak
berani mengingkari perintah mahluk
Tuhan yang satu itu.
Aku kembali memperbaiki posisi
dudukku ketika Ibu Fahra memasuki
kelas. Aku melirik Afiel yang sedang
santai menatap papan tulis, lelaki
itu menyenyumiku. Apa yang kau
tulis Afiel? Pernyataan cinta kah?
Memikirkan hal itu, aku jadi senyum-
senyum tak jelas, sambil mencium
buku fisikaku. Uh, indahnya jatuh
cinta itu.
Perlahan ku buka buku fisikaku,
dengan hati-hati membalik halaman
per halaman. Disaat Ibu Fahra
menulis dengan tinta merah pada
papan tulis “BAHASA INDONESIA”,
aku malah mempelajari fisika. Dan
aku menemukan halaman itu.
API
Seperti api yang menghangatkan
tubuhku saat senyuman itu berhias
di bibirmu
Kadang kesepian merasuk namun tak
membuatku melupakan bara api
cintaku
Andai api ini dapat kupadamkan
namun segalanya telah terlambat
untuk diakhiri
Karena mencintaimu bagai api yang
membungkus hatiku.
Ya Tuhan! Puitis! Aku mengangkat
kepala dan melihat wajah Afiel, ia
semakin tampan dan berwibawa.
Huh, kenapa aku sangat
mencintainya? Lalu Afiel tersenyum
padaku, senyuman yang sukses
membuatku mati gaya.
“Kamu selalu sukses buat aku
semakin mencintaiMu!” Gumam ku
menatap kagum pada Afiel.

Seperti apa itu rasa cinta
sebenarnya? Meskipun aku telah
memiliki rasa itu namun aku masih
belum bisa mendapatkan pejelasan
tentang arti dari perasaan yang
paling norak itu. Seperti apa
perasaan Afiel padaku? Mungkinkah
hanya sekedar iseng saat
menawarkanku sebuah kata?
Aku menggeleng lemah, menepis
semua bayang tentang cinta. Aku
terlalu berangan indah untuk hal
itu, Angan yang sudah lama ku
mulai. Aku bersandar pada ayunan
besi di taman sebuah TK yang
berlokasi sedikit dekat dengan
sekolahku. Seperti inilah
pekerjaanku, setiap pagi sebelum
sampai di sekolah selalu singgah di
TK ini dan menyempatkan diri untuk
BERANGAN.
“Lo suka juga ya nongkrong di sini
seperti anak-anak TK,” Celetuk
seseorang dari belakangku. Aku
menoleh dan agak terkejut
mendapati senyuman dan wajah
Afiel. Aku sedikit mengeser dudukku,
mempersilahkan Afael duduk.
“Lo Ngikutin gue?.” Tanyaku sedikit
sensi. Afiel tertawa renyah sembari
mengangkat sebelah tangannya
menyentuh pipiku.
“Gue nggak punya hobby ngikutin
cewek. Gue juga suka suasana TK
ini,” Jawab Afiel kembali
menurunkan tangannya. Aku
berpaling sedikit memberi Afiel cela
agar ia melanjutkan kata-katanya.
Namun sayang, ia ternyata tak
berniat melanjutkan kata-katanya.
“Nah, kalau gitu, Lo sama kayak gue,”
Kataku dengan nada suara
bergumam.
“BEDA!,” Teriaknya antusias. Aku
mayun dan hanya terdiam di tempat
dudukku.
“Mana buku fisikaMu,” Pinta Afael
sembari menengadahkan telapak
tangannya padaku. Keningku
berkerut samar tetapi tanganku
merongoh tas sekolah mengambil
buku fisika.
“KAMU!.” Kataku menyodorkan buku
fisika padanya. Ia tersenyum
mengerti maksud kata-kataku. Afiel
kemudian mencoret beberapa
kalimat di dalam lebaran buku.
Setelah selesai ia menyodorkan buku
itu kembali padaku.
KAMU
Kamu bagaikan tetes-tetes embun
pagi ini.
Kamu, selalu hadir dalam angan dan
mimpi kelabuKu.
Sebersit rasa ragu datang menemani
Akankah kulihat embun pagi itu hari
esok?
Tinggalkan ragaku menanti KAMU di
buntutnya jalan menuju cintaMu.
Kami berjalan sejajar, Afiel
menyelipkan kedua tangannya ke
dalam saku celana seragamnya, Aku
hanya berjalan dalam diam sembari
memeluk buku fisika. Kami hendak
menuju sekolah.
Rumah Afiel ternyata berada di
sekitar perumahan elit di kompoleks
TK itu. Huh, sudah pasti ia setiap
pagi melewati TK itu menuju
sekolah. TIDAK! Baru hari ini ia tak
membawa motor kawasaki ninjaNya.
Ayo, Afiel. Cerita padaku mengapa
kau meninggalkan kendaraan
setiamu itu?

Kami berpisah di koridor ruangan
osis karena Afiel hendak
mengerjakan sesuatu di ruangan itu.
Aku hanya menganguk agar terkesan
mengizinkan Afiel pergi
meninggalkanku walau sebenarnya
aku sedikit keberatan.
“Kalian berangkat bareng?” Tanya
Chida padaku. Aku menoleh sembari
menganguk.
“Wah, nggak nyangka, jadi gosip itu
bener?!” Kata Chida sembari
mencolek lenganku. Aku mendelik,
menatapnya tak mengerti.
“Gosip apa?” Tanyaku polos.
Chida menatapku nanar. Katanya,
“Pura-pura tuli? Seisi sekolah ini
sudah membicarakan gosip itu sejak
awal februari tahun kemarin hingga
kini, nggak logis kalau Lo nggak
tahu.” Sahut Chida mengeratkan tas
pada bahunya.
“Gue nggak ngeti.”
“Jadi beneran lo nggak tahu?
Padahal jelas-jelas lo jalan sama
Afiel,”
“Oh, jadi ini ada sangkut pautnya
sama dia,” Jidatku di tepuk Chida,
gadis itu dengan gemas
memandangiku.
“Lo mendadak O-On yaa. Tentu aja
semua ini ada sangkut pautnya sama
Afiel, tadi kan gue udah bahas tadi.”
“Suer, gue nggak ngerti sama sekali,
Juga nggak tahu apa maksud lo.
Tolong di perjelas.”
Dan Chida menceritakan semua. Aku
tersenyum, tersenyum bahagia.

Aku membolak-balik lembaran buku
di hadapanKu, Membaca setiap larik
indah di antara rumus-rumus fisika.
Sudah sebulan lebih Afiel selalu
menanyakan ‘satu kata’ jika kami
bertemu di sekolah atau di taman
TK, Dan aku sudah tahu alasan
mengapa sifatnya berubah 100%
daripada pertama kali aku
menempati bangku duduk di
samping mejanya. Aku tahu dan kini
mengerti.
Tetapi itu hanyalah angan kelabu,
seperti setiap kalimat yang ia
tuliskan dalam bukuku, ia selalu
memastikan bahwa ada kata itu
‘ANGAN’. Seperti larik-larik ini.
DI CINTAI
Di Cinta dirimu mungkin terlalu
asing untuk dunia mendengar
Disaat aku menjauh namun rasa ini
berhenti pada titik hatimu
Membawaku jauh dan semakin jauh
mencintaimu
Tak sedikit hasrat hati ini untuk
terus di Cintai dirimu
Menarik hatiku bagai magnet karena
di Cintai dengan cinta bagaikan
emas murni.
Dan aku takkan meninggalkan kamu
dalam angan kelabu ini.
Atau seperti kalimat ini.
JANGAN
Jangan selalu menemani angan
kelabu ini
Jangan biarkan sepi merongrong
malam dingin ini
Jangan biarkan aku menjauh dari
kehidupan bersamamu
Jika suatu saat nanti kita berpisah
mungkin cinta hanyalah Angan
kelabu
Jika tak seharusnya aku disini maka
jangan kau sesali pertemuan kita.
Jangan biarkan hatimu terpaku oleh
luka karena angan yang semu.
Atau kalimat yang paling kusukai ini,
aku selalu membacanya tanpa bosan
sedikitpun.
ANDAI
Andai angin masih berhembus di
wajahKu, aku tahu bahwa saat itu
dan ini kau masih disisi
Anda mentari melahirkan cahaya
penuh perak dan emas, aku tahu
bahwa cintaku masih sama seperti
dulu.
Andai hujan membawa salju, aku
tahu bahwa engkau masih milikku
Dan mohon jangan biarkan andai-
andaiku ini hanya sekedar ANGAN
dalam ANGAN kelabu.
Tetap temani aku menjadi peri
kecilku yang selalu PUTIH.
Ya Tuhan, tolong bawa aku
bersamanya sekarang. Aku tak ingin
Ini semua berakhir karena memang
ini hanya angan kelabu KAMI.
Tuhan, sempurnakan aku dengan
hadirnya disini. Aku ingin melihat
senyum yang dulu selalu menghiasi
pagi penuh embun. Beri aku sedikit
waktu untuk menghabiskan sekali
lagi waktuku bersamanya.
Aku menangis di taman TK yang
pernah kami singahi bersama,
berlabuh dan menangis bersama
embun pagi. Aku sudah kehilangan
Afael Seminggu ini, ia pergi demi
masa depannya, ia pergi sebelum
menyatakan MENCINTAIKU. Ia
meninggalkanku bersama beribu
sanjaknya, bersama kenangan yang
kini menjadi Angan kelabu semata.
Kudengar suara angin melambai
ranting pohon di samping ayunan
besi, Aku menyembunyikian
tangisanku di balik buku fisika yang
telah menjadi saksi cinta Afael.
Rasanya aku ingin merobek isi buku
ini agar membuatku melupakan
Afael, namun mana mungkin itu
terjadi disaat aku benar-benar tak
bisa melupakannya.
Tubuhku di guncang sebuah tangan,
tangan itu memengang lututku. Aku
menengadah mendapati seorang
bocah lelaki sedang menatapku -Iba.
Bocah itu menghapus airmataku
yang masih bercucuran, aku
terkesima dengan perbuatan anak
kecil Polos itu.
“Kakak, jangan nangis dong. Cinta
itu nggak akan tega meninggalkan
malaikatnya.” Kata bocah itu, ia
tersenyum dan itu membuatku
menangis lagi, lagi dan lagi. Tiba-
tiba ia memberiku sebuah baju kaos
biru polos padaku, ia lalu pergi
meninggalkan ku.
Aku memandang kaos itu. Apa
maksud bocah itu? Mengapa ia
memberiku kaos murahan ini?
Dengan perasaan tak menentu, aku
membuka lipatan kaos itu dan
betapa kaget saat mendapati larik-
larik itu disana.
SENDIRI
Sendiri mungkin membuatku sesak
tetapi aku sadar ada kamu
menemani
Sendiri meresapi murninya perasaan
cinta membuatku tak mampu lebih
jauh darimu
Maaf bila dulu Angan kelabu itu
selalu menghantui langkahku
Maaf bila aku harus pergi
Dan
Maaf bila kini aku harus kembali
mengakhiri kesendiriaanKu.
Dan tepat saat itu sebuah jemari
menghapus airmataku yang
berjatuhan. Jemari yang selalu ku
nantikan, Jemari yang selalu ku
rindukan. Afiel Kembali! Aku
memeluknya dan menangis hingga
aku sadar bahwa kebahagiaanku
sepenuhnya adalah bersamanya.
Dan angan kelabu itu hanyalah
berwujud sebuah ketakutan.
“Jangan pergi lagi.” Pintaku disela
tangisan.
“Aku berjanji, Lantika.” Jawabnya
tegas.
Lalu ia mencium keningku sembari
mengucapkan kata-kata itu. “Aku
selalu mencintaimu, dulu, sekarang
dan sampai selamanya perasaan ini
takkan pernah terkoyak.”

End...

Penulis  


Cmst.bts.monta

29 Januari 2014

Hujan Di Depan Pintu

*********-----------***********
Pandanganku menembus jendela.
sesosok wajah yang semalam ada
dalam mimpiku tiba-tiba muncul.
Bayangannya tampak buram. Uap
embun semakin menyamarkannya.
Aku melongo. sesekali menguap
diikuti pertanyaan yang mulai
menggelitik di benakku. Cintakah
yang membawa wajahnya hadir di
balik sana…?. aneh. Tapi, jika ini
bukan cinta, kenapa mendadak detak
jantungku berpacu di atas normal.
Entah angin apa yang membawa
perasaan asing ini. Aku kembali
memejamkan mataku. Sekilas aku
mengingat wajahnya. kecantikannya
relatif. Tubuhnya juga tidak terlalu
proporsional. Namun, aku tidak
menemukan satupun alasan agar
aku bisa menunda perasaan ini.
Aku harap para ilmuwan mulai
meneliti jenis perasaan apa yang
telah membuatku jadi tak karuan
seperti ini. Perasaan yang membawa
tanya baru setelah banyak masalah
yang menerpa hidupku. Semoga
dengan sesachet sampo aku dapat
menghanyutkan perasaan ini. Iya,
setidaknya agar aku dapat
menunjukkan wajah sumringah di
depan para pelanggan toko.
Pagi ini aku beruntung. daya datang
lebih awal dari hari biasanya. Aku
jadi tak perlu repot-repot
membereskan toko seperti biasa.
Tapi, ada yang aneh pada anak itu.
Sikapnya hari ini patut untuk
dicurigai. Aku terus mengawasinya.
Mungkin sebentar lagi aku akan
segera mengetahui modus di balik
sikap manisnya pagi itu. Daya
cengengesan. Aku jadi ngeri
melihatnya.
“woii….” teriaknya menyadarkanku
“hayo, jangan-jangan loe lagi
ngelamunin Vila gue ya” tebaknya
sok tau.
“Aisshh…” timpalku dengan desahan
menyangkal.
“by the way, gue ijin jemput Vila di
kampus ya sob” Pinta Daya sobat
sekaligus partner kerjaku. Tebakanku
tidak meleset, ada saja cara anak itu
untuk meluluhkan hatiku
“cabut deh..!!, sebelum Vila dibawa
cowok lain” kataku menyarankan.
Daya melotot tak terima dengan
ucapanku
“hehh. satu-satunya cowok yang bisa
buat vila kecentilan, ya loe.
Bayangin aja, di depan gue dia
histeris gitu kalo liat loe, hizzt. gue
cium juga tuh cewek” Paparnya
panjang lebar.
“jiahh.. itu si mau loe,” tukasku
dengan nada mengejek.
“Dihh. gue pecat juga loe jadi boss”
Saut Daya sambil melenggang keluar
sebelum aku sempat memprotesnya.
Aku rasa, jadi diri sendiri memang
lebih menyenangkan, dibandingkan
harus berpura-pura jadi orang lain.
Meskipun terkadang anak itu
menyebalkan, tapi aku suka dengan
loyalitasnya terhadap pekerjaan
sekaligus persahabatan kami.
Oya, selain tercatat sebagai salah
satu mahasiswa di sebuah
perguruan tinggi swasta. Aku juga
tercatat sebagai wirausaha yang
masih mencoba peruntungannya.
Raskavara’s Bookstore, sebuah toko
buku sederhana yang berdiri di
persimpangan padat menuju pusat
kota Mataram.
Setiap hari pengunjungnya cukup
beraneka ragam. Ada ibu rumah
tangga yang mencari buku resep
makanan, ada para pelajar yang
sekedar mampir untuk membaca
novel-novel cinta, ada juga yang
datang hanya sekedar kongkow-
kongkow saja, bahkan tak sedikit ada
yang hanya numpang ke toilet. Aku
hanya bisa geleng-geleng kepala
melihat orang-orang dengan karakter
yang berbeda-beda. Tapi,
menyenangkan sekali dapat bertegur
sapa dengan orang-orang yang baru.
Bahkan tak jarang ada yang bisa
dijadikan teman.
Siang itu aku sibuk mencari kunci
motor yang tak sengaja terjatuh di
bawah kolong meja kasir ketika
seorang pelanggan membuatku
tersungkur sampai meninggalkan
bekas merah di sekitar keningku.
“Opps. maaf” katanya merasa
bersalah.
“it’s ok. Ada yang bisa…” kataku
terputus setelah melihat wajah si
pemilik suara itu. Seorang gadis
bertubuh tambun tampak manis
membuatku mematung.
“heii.. gue mau beli buku, bukannya
mau liatin loe bengong di situ”
katanya ketus.
“Hemt. I-iya maaf.” jawabku
menyesal.
Sebelum meneruskan kalimatnya
gadis itu menengok ke kanan lalu ke
kiri. Setelah merasa tak ada yang
mengawasinya ia baru berkata.
“by the way, ada buku tentang diet
yang jitu nggak?” tanyanya setengah
berbisik.
“Nggak ada…” Lontarku spontan. Aku
menggigit bibir bawah gugup karena
tak terbiasa berbohong.
“Hempp.. oke deh. makasih” katanya
dengan nada melemah.
“Heii…” panggilku sambil meraih
lengannya. “cantik itu nggak harus
kurus, dan menurut gue… loe lebih
dari cantik” kalimatku berhenti
disitu. aku terdiam beberapa saat.
wajah itu yang setiap hari berlalu
lalang di pikiranku dan saat ini kami
begitu dekat. Aku kembali goyah,
hatiku kembali diuji. Ouhh. ingin
rasanya untuk sementara
mengalihkan rasa ini. Rasa yang
mulai buta, tak tahu kapan ia harus
muncul secara tiba-tiba seperti ini.
“Loe akan ngerti kalau loe jadi gue”
katanya singkat saja sembari
mengibaskan lengannya. akhir yang
tidak kuinginkan. Gadis itu semakin
membuatku penasaran dengan sikap
yang tidak terlalu manis itu. Hari ini
aku membiarkannya pergi,
setidaknya sampai aku mengetahui
jenis perasaan apa yang tengah
menyambangiku.
Aku terdiam mengulang kembali
kejadian tadi. Mungkin tidak
sepatutnya aku bertingkah seperti
itu. Apalagi terhadap salah satu
pengunjungku. Hufft, rasanya ingin
sekali aku mengulang waktu. Aku
jadi geli mengulang ucapanku tadi.
Seharusnya aku bisa menahan
perasaanku, kalau sudah seperti ini
cara apalagi yang dapat
mempertemukan kami. Baru kali ini
aku terlihat seperti orang bodoh,
bahkan meskipun aku bodoh, aku
tidak akan menunjukkannya pada
orang lain. Termasuk sesosok
manusia yang tiba-tiba muncul
entah dari mana asalnya.
“Raska…” pekiknya seperti biasa.
“aduh… raska makin ganteng aja
deh” katanya sambil bersandar ke
meja kasir.
Tiba-tiba daya juga muncul
beberapa saat ketika vila tiba.
“Vila…” panggil daya mencoba
mengalihkan perhatian kekasihnya
itu dariku.
“huhh… kenapa ya vila nggak jatuh
cinta sama raska aja” kata Vila
terdengar manja. aku tak menjamin
kalimat itu tidak menyinggung
perasaan Daya yang tampak mulai
geram.
“ya udah, mendingan kamu pacaran
aja gih sama Raska” Protes Daya
sensitif. Langkahnya menjauh lalu
diikuti suara ketukan highheels Vila.
Tiba-tiba vila menghentikan aksi
kejar-kejarannya dengan daya
“ini apa, ka?” Tanya vila ketika
langkahnya menyambar sebuah
benda sejenis Id card yang saat ini
terselip di antara jari tengah dan
telunjuknya, “Wait… ini kan cewek
aneh di kelas gue, liat deh, ka!”
ujarnya sambil menunjukkannya
padaku.
Aku jadi penasaran siapa gadis yang
dimaksud vila
“Alera…?” kataku terkejut setelah
melihat wajah yang tak asing lagi.
“raska kenal sama cewek itu?”
Aku tak menggubris pertanyaan vila.
“besok loe ada kelas nggak, vil?”
sautku.
Vila tampak kebingungan namun
tetap meladeniku.
“he-eh, vila ada kelas pagi” jawabnya
membuatku bergairah. Barangkali
inilah cara Tuhan kembali
mempertemukanku dengan gadis itu.
Rasanya tak sabar untuk bertemu
pagi lagi. Cuaca di luar tampak
mendung, waktu jadi terasa singkat.
Aku lebih awal menutup toko.
Sepulang dari toko aku langsung
terlelap agar malam cepat berganti
pagi.
Semalam mimpiku agak aneh. Tapi
aku cuek aja. Yang terpenting pagi
ini aku telah terbangun dengan
perasaan yang semakin menggebu-
gebu. Langit tampak muram
beberapa kali berdehem. Burung-
burung mulai membangun kembali
sarangnya agar terjaga dari hawa
dingin yang mulai berhembus.
Saatnya memulai hari yang baru dan
meninggalkan masa-masa yang telah
berlalu. Sebelum memulai
rencanaku pagi ini, aku sengaja
mampir ke toko. Kadang-kadang
sikap daya tak bisa ditebak, kemarin
manis belum tentu hari ini masih
sekonsisten kemarin. Ranting-ranting
pohon di depan toko masih basah
terkena sisa gerimis semalam. Di
balik kaca toko aku melihat daya
duduk manis di depan mesin kasir.
Heran melihat daya yang biasanya
slengean tampak murung. Rasanya
aku bukan sedang berhadapan
dengan daya, dia seperti orang yang
baru patah hati. Mungkin.
“waww.. kayaknya jam gue salah
deh..” kataku sok-sokan melirik jam
tangan kulitku. Daya sama sekali
tidak melirik kedatanganku.
“gue lagi bad mood” celetuk daya
sekenanya.
Sudah kutebak.
“Oh, baguslah kalau gitu”
Kali ini daya baru mendongakkan
wajahnya.
“Aissh. sobat macam apa loe”
timpalnya masih sempat memprotes.
Aku nyrenges melihat tampang daya.
Menyenangkan sekali bisa menggoda
anak itu. Tapi, tampangnya
membuatku takut pelanggan pada
kabur karena saking ngerinya
melihat wajah cemberut itu.
Ting! ting!. Lonceng pintu bersua.
Keadaan daya tak memungkinkan
untuk menyambut pelanggan. Aku
mengalah saja. menyambut
pelanggan pertama kami hari ini.
Aku tersenyum getir. Pelanggan yang
aku harapkan malah vila yang tiba-
tiba muncul.
“Vila..?, sob bilang gue nggak masuk
ya” pinta daya segera menghilang
seperti kabut yang tertiup angin.
“pagi, ka.” sapa Vila orang kedua
yang tampak lesu hari ini.
“kenapa, vil..?, belum dikasih
sarapan ya” tanyaku keheranan tak
menemukan vila yang biasanya
tampak bersemangat.
“hemmp. daya belum dateng, ka?”
“belum dan kayaknya si nggak akan
datang”
Ucapanku cukup menimbulkan reaksi
yang berarti pada wajahnya.
“vila salah ya, ka” ujar vila
Aku menyembunyikan
keterkejutanku. Gadis manja itu tak
biasanya sedewasa ini.
“Cowok itu ngga suka dibanding-
bandingin”
Vila mendekatkan wajahnya.
“Jadi loe juga akan marah?”
Aku ikut mendekatkan wajahku
padanya.
“Bukan marah lagi, gue langsung
putusin tuh cewek, cari deh yang
lain, cewek yang menerima gue
karena gue Raska, bukan orang lain”
kataku dengan nada ketus.
“Separah itu ya?. Apa cara vila
salah?, padahal kan vila cuma
pengin daya tau, kalau dia
beruntung punya vila, karena itu
juga yang vila rasain sekarang, vila
beruntung banget daya mencintai
vila bahkan kekurangan vila
sekalipun daya juga mau terima.
Aduhhhh… sumpah ya vila bodoh
banget” papar vila. Aku hanya
manggut-manggut aja mendengar
keluh kesah gadis manja itu.
Dari balik salah satu rak buku aku
yakin daya lagi nangis bombay
mendengar ungkapan lugu dari
mulut kekasihnya itu. Benar kan
tebakanku. Daya tiba-tiba muncul
seperti tokoh pria dalam film-film
romantis.
“Dasar bodoh…” tukas daya sok
keren.
Vila terkejut tapi tak bisa menutupi
kebahagiannya.
“Daya.. hemmt, maafin vila ya..!”
tutur vila sedikit malu-malu.
Daya melengos. Vila tampak kecewa.
“maafnya aku terima..” kata daya
tiba-tiba. aku seperti tengah
menyaksikan drama era 80-an.
Setelah saling memaafkan, tubuh
mereka bersatu dalam sebuah
pelukan sementara aku gelisah
mengikuti lajunya jarum jam yang
melingkar di pergelangan tanganku.
“sob, gue titip toko ya,.!!” kataku
tergesa-gesa.
Daya tersenyum, tapi tak mau
melepas pelukannya. Huhh, aku jadi
iri melihatnya.
“Ok. goodluck sob..” kata daya
menyemangati.
On the way ke Fakultas Psikologi. Aku
belum sempat memikirkan langkah
kedua yang akan kulakukan ketika
cinta membuatku berpikir tanpa
logika. Ok, take it easy. pikirku
menghibur diri. Hufft. entahlah apa
yang kulakukan ini masih diambang
wajar…?. yang aku tahu aku datang
atas nama cinta. Sebuah panggilan
hati bukan obsesi yang sebentar
akan pergi, bukan pula emosi yang
sesaat akan mereda. Cinta adalah
seni rasa yang indah. Bukan cuaca
yang dapat diprediksi, karena cinta
datang ketika kita tak mengharapkan
kehadirannya lalu pergi ketika rasa
itu mulai kehilangan maknanya.
Tak ada istilah habis manis sepah
dibuang dalam cinta, tetapi habis
manis sepah dikenang. Dari jarak
beberapa meter aku telah mengenali
caranya berdiri. Wanita yang sedikit
bermasalah dengan rasa percaya
dirinya. Wanita yang tak cukup
pandai memilih gaya rambut untuk
wajah bulatnya. Wanita yang lebih
memilih duduk sendiri di koridor
dibandingkan untuk sekedar
memusingkan trend hallyu wave
yang sedang populer di kalangan
anak muda saat ini. Hemt. aku rasa
tak ada alasan yang cukup sehingga
cintaku harus memilih dia. Rasa ini
benar-benar merepotkanku. Tapi di
sisi lain juga membuat hidupku
semakin bergairah. Aku menghela
nafas beberapa kali. Tanganku
mengepal ke atas. Fighting…!!,
batinku ala drama korea.
“Hei…”
Gadis itu tampak terkejut.
“Loe…?, Raskavara’s bookstore itu
kan?” katanya asal menebak namun
tepat.
Aku senang ia masih mengenaliku.
“wah… loe masih inget, gue raska,
loe Alera kan..?” ujarku sok kenal.
Gadis itu tampak semakin
kebingungan. aku berharap
penampilanku tak membuatnya
ilfeel. Aku hanya berusaha untuk
sedikit tampil beda. Tapi, tetap
menonjolkan sisi raska yang
biasanya.
“dari mana loe tahu…” katanya tak
sempat meneruskan kalimatnya.
“gue rasa ini punya loe deh..” kataku
sembari menunjukan kertas
berbentuk segi empat itu.
“KTM gue…?” Pekik gadis itu
berusaha mengambilnya dari
tanganku.
“Eittzz.. ada syaratnya…”
“syarat apa…?”
Kali ini aku cukup gugup.
Kesempatan nggak akan datang
dengan kebetulan, jadi, aku rasa
cukup pantas sebagai lelaki gentle
aku bicara sesuai dengan apa yang
aku rasakan.
“jadi cewek gue…!” pintaku secara
langsung padanya.
“Hehh. Emangnya di jidat gue ada
tulisan ‘buka lowongan pacar’.
Nothing..!” tukasnya mulai senewen,
tapi malah tampak menggemaskan.
Aku masih tak kehilangan akal
“loe harus tanggung jawab, karena
loe gue hampir gila” tuturku
mendramatisir.
“freak…!, ehh, permintaan loe itu
nggak beralasan” kata gadis itu lalu
berusaha melangkah seperti ingin
menjaga jarak denganku.
Aku berpikir lebih keras lagi
“gue suka sama cara loe berdiri, gue
suka sama cara loe tersenyum, gue
suka sama cara loe bentak gue, gue
suka semua yang ada di dalam diri
loe. Itu cukup kan..?” paparku
sambil bergeser agar sejajar dengan
tubuhnya.
“tapi…” desahnya
“bahkan gue suka sama sesuatu yang
nggak loe sukai dari diri loe”
timpalku menambahkan.
Aku tak menyangka ucapan
terakhirku membuahkan sebuah
senyuman dari bibirnya.
“hemm… loe bukan hampir gila, tapi
loe memang udah gila” balasnya.
“makasih aja cukup kan?” tukasnya
sebelum membuatku gigit jari
kecewa atas kepergiannya.
Aku melongo. Heran. apa yang
kurang dariku…?
“sebenernya gue apa dia si yang
gila…” gerutuku tak ingin berlama-
lama berdiri di situ. Like an Idiot.
Meski hasilnya tidak sesuai dengan
apa yang aku harapkan. Namun, aku
masih berusaha berjalan tegak
menyelusuri jalan ke arah toko.
Siang ini aku masih termangu tak
peduli dengan pelanggan yang
melalang lintang di depanku. Tadi
daya ijin keluar dengan vila. Anak
itu benar-benar tidak
berpripersahabatan. sahabat macam
apa yang meninggalkan sahabatnya
dalam keadaan batin yang
tergoncang seperti saat ini. Hufft.
hidupku benar-benar
dijungkirbalikkan. cinta yang
sebelumnya selalu mengejarku saat
ini malah berbalik arah dariku.
ketika aku menetapkan pilihan
bukannya orang lain yang
menetapkan pilihannya padaku cinta
seakan mempermainkan. Aku bukan
tipe orang yang mudah jatuh hati
pada seorang wanita. Mungkin itu
juga yang menyebabkanku sulit
untuk melepas orang yang sudah
terlanjur aku cintai.
Ting! ting!. lonceng pintu
berdenting. Sejenak aku melupakan
masalah yang tengah mendera
pikiranku. Aku mengalihkan
pandanganku ke sana. Seorang gadis
berbando coklat muncul dari balik
pintu. Rambutnya hampir menutupi
seluruh pundak. Ini pertama kalinya
aku melihat rambutnya digerai.
Sedetik pun aku tak berniat berkedip
ketika gadis itu sempat beberapa
kali berdehem ingin menyadarkanku,
“hehh. balikin KTM gue..!” sergapnya
masih dengan nada ketus sementara
aku masih sok cuek tak
menghiraukannya. “sumpah ya, loe
itu cowok paling nyebelin di antara
cowok nyebelin lainnya” tukasnya
geram.
Seorang pelangganku mulai bosan
menunggu gadis itu bergeser dari
meja kasir
“mba gantian dong, saya juga mau
bayar nih..” protesnya dari tadi
berdiri di belakang Alera
Aku hanya tersenyum melihat reaksi
alera.
“tolong ya mba minggir dulu ada
yang mau antri” celetukku mencoba
menggoda gadis itu.
Wajah alera memerah.
“Ikhh… loee…” gerutunya terlanjur
kesal lalu beranjak pergi menabrak
lonceng pintu cukup keras. Aku
cekikikan saja. Tapi tetap tak
mengalihkan pandanganku padanya.
Dewi fortuna masih berpihak
padaku. Langit tiba-tiba
bergemuruh. awan bersendawa.
Bulir-bulir gerimis mulai pecah di
atas tanah. Hujan seperti tumpah
dari langit. Aku melirik. Gadis itu
mengurungkan niatnya untuk pergi.
Aku pikir dia akan nekad menerjang
derasnya hujan. Untunglah aku
belum terlambat. Tapi, aku masih
belum puas memandangi wajahnya
dari balik pintu toko yang terbuat
dari kaca. Hujan bukannya mereda
malah bertambah deras. Sesekali
telapak tangannya menengadah
secara bergantian merasakan
derasnya air yang tak kunjung surut.
Beranda toko yang sempit mulai
membuatnya basah.
Aku mengambil sebuah payung
merah jambu tanpa motif. Baru kali
ini aku merasa diuntungkan oleh
kebiasaan Vila yang sering
meninggalkan barang-barangnya di
toko. Gadis itu menoleh ke arahku
ketika mendengar lonceng pintu
gemericik.
“hujan…” desahku tak ada
kelanjutannya. Kami diam, ia hanya
diam. Aku tampak bodoh kali ini.
Bukankah ini moment yang
kuharapkan?, come on Raska, it’s not
yourself. kataku dalam hati.
“aku suka suara hujan..” desahnya
menoleh padaku.
Aku tak membalas tatapannya, masih
terpaku,
“oh ya…” kataku tak menyangka ia
memulainya. Oh ya?, aissh, jawaban
macam apa itu. tak berkarismatik.
ujarku tampak dongkol.
Gadis itu maju selangkah merasakan
percikan hujan yang mulai
memantul.
“damai…” lanjutnya
Aku ikut menambah langkahku.
Sekarang aku yang memandanginya
dengan jarak terdekatku. Dari
samping dia masih terlihat manis.
Alera tak menyadari langkahku. Ia
masih menghitung percikan air yang
membasahi wajahnya.
Aku melihat beberapa butir hujan
yang mulai tergelincir dari dagu
hingga ke lehernya. Aku menarik
nafas, lalu menghembuskannya lewat
kata yang hendak kusampaikan
padanya…
“Hujan, sampaikan pada gadis ini
bahwa cintaku sebanyak bulir-bulir
air yang kau jatuhkan, dan seindah
pelangi yang terlukis setelah kau
pergi…” kataku tiba-tiba terlontar
dengan teratur.
Alera menengok kepadaku. aku
tersenyum penuh arti padanya
“Raska…” Desahnya pertama kali
mengeja namaku lalu kembali
mendongak ke langit seperti sedang
berbicara dengan hujan. kilatan
tajam membesit ke langit. Tiba-tiba
suara menggelegar bak raksasa yang
sedang berdehem mengikuti kilatan
itu. Duuuaaarrr…!!. Jantungku
berhenti berdetak. bukan karena
suara petir tadi. Nafas kami saling
bertukar. Aku menyukai aroma mint
dari bibirnya. Payung di tanganku
terlepas begitu saja. Aku belum
sadar dengan apa yang sedang
terjadi. lantunan hujan mulai
mengiringi, suaranya kedengaran
seperti nada-nada fur elise. Dada
kami semakin gemetar saja. jangan
salah paham, ini benar-benar
kebetulan atau mungkin
keberuntungan. Bibir kami tak
sengaja bersentuhan. Mata kami
dipadukan. Bibirnya bergetar.
Nafasnya semakin tak teratur.
Rasanya seperti terkena sengatan
mematikan. Dan jauh di dalam
matanya ada aku bersama hujan
yang membawa butiran cintanya
hingga jatuh ke tanah.
    

End..

Penulis    

Cmst.bts.monta

28 Januari 2014

Nafas Semesta

Katakan kepada hidupku, tentang
cinta yang menyatukan langit dan
bumi.

Katakanlah kepadaku, wahai
kekasih.
Saat jiwamu kau pagari dengan
kesucian.
Maka tak kan ada ruang bagi
budak-budak cinta akan
memasukinya.

Maka hidupku adalah jiwa yang
mabuk dan terpesona dengan pijar
di matamu.

Padahal sinar matamu teruntuk
jalan bila gelap, dan buat cahaya di
antara hati dan mimpi.

Akulah yang melihatmu dalam pijar
langit dan bumi.
Yang mengajariku bahwa cinta
adalah kenyataan yang memenuhi
keduanya.

Jika mimpi telah beranjak, siapakah
yang menemukan kemuliaanya
kembali di tanah ini ?

Mimpilah yang mengajarkan hidup
tentang kehalusan, dan jiwa yang
penuh kasih.

Katakanlah kepadaku,
hai kekasih, yang memijarkan
kalbuku adalah jiwamu.
Lalu mengapakah aku seperti
budak-budak kesunyian kerena
rasa cinta kepadamu.

Adakah hidup yang mencintai
adalah kebencian di langit, karena
telah ku pijak sang bumi dengan
rindu-rindu hatiku kepadamu.

Katakanlah kekasih,
tentang cinta yang menyatukan
langit dan bumi.
Di saat langit mengenggam jiwamu,
aku juga memburu nafasmu.

Biarkan aku berpacu dengan jalan,
waktu, dan takdir.
Dan janganlah bulan menjauhiku
jika malam aku melukismu.

Bumilah tempat kasih jiwa tumbuh,
dan langit adalah pucuk- pucuknya.
Kekasih dengarlah jika langit telah
menghujamiku cerca, ia berkata,
“pergilah kepada kesunyian dan
hati yang tersiksa, di jalan-jalan
bumi cinta menyengsarakan hati,
dan menjauhkan segala mimpi. “

Cintakah yang melibatkan hidup di
dalam penantian, pada hari-hari
yang tidak pernah pasti.

Tentang keburamannya yang
menebar tak terarah.
Menghapus cahaya dan jiwapun
sirna.

Atau cintakah yang melarikan
mimpi- mimpi ke dalam belenggu
sunyi, yang memenjarakan kalbu.

Maka simaklah apa yang
diucapkannya saat ku pandang
langit dari atas negeri ini,
“ tembuslah sejauh cakrawala
untuk bisa meraih sang cinta, atau
jika engkau telah mengarungi
semua kematian. “

Yah, cinta adalah kematian
sekaligus kehidupan.
Kematiannya seperti para pemabuk
yang tidak sadarkan diri, berjalan
dalam sunyi malam, mengigau di
lorong-lorong kota, menjeritkan
ketidaktahuan dan kegelisahan.

Cinta yang membunuh kesadaran,
merampas jiwa menjadi budak-
budak cintanya, membelenggunya.
Menjadikan jiwa-jiwa putus asa,
membenci kehidupan, mendendam
kepada senyuman yang tersungging
di bibir pagi.

Cinta adalah kuburan bagi
kenangan, yang diziarahi tangis dan
mimpi, yang selalu ditaburi doa-doa
sunyi, di saat jiwa meratapi dunia
yang merebut janji sang kekasih.

Cinta adalah saat-saat buta, karena
tidak dapat melihat selain wajah
keinginan, dan menatap kerinduan
bagai alam yang teramat jauh, yang
tidak akan terjangkau selamanya
meski hidup telah melakukan
segalanya.

Sedang hidupnya cinta seperti jiwa
yang berfijar, laksana suluh yang
membangunkan tidur yang beku
karena waktu senantiasa
melelapkan lembah- lembah, dialah
fijar yang membidik titik
kebangkitan bagi kehidupan yang
telah diselubungi aroma kematian
di kalbunya.

Cinta seperti pijar yang keluar dari
keluhuran semesta,
menjadikan cahaya wajah begitu
indah pada senyum bahagianya,
lidahnya yang melantunkan puji-
puji, tangannya yang melukis
kenyataan,
jiwanya yang menulis kebenaran,
dan hidupnya mengusir kematian
segala makna.

Cinta adalah pijar di kegelapan dan
kehampaan, saat para jiwa
terduduk lesu terperangkap.
Yang menembus ke dalam naluri
dan menerangi sisi yang sunyi,
mengajarinya melihat hidupnya
langit, dan menghangatkannya
dengan menghidupkan kasih.

Maka dimanakah kehidupan cinta,
yang bisa melindungiku dari
kesedihan.

Atau bisa menghindarkanku dari
sunyi yang membunuh.

Ucapkanlah, hai kekasih.

Dari lidah jiwamu, tentang cinta
yang menyatukan langit dan bumi.

Agar ada jalan bagi bayanganku
yang menjejaki bumi dapat
melayang tinggi di sekitar langit,
bersama bayangmu yang menghiasi
mimpi-mimpi.
°°°°°°

bts.CMsT.monta.sakti

Syair CahayaMu

Di Taman Edan, aku bersua sesosok
kata terpuruk mabuk dipojok
kalimat jorok.
Rambut gimbal akar gantung
beringin tua, pakaian kumal sarang
kepinding dan kecoa, mulut busuk
comberan mampat, tubuh gembrot
burik berborok.
Kusapa ia dengan cinta.
Mata bara menjelang padam, kerjap
binal bintang zohal.
Kutawari ia mandi, pakaian bersih-
rapi, sebotol minyak wangi.
Siapa tahu kelak, ketika nasib tak
lagi congkak,
seorang penyair yang sedang cari
inspirasi memungutnya sebagai
anak asuh dan memberinya rumah
dalam puisi yang teduh.
Aku ingin kau mampus, ia
mendengus ketus.
Bau mulutnya alkohol kakilima.
Lidah bercabang, kata-kata terucap
sumbang.
Kudengar ia kentut, udara pun
semaput.
Lalu ia muntah, menumpahkan
bangkai kawan-kawannya sendiri
yang ia telan sembari masturbasi
Tak ada sajak cukup kupijak, ia
berlagak.
Aku terlalu besar.
Aku bukan kata sekadar.
Segala sesuatu bermula dariku.
Aku penyebab penyair lahir.
Firmanku suci, perintahku dipatuhi
para nabi.
Penyair tak lebih dari pendusta
nyinyir, bertualang dari remang ke
temaram, tanpa kitab keabadian.
Aku kutuk mereka:
mendamba cahaya, didera derita
Mungkin saat itu tuhan pulas di
selembar daun apel yang lepas.
Angin berdesir, muncul si penyair.
Rambut tersisir klimis, dandanan
necis.
Sambil mengelap ujung sepatu ia
ucap salam rindu kepadaku.
Kata- katanya terdengar lain,
sesahdu irama latin.
Aku terpukau, dalam dirinya
bebukit hijau, bentang kebun kakao,
kemilau danau
Sambil menimang apel malang,
si penyair bilang:
Aku sedang menyusun ulang kata-
kata yang sengaja tak diucapkan
Adam kepada Eva, tentang Lilith
istri pertamanya.
Kelak akan gamblang, mengapa
dunia dipenuhi para pecundang.
Mereka pencemburu yang tak doyan
mengunyah sajak, lebih gemar
memburu dan mengenyah orang
bijak, bersenjata pedang dusta
Kata busuk yang terpuruk mabuk di
pojok kalimat jorok itu seketika
kuyu.
Ia beringsut kecut,
melata pergi, lalu lesap ke kobar
api,
jauh di luar sajak ini
-------------------------------
-------------------------------
(Sungguh),
aku tergoda untuk menjamahnya,
namun aku kehilangan kata untuk
memaknai sajak-sajak sadis yang
kata"nya sungguh luar biasa.)
____________

CMST.bts.monta

Aksara yang Hilang

      Montong Tangi  07 februari
_________________________

Kau bagaikan cahaya yang
berkilauan
Seperti putri dari sebuah kerajaan
yang sangat jauh
Kau ada disini, aku bisa melihatmu
Tapi aku tetap tidak bisa
menyentuhmu
Kau seperti udara yang brgelimang
di sekitarku
Bergerak sesukamu tanpa takut
dimarahi
Kau seperti kincir angin
Berputar dan terus berputar
Ingin rasanya aku menggapaimu
Tapi aku terlalu takut dan terlalu
pengecut
“Huft..” Aku menghela napas, ini
sudah kesekian kalinya orang
bernama facebook calek macel itu
mengirimkan pesan di dindingku.
Entah apa yang ingin dia sampaikan
padaku, yang aku tahu setiap kali
aku membaca tulisannya, aku selalu
merasa ada kesepian di setiap
pilihan kata yang dia gunakan.
Rasanya seperti dia menginginkan
sesuatu yang saaangat jauh.
“Woi.., main aja! Udah waktunya
kerja nih, Neng!” Trya, sahabat
sekaligus partnerku di SPRING,
menepuk kedua pundakku dari
belakang.
“Iya-iya, masih lima menit ini
istirahatnya, kan?!” belaku
“As.., artikel yang buat kolom cuap-
cuap udah belum?” teriak mbak Sesil
dari ruangannya.
“Ya ampun, Mbak, gue lupa!” aku
menepuk dahi. “Masih di flash,
Mbak. Tapi Flashnya dibawa Gana.”
“Lho?” Mbak Sesil menongolkan
kepalanya dari balik pintu. “Ya udah
cepet cari Gana sekarang, minta
flashnya terus kasihin gue! Sebelum
jam sebelas, ya!”
“Eh?! Sekarang kan jam sebelas
kurang sepuluh, mampus gue. Try,
nitip barang-barang gue ya..” Aku
bergegas meninggalkan ruanganku,
membiarkan mejaku berantakan.
“Dasar!” Trya cuma bisa bilang
begitu. Sudah paham betul dia
pada sifatku yang seperti ini.
Aku berlari sekuat tenaga, berusaha
secepat mungkin sampai di lapangan
tengah, tempat dimana Gana sedang
meliput berita sekarang. Gak perduli
sudah berapa ratus orang yang aku
tabrak, yang penting aku bisa
bertemu Gana secepatnya,
mengambil flashdiskku dan
menyerahkan tugasku tepat waktu.
Sebelum mbak Sesil, pimred majalah
sekolahku – SPRING meledak dan
menghujaniku dengan lahar
panasnya.
“Bruk.. buk.. prang..” tapi sepertinya
aku tidak bisa untuk tidak
mempedulikan tabrakanku kali ini.
Pasalnya, ada benda lain yang
menjadi korban tabrakan itu. Benda
itu terjun bebas menyapa tanah.
Membuatnya berpisah jadi bagian-
bagian kecil. Benda itu… Kamera SLR
milik RAMA!!! – shock.
Rama memperhatikan kameranya
yang sudah berantakan, lalu pelan-
pelan menatapku “Ello…” Rama
melotot, bola matanya tajam seolah
ingin menelanku.
“So…sorry.. gue gak sengaja..” aku
menggigit bibir, ciut melihat
ekspresi Rama yang menyeramkan
seperti itu.
“Sorry? Loe pikir kamera gue bisa
balik dengan loe bilang sorry?”
bentaknya.
“Gue kan, gak sengaja!”
“Heh.. gak sengaja? Jelas-jelas di
koridor segede ini, loe masih bisa
nabrak orang dan loe bilang gak
sengaja?” katanya sambil
melentangkan tangan seolah
mengukur lebar koridor sekolah.
Aku yang tadinya bersungguh-
sungguh minta maaf jadi jengkel
juga “Ahk.. bilang aja minta ganti
rugi! Gak usah khawatir, deh! Kamera
udah butut gini, gue ganti yang
seratus kali lebih baik dari pada
ini.” aku ikut-ikutan emosi. Entah
kenapa, sejak dulu, aku tidak pernah
bisa santai kalau berurusan dengan
orang ini. Pasti selalu berantem.
Mata Rama semakin membelalak. Di
mataku sekarang, dia lebih terlihat
mengerikan daripada vampaneze
(vampire jahat yang menghisap
habis darah manusia sampai
meninggal dalam cerita Darren shan)
. Tangan Rama tiba-tiba terangkat,
dia hampir saja mendaratkan sebuah
tanparan di pipiku.
Aku bergidik, sedikit mundur. Ku
pejamkan mataku erat-erat. Sepuluh
detik, tidak ada yang terjadi.
Kemudian aku mendengar desahan
darinya, dia.. tidak jadi
menamparku.
“Heh! Loe denger, ya! Gue nggak
peduli loe itu siapa dan anak siapa!
Tapi sekali lagi loe menghina kamera
gue, gue nggak akan segan-segan
ngasih loe pelajaran! NGERTI?”
bentaknya tepat di depan wajahku.
Aku sedikit terpental ke belakang.
Aku mengangguk, lalu menunduk.
Rama memunguti bagian-bagian
kameranya yang berserakan. Dan
berlalu, menyisakan aura kemarahan
yang menyuruh dadaku berdetak
lebih kencang dari biasanya.
Tubuhku gemetar. Ini kali pertama
aku melihat Rama semarah itu.
Memang, sudah lama kami
menyandang gelar sebagai rival.
Tapi, ini pertama kalinya dia
menunjukkan wajah segarang itu.
Belakangan, aku baru tahu kenapa
dia bisa semarah itu padaku. Tante
Raya -mama Rama- bilang, kamera
itu adalah kamera peninggalan papa
Rama. Hadiah ulang tahun Rama
yang terakhir sebelum papanya
meninggal.
“Glek!” pernyataan tante Raya itu
seperti meng kick off perasaanku dan
mengoper-operkannya. Perasaan
bersalah langsung bermekaran di
hatiku. Mambuatku semakin larut
dalam dekapan malam sepi ini.
Belum selesai aku memikirkan
masalah ini, masalah lain seenaknya
masuk dan memaksaku
memikirkannya. Pernikahan papa
dengan tante Caterin. Aku benci
wanita itu! Serigala berbulu domba
yang memanfaatkan segala cara
untuk mendapatkan hati papa.
Sudah berkali-kali aku memergoki
wanita itu berkencan dengan pria
lain selain papa. Tapi aku tak bisa
apa-apa. Pengaruh wanita itu terlalu
besar untuk dihancurkan.
“Asti kan, udah bilang, Pa! Pokoknya
Asti gak setuju Papa menikah sama
orang itu!” protesku sore itu waktu
aku tidak sengaja menemukan
undangan pernikahan papa dan
tante Caterin di meja kerja papa.
“Sayang, undangan sudah di sebar,
tempat sudah di pesan, semua
persiapan juga sudah selesai di
lakukan. Tidak mungkin kalau
dibatalkan begitu saja.”
“Ugkh.. terus kenapa Papa dulu gak
minta pendapat aku dulu sih, Pa?
Aku kan udah bilang, aku gak mau
orang itu jadi ibu tiri aku!
“Asti! Memangnya kenapa sih, sama
tante Caterin? Dia baik, dia sayang
sama kamu, dia…”
“Pokoknya NGGAK! Sampai kapanpun,
aku gak akan rela kalau Papa
menikah sama orang itu!” aku
berlari ke kamar.
“Asti!” Teriakan papa tidak aku
hiraukan.
Sudah puluhan kali aku bertengkar
dengan papa gara-gara masalah ini.
Dan di saat-saat seperti ini
bayangan kak Ello yang selalu saja
muncul di kepalaku. Orang yang
telah menawan hatiku sejak satu
tahun yang lalu. Andai saja sekarang
dia ada di sini, pasti rasanya gak
akan sesakit ini.
“Kak Ello lagi apa sekarang?” aku
mengamati senja yang sudah hampir
selesai. Terakhir kali aku mendapat
kabar dari kak Ello, dia ada di
Jepang. “Aku butuh kakak sekarang.
Kenapa kakak gak dateng?” desahku.
Aku menuju jendela. Menikmati
angin yang berhembus lembut. Tiba-
tiba segurat pikiran aneh
menghampiriku. Pernikahan papa
dengan orang itu tinggal tiga hari
lagi, dan aku gak bisa apa-apa.
Kecuali… aku menuruti pikiran aneh
yang baru saja singgah di kepalaku.

Burung-burung camar terbang ke
barat
Venus berpijar bagai permata
berlian
Tapi dimana kau sekarang?
Awan-awan menari membentuk
wajahmu
Angin berhembus membisikkan
suaramu
Daun-daun melambai, menanti
senyummu
Kemana perginya, kupu-kupu
rupawan itu?
Begitu bunyi postingan baru di wall
ku, hari ini. Calek macel, siapa
sebenarnya orang itu?
Satu bulan semenjak Asti
meninggalkan rumah. Semua orang
di buat kalang kabut olehnya. Tak
terkecuali orang yang dia sebut rival,
Rama. Cowok itu baru menyadari,
ternyata selama ini, sosok Asti lah
yang memenuhi hari-harinya,
keceriaan gadis itulah yang
membuatnya kadang-kadang kesal
dan marah, walaupun memang lebih
sering marah. Meskipun selama ini
mereka cuma bertengkar dan
bertengkar lagi, tapi entah
bagaimana pertengkaran itu
menimbulkan rasa yang berbeda di
hati Rama. Perasaan yang semakin
membuatnya risau.
“Ya Ampun, Rama! Dari mana kamu?
Kenapa basah kuyup begitu?” tante
Raya yang tadi sudah cemas
menunggu kepulangan Rama,
bertambah cemas waktu melihat
bagaimana keadaan Rama.
“Aku.. tadi nyari Asti, Ma..” aku
Rama. Dia kelihatan kusut, lesu,
cemas dan panik. Semuanya terasa
bercampur jadi satu, seolah sudah
lama menghiasi wajah elok pemuda
itu.
Tante Raya mengelus punggung anak
lelaki satu-satunya. “Sabar ya,
Sayang. Sekarang kamu mandi dulu
gih! Mama siapan makan malam.”
Rama Cuma mengangguk. Lalu
berjalan gontai menuju kamar. Dia
merasa benar-benar kacau. Sampai-
sampai guyuran air hujan yang tadi
sudah membuat tubuhnya menggigil
masih belum cukup. Rama masuk ke
kamar mandi, menghihupkan shower
dan memaksakan tubuhnya
menikmati tikaman-tikaman air yang
menusuk tulang. Entah sejak kapan,
gadis bernama Lolyta Rayasti itu
berhasil mencuri dan membawa
kabur hati Rama. Membuat pemuda
itu jumpalitan saat Rama
menyadarinya dan Asti tak ada.
Tante Raya cemas melihat keadaan
Rama yang seperti itu “Ram..
Rama..”
Rama keluar dari kamar mandi.
Mukanya terlihat pucat. Tante Raya
menatap pemuda itu sendu.
“Ma.. aku.. aku takut dia kenapa-
napa, Ma.. aku…”
Tante Raya memeluk Rama,
mengelus-elus punggung tegap yang
sekarang terlihat sangat rapuh itu.
Tanpa tahu harus berkata apa.
Karena dia sendiri merasakan
perasaan yang sama. Rasa cemas
dan khawatir terhadap keberadaan
Asti sekarang.
Keadaan papa Asti pun tidak jauh
beda dengan mereka. Papa Asti
menyesal. Kenapa dulu terlalu
memaksakan kehendaknya pada Asti?
Padahal dia tahu bagaimana keras
kepalanya anak itu. Sekalipun Asti
tidak pernah menentangnya sampai
seperti ini, tapi tetap saja, anak itu
keras kepala dan nekat.
“Sayang, maafin papa ya..”
dipeluknya foto Asti erat, dia
sekarang sedang berada di kamar
Asti. “Papa kangen sama kamu. Papa
janji, Papa akan menuruti semua
keinginan kamu. Papa janji, Papa
gak akan menikah dengan tante
Caterin. Papa janji sayang. Tapi
kamu pulang ya, sayang…”
Rintihnya. Tapi rintihan itu tak
kunjung membawa Asti pulang.

“Pemirsa, telah terjadi tawuran
besar-besaran antara SMA K dan
SMA M. Tujuh korban meninggal dan
dua puluh tiga korban luka-luka.
Salah satu korban yang mengalami
luka cukup fatal karena pukulan
benda tumpul di kepalanya adalah
wartawan muda yang baru saja
bekerja di media masa J. Koran
sekarang sedang dilarikan ke rumah
sakit terdekat… bla.. bla.. bla..”
Kelanjutan berita itu menjadi tidak
penting untuk Trya setelah melihat
siapa gerangan wartawan muda yang
menjadi korban amukan massa itu.
Tubuh Trya langsung lemas, rasanya
dia ingin berteriak dan berlari
sekuat tenaga, tapi tak bisa.
Tubuhnya lunglai terlebih dulu
sebelum bisa melakukan apa-apa.
Reaksi seperti itu tidak hanya
ditunjukkan oleh Trya. Om Galih pun
tak kalah syok. Beliau langsung
berlari menuju rumah sakit,
meninggalkan segala macam meeting
yang menunggu kehadiran beliau.
“Tut… tut.. tut…” banyak orang yang
ada di ruangan ini, tapi hanya mesin
di sebelah tempat tidur Asti yang
bersuara. Mereka hanya berdiri dan
diam. Menatap cemas ke sosok yang
mendapat beberapa jahitan di
kepalanya. Tidak ada yang bisa
mereka lakukan, kecuali menunggu
dan berdoa supaya gadis itu baik-
baik saja.
Aku membuka mataku. Ya, kupikir
aku sudah membuka mataku. Tapi,
entah kenapa, aku tak bisa melihat
apa-apa. Seperti ada sesuatu yang
besar menghalangi pandanganku.
Aku mengerjab-erjab, berharap
benda besar itu segera menghilang
dari pandanganku. Tapi, berapa
kalipun aku mengerjab, benda besar
itu tetap tak mau menghilang.
“Asti, sayang…” aku mengenal suara
itu, itu suara papa! Benarkah suara
papa? Bagaimana mungkin papa ada
di sini? “Bagianmana yang sakit,
Sayang?” suara papa terdengar
bergetar di telingaku.
“Pa… pa?”
“Iya sayang, ini papa. Kamu tenang,
ya. Papa ada disini.” Papa
memelukku “Maafin Papa, Sayang.”
“Tes.” Ada sesuatu yang membasahi
pundakku. Papa… menangis!
“Pa…” aku ingin banyak bicara, aku
ingin protes, aku ingin berteriak,
tapi… “gelap.” Cuma kata itu yang
mau keluar dari mulutku.
“Maafin papa Sayang, maafin papa..”
papa mengeratkan pelukannya.

Aku menempelkan tangan dan
wajahku di kaca jendela. Bibi bilang,
sekarang sudah jam sembilan
malam, seharusnya bibi masih disini,
tapi dia pergi begitu menyangka aku
sudah tidur. Hujan. Aku… suka…
tidak… bagiku sekarang, suara hujan
itu lebih terdengar seperti jeritan
menakutkan dari pada
menenangkan. Seandainya ada tante
Raya, rasanya pasti gak akan
semenakutkan ini.
“Tuhan, apa aku boleh berharap,
tante Raya mau jadi mamaku? Tapi
Rama?”
“gluduk.. gluduk.. j’dier..”
“huh…” petir.. petir itu… mereka
mengganggu acara melamunku. Aku
takut. Tubuhku gemetaran, rasanya
lemas, tapi aku tidak boleh lenggah.
“duaarrr…”
“akh…” reflek, aku duduk dan
memeluk lututku. Aku menggigil. Ini
pertama kalinya aku takut terhadap
hujan dan petir. Hujan yang dulu ku
anggap sebagai teman, sekarang
berbalik menjadi hal yang
menakutkan. Sial! Kenapa harus
gelap seperti ini?! Mataku panas.
Dadaku sakit. Tapi aku tak boleh
menangis. Aku harus kuat. “Jangan
menangis! Jangan menangis!
Jangan…” getaran di seluruh
tubuhku tak mau berhenti. Rasanya
benar-benar menyakitkan. Sakit!
“gue bilang jangan nangis!” aku
memukul wajaku. “huh.. huh..” aku
terenggah di antara ketakutan yang
kuciptakan sendiri.
“srek… srek..” sampai suara langkah
kaki itu mengusikku.
“Siapa?” aku menyeka air mataku
yang baru mengendap keluar, sekuat
tenaga mencoba untuk berdiri dan
menahan tubuhku yang tak mau
berhanti gemetar.
“Jangan sok kuat di depan gue!”
Suara itu… “Rama!” aku kaget.
perasaanku yang tadi sudah
berantakan bertambah amburadul
setelah tahu siapa yang datang.
“Se… Sejak kapan loe ada disini?”
Dia tidak langsung menjawab. Aku
mendengar suara langkah kakinya
semakin mendekat, lalu berhenti.
“Sejak kapan gue ada disini, itu gak
penting…”
“Deg.” Aku reflek mundur sampai
tubuhku mengenai kaca. Suara Rama
menggema lembut tepat di
telingaku. “Ma… mau apa loe? Eh…”
aku semakin tidak mengerti. Rama…
dia tiba-tiba memelukku.
“Kalau loe takut, loe boleh nangis
kok..” ucapnya lembut.
“Apa?” entah kenapa, ucapan
lembutnya itu terdengar
menyakitkan di telingaku.
“Bruk!” aku mendorong tubuh Rama.
“Heh… loe tenang aja! Gue gak
butuh di kasihani!”
Rama diam, dan memperhatikan
gadis keras kepala yang sedang
memaksakan senyumnya itu.
“Kalau gak ada urusan apa-apa,
cepat keluar!” usirku. Perasaanku
tambah tak enak. Aku bingung, aku
takut. Aku bisa menerima
keberadaan tante Raya -mama
Rama-, tapi kenapa aku sulit
berbaikan dengan cowok ini? Aku
sebal. Aku gak mau terlihat lemah di
hadapan musuhku.
“Gue tahu, gue gak pernah bersikap
baik sama loe. Gue tahu, loe benci
sama gue. Tapi buat kali ini aja, gue
mohon, jangan berpikir gue berbuat
baik cuma karena gue kasian sama
loe.” Suaranya masih terdengar
rendah.
“Terus karena apa kalau bukan
kerana kasihan? Kalau bukan karena
gue buta? Kalau bukan…” sebelum
aku menyelesaikan kalimat itu,
tubuhku sudah ada dipelukan Rama
lagi.
“Sudahlah…” satu tangan Rama
melingkar di punggungku, satu lagi
mengelus kepalaku. “Sudahlah…”
“Hiks..hiks…” aku akhirnya terisak.
Tapi tubuhku berhenti gemetaran
“Gue benci sama loe!” aku memukul
dada Rama. “Gue benci…” Rama
mengeratkan pelukannya, lalu diam-
diam mencium kepala gadis itu.

Dandelion menjerit
Sekuat apapun dia berusaha, angin
tetap lebih kuat dari dia
Batu karang mendesah
Sebanyak apapun desahannya,
Ombak tetap menerjangnya
Andai aku bisa menciptakan sebuah
mesin
Akan kuciptakan sebuah mesin
kebahagiaan untukmu
Agar kau tak perlu menjerit
Agar kau tak perlu mendesah
Agar kau tak perlu takut dan
mengangis seperti mereka
Begitu bunyi postingan berikutnya di
wall facebook Asti. Tsubasa blue.
Sore itu terlihat seperti sore-sore
sebelumnya. Matahari tenggelam di
ufuk barat dan benda-benda akan
terlihat orange berkilauan dan
cantik. Yang berbeda adalah
perasaan Raya. Beberapa jam lalu,
Galih mengakui kebenaran kata-kata
yang hilang antara dia dan Raya 20
tahun yang lalu. “Aku masih sayang
kamu, Ray.” Begitu katanya. Dan
sekarang, pernyataan itu membuat
Raya binggung. Ada dua kubu yang
bersiteru dalam hatinya. Satu kubu
bilang bahwa dia juga masih
menyayangi laki-laki itu, sementara
kubu yang lain bilang dia tidak
boleh egois. Sebagai ibu, dia
mencemaskan perasaan Rama.
Bagaimana reaksi Rama kalau dia
tahu ibunya menyukai ayah dari
gadis yang dia sukai?. Waktu itu,
Raya Cuma bisa mengelak dan bilang
“maaf”. Seharusnya sih, Galih bisa
sedikit lebih kreatif dengan
menyusul atau minimal mencegah
kepergian Raya, tapi itu tidak
dilakukannya. Itu sebabnya, Raya
sekarang bisa berada di taman ini
sendirian. Mungkin tidak sendirian,
karena ada Rama yang dari tadi
mengamati mamanya.
Rama benci ekspresi mamanya yang
seperti itu. Mama terlihat sangat
capek dan bingung. Rama tahu,
bagaimana sejarah kehidupan mama
dam om Galih. Kemarin, Rama gak
sengaja menemukan buku cokelat
yang berisi cerita masa lalu mama.
The loss word. Cerita tentang mama
dan om Galih yang kehilangan kata-
kata berharga yang mengubah total
jalan hidup mereka. Buku itu juga
yang membuat Rama ber kesimpulan
bahwa mama dan om Galih masih
saling menyayangi. Buku yang di
tulis mama dua puluh tahun yang
lalu. Buku yang sampai sekarang
belum terselesaikan. Dan secara
tidak langsung, Rama juga ikut
berperan besar dalam keberlanjutan
kisah itu. Rama sebal dengan
dirinya sendiri. Kenapa dia harus
menyukai gadis itu? Kenapa mama
harus punya hubungan sama om
Galih? Kenapa Asti menginginkan
mama untuk menjadi mama
barunya? Ah, kepala Rama sakit
memikirkan hal itu. Tapi, dia tak
tahu harus berbuat apa. Yang dia
tahu, dia gak mau melihat keadaan
Asti seperti tadi malam lagi.
Makanya, dia memutuskan untuk
bicara pada mamanya, disini.
“Sudah ku duga Mama di sini.” Rama
menghampiri mama dan duduk
disebelahnya.
“Rama? Tahu dari mana Mama ada
disini?”
“Feeling.”
“Feeling?”
“Ya. Aku kan sudah 18 tahun jadi
anak Mama, jadi feelingku gak
mungkin salah.” Rama merebahkan
tubuh dan menggunakan pangkuan
mamanya sebagai alas kepala.
Raya tertawa mendengar pernyataan
Rama. “Eh, tumben kamu manja
sama mama?!” Raya menunduk,
menatap wajah putra tercintanya.
“Ma..”
“Hem…?”
“Mama…, suka sama om Galih?”
Raya kaget, dia mengalihkan
pandangan dari anak itu. “Kenapa
kamu tiba-tiba…”
“Rama mau Mama menikah sama om
Galih.”
Raya kaget mendengar penuturan
putranya. “Kamu ini ngomong apa,
sih? Mana mungkin mama menikah
sama om Galih?
Rama memiringkan posisinya. “Siapa
bilang gak mungkin?” Rama
memejamkan matanya. “Dia… kalau
gak ada yang jagain dia, dia pasti
berbuat seenaknya lagi. Lagian,
sepertinya dia juga suka sekali sama
Mama, dan Rama gak bisa
memaksanya menerima perasaan
Rama. Jadi mungkin, Rama bakalan
lebih seneng kalau Rama bisa terus
berada di dekat dia dan menjaga dia
sebagai saudara. Mama setuju kan?”
“Tapi…”
Rama berdiri. “Kalau Mama gak
berani bilang sama om Galih, biar
aku yang bilang..” kemudian
melangkah pergi.
Raya terbelalak, wajah dan matanya
panas. Dia menangis. “Makasih,
Sayang…”
Rama masih sempat mendengar
ucapan dan isakan mamanya. Tapi
dia tersenyum. Entah kenapa,
rasanya sangat lega.

Aku mengusap bingkai foto di
tanganku, itu foto mama. Rasanya
sudah lama sekali aku tidak berada
di paviliun ini dan bercerita pada
mama.
“Ma, sekarang Asti sudah benar-
benar tidak bisa bertemu dan
melihat Mama. Asti…” aku menghela
napas, menahan rasa sesak yang
menghujami dadaku, “Tapi Mama
tenang aja, Asti pasti kuat. Asti gak
akan cengeng! Oh ya, Ma, misalnya
tante Raya itu jadi mama Asti, Mama
setuju gak? Aku, entah kenapa selalu
merasa nyaman tiap berada di dekat
tante Raya. Rasanya seperti bersama
Mama lagi. Tante Raya itu baiiikkk
banget Ma, sama Asti. Asti bener-
bener berharap kalau suatu saat
tante Raya bisa jadi mama Asti.
Tapi… Rama… Mama tahu sendirikan
bagaimana hubungan Asti dengan
cowok itu? setiap kali Asti bersama
dia, Asti selalu saja bikin ribut dan
buat dia marah. Makanya gak heran
kalau dia jadi benci sama Asti.”
“Siapa yang bilang gue benci sama
Loe?”
“Rama?!” aku benar-benar gak habis
pikir, kenapa orang ini bisa tiba-tiba
datang dan pergi sesuka hatinya dan
selalu saja muncul ketika aku sedang
tidak ingin ada yang melihat dan
mendengarkanku. “Kenapa sih, Loe
tuh selalu…”
Rama memotong kalimatku. “Gue
mau minta izin buat jadiin om Galih
sebagai papa gue.”
Aku kaget. “Apa?”
“Iya, Sayang… Kamu gak keberatan,
kan?”
“Papa?” aku menoleh ke arah sumber
suara.
“Tante boleh kan, jadi mama kamu,
As?”
“Tante Raya?” aku tidak tahu apa
yang terjadi. Kejadian ini
membuatku sedikit syok. Beberapa
detik aku hanya diam dan mencoba
menerima keajaiban yang sedang
aku alami ini.
“Gimana, Sayang?” pertanyaan itu
langsung mengembalikan pikiranku.
“Boleh, boleh banget, Tante.”
Anggukku senang. Aku merasa
seperti anak kecil yang baru saja
mendapat permen lolipopnya.
Rasanya benar-benar senang sekali.
“Makasih, Sayang.” Tante raya
memelukku. Aku membalas
pelukannya.
Entah sejak kapan mama dan papa
bersekongkol meninggalkan aku.
Tahu-tahu tinggal aku dan Rama
yang berada di ruangan ini.
“Mulai sekarang, loe harus manggil
gue kakak!” aku mendengarnya
mendekat. Sekarang sepertinya, dia
berada di depanku.
“Enak aja, loe yang harus manggil
gue kakak!”
“Eh, anak kecil mau di panggil
kakak…”
“Kita seumuran tahu!”
“Pokoknya loe yang harus manggil
gue kakak!”
“Gak bisa!”
“Pokoknya bisa!”
“Gak bisa!”
“Bisa!”
“Eh…” aku tersentak, suara Rama
terdenar sangat dekat, sekarang aku
yakin, dia berada tepat di
hadapanku. ‘bug’ detik berikutnya,
tanganku sudah melingkar di tubuh
cowok itu. Aku memeluknya.
“Ah?” mata Rama membelalak kaget.
“Terimakasih…. Kakak.” Ucapku
sambil mengembangkan senyum.
Rasanya tidak ada hal yang lebih
membahagiakan selain keajaiban
yang terjadi padaku sekarang. Tuhan
boleh mengambil penglihatanku,
tapi Dia memberiku hal yang tak
kalah indahnya.
Mata Rama kembali membesar. Tapi
kemudian ia tersenyum dan
membalas pelukan Asti,
menumpahkan seluruh perasaannya
di sana. Perasaan yang mulai
sekarang harus benar-benar dia
abaikan. Perasaan yang sampai
kapanpun tidak akan pernah
mempunyai jawaban. Perasaan yang
harus dia kubur dalam-dalam, harus
dia buang jauh-jauh, supaya hanya
dia dan heaven yang tahu perasaan
itu.
The lost word. Kisah tentang Raya
dan Galih dua puluh tahun lalu,
sekarang kata yang hilang itu sudah
berhasil mereka temukan. Tapi bagi
Rama, kata yang hilang itu tetap
menjadi kata yang hilang, kata yang
tidak akan pernah ditemukan Rama
dalam kamus kehidupannya untuk
Asti, mulia sekarang dan untuk
selamanya.
Aku menggenggam serpihan waktu di
kedua tanganku
Dalam diam aku mencengkeram
kenangan yang terlupakan
The loss word
Ketika aku mengingat satu persatu
peristiwa yang terjadi
Ku pikir aku mengerti segalanya
Kata-kata yang menghilang secepat
mereka mendekatiku
Arti kata-kata yang di ucapkan
Cinta yang tak diragukan
Perasaan yang tak terbalaskan
Andai saja kita bisa mengungkapkan
segala hal
Hanya dengan saling memandang
The loss word
Aku akan menjaga rasa ini dalam
hatiku
Aku kehilanganmu

The loss word
No regret live

Itu adalah potingan terakhir dari
Calek macel di wall facebook Asti.

Cmst.bts.monta.

Batas kesedihan tanpa montong tangi

       Montong Tangi 23 januari.        ________

Aku menunggu setengah jam
sampai toko bunga itu buka.
Tapi satu jam kemudian aku
belum berhasil memilih. Tak
ada yang mantap. Penjaga toko
itu sampai bosan menyapa dan
memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk
mencari ke tempat lain, suara
seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan
seorang gadis cantik ,usianya di
bawah 25 tahun. Atau mungkin
kurang dari itu.
”Bunga untuk ulang tahun.”
”Yang harganya sekitar berapa Pak?”
”Harga tak jadi soal.”
”Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku
mengikuti.
”Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain
bunga tulip dan mawar berwarna
pastel. Bunga yang sudah beberapa
kali aku lewati dan sama sekali tak
menarik perhatianku.
”Itu saya sendiri yang
merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak
aku lihat sebelah mata itu berubah.
Tolol kalau aku tidak menyambarnya.
Langsung aku mengangguk.
”Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
”Mau diantar atau dibawa sendiri?”
”Bawa sendiri saja. Tapi berapa
duit?”
Ia kelihatan bimbang.
”Berapa duit.”
”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi
kalau Bapak mau nanti saya bikinkan
lagi.”
”Tidak, aku mau ini.”
”Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
”Tidak. Ini!”
”Tapi itu tak dijual.”
”Kenapa?”
”Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
”Sudah, katakan saja berapa duit?
Satu juta?” kataku bercanda.
”Dua.”
”Dua apa?”
”Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada
bunga berharga dua juta. Dan
bunga itu jadi semakin indah. Aku
mulai penasaran.
”Jadi, benar-benar tidak dijual?”
”Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia
tersenyum seperti menang. Lalu
menunjuk lagi bunga yang lain.
”Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku
keluarkan dompetku, lalu memeriksa
isinya. Kukeluarkan semua. Hanya
900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi
aku taruh di atas meja berikut uang
receh logam.
Dia tercengang.
”Bapak mau beli?”
”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu.
Itu juga berarti aku harus jalan kaki
pulang. Aku tidak mengerti bunga.
Tapi aku menghargai perasaanmu
yang merangkainya. Aku merasakan
kelembutannya, tapi juga ketegasan
dan kegairahan dalam karyamu itu.
Aku mau beli bunga kamu yang tak
dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak
perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
”Bapak perlu berapa duit untuk
ongkos pulang?”
”Duapuluh ribu cukup.”
”Rumah Bapak di mana?”
”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?”
”Memang, tapi dilewati angkot.”
”Bapak mau naik angkot bawa bunga
yang aku rangkai?”
”Habis, naik apa lagi?”
”Tapi angkot?”
”Apa salahnya. Bunga yang sebagus
itu tidak akan berubah meskipun
naik gerobak.”
”Bukan begitu.”
”O, kamu tersinggung bunga kamu
dibawa angkot? Kalau begitu aku
jalan kaki saja.”
”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak
ambil saja uang Bapak 150 untuk
ongkos taksi.”
Aku tercengang.
”Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk
naik Blue Bird, tapi juga cukup
untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan
selamat di bunga?”
”Tidak.”
Dia berpikir.
”Jadi, bukan untuk diberikan kepada
seseorang? Bunga ini saya rangkai
untuk diberikan pada seseorang.”
”Memang. Untuk diberikan pada
seseorang.”
”Yang dicintai mestinya.”
”Ya. Jelas!”
”Sebaiknya, Bapak tambahkan
ucapannya. Bunga ini saya rangkai
untuk diantar dengan ucapan.
Diambil dari puisi siapa begitu yang
terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
”Setuju. Tapi tolong dicarikan
puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya
mengambil kartu.
”Sebaiknya Bapak saja yang
menulis.”
”Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa
lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku
kumpulan sajak. Aku menolak.
”Kamu saja yang memilih.”
”Tapi, saya tidak tahu yang mana
untuk siapa dulu.”
”Pokoknya yang bagus. Yang
positip.”
”Cinta, persahabatan, atau sayang?”
”Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya
ia sudah hapal di luar kepala isi
buku itu. Ketika ia menunjukkan
tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan
sajak Gibran, tapi kalimat yang
ditarik dari sajak Di Beranda Itu
Angin Tak Berembus Lagi karya
Goenawan Mohamad:
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa
kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela
mengaku mendapat inspirasi untuk
bertahan selama 26 tahun di penjara
Robben karena puisi.
”Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan
haru. Air mataku menetes dengan
sangat memalukan. Cepat-cepat
kuhapus.
”Saya juga sering menangis
membacanya, Pak.”
”Ya?”
”Ya. Tapi sebaiknya Bapak
tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan
kartu itu kepadanya.
”Kamu saja yang tanda tangan.”
”Kenapa saya?”
”Kan kamu yang tadi menulis.”
”Tapi itu untuk Bapak.”
”Ya memang.”
Ia bingung.
”Kamu tidak mau menandatangani
apa yang sudah kamu tulis?”
”Tapi, saya menulis itu untuk
Bapak.”
”Makanya!”
Ia kembali bingung.
”Kamu tak mau mengucapkan
selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
”Aku memang tak pantas diberi
ucapan selamat.”
”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
”Ya.”
”Bapak membelinya untuk Bapak
sendiri?”
”Ya. Apa salahnya?”
”Bapak yang ulang tahun?”
”Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
”Kenapa?”
”Mestinya mereka yang yang
mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka siapa?”
”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman
Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau
pacar Bapak…”
”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah
mengganggu kesibukan.”
”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli
bunga untuk diriku sendiri dan
ucapkan selamat untuk diriku sendiri
karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih
dekat ke jangkauannya. Lalu aku
ambil bunga itu.
”Terima kasih. Baru sekali ini aku
ketemu bunga yang harganya 900
ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia
bahwa aku tak marah. Percakapan
kami tadi terlalu indah. Bunga itu
hanya bonusnya. Aku sudah
mendapat hadiah ulang tahun yang
lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko,
dia menyusul.
”Ini uang Bapak,” katanya
memasukkan uang ke kantung
bajuku sambil meraih bunga dari
tanganku, ”Bapak simpan saja.”
”Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia
mengelak.
”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah
dariku untuk Bapak. Dan aku mau
ngantar Bapak pulang. Tunjukkan
saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari
merah yang seperti nyengir di depan
toko.
”Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku
berubah.

Cmst.bts.montong tangi

25 Januari 2014

Loang Batu Sambak

Desa yang aneh. Saat warna
merah di ujung langit, desa itu
senyap. Begitu hening dan
pulas. Meski lampu-lampu
mulai dinyalakan, nyaris tak
ada desah keluar. Suara bisu
desir angin yang berbisik di
celah hutan bambu,
mencekam. Batu-batu jalanan
desa seperti tahu bahwa tidak
seharusnya suara menjadi
penguasa saat senja mulai
datang, dan kesedihan tanpa
terasa saling menyapa di
antara awan yang berwarna
jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti
bedug bertalu-talu memecahkan
dada. Tapi, layaknya aturan dari
Tuhan, di desa itu kesedihan tidak
boleh dibicarakan. Seperti tiran,
ketika kesedihan dibicarakan, tanpa
ampun lagi, kerongkongan penduduk
berlubang dengan sendirinya, dan
suara selamanya tidak akan pernah
keluar dari mulutnya.
Orang-orang dengan rongga di
kerongkongan segera menutupi
lehernya dengan berbagai cara. Ada
yang memakai kalung dengan batu
mulia sebesar lubang itu, ada yang
memesan pakaian khusus agar leher
mereka tertutup rapat. Pada intinya
lubang itu harus ditutupi, karena
kalau tidak, rongga di leher itu
begitu mudahnya infeksi dan
kesakitan akan menghebat.
Kesedihan yang melahirkan
kesakitan. Orang-orang di desa itu
tak ingin mengalami kesakitan,
sehingga setiap kesedihan datang
mereka akan berupaya sekuat tenaga
menyembunyikannya dengan rapat,
bahkan nafas mereka pun tidak tahu
di mana kesedihan itu berada.
Sepanjang pagi dan siang yang
tampak hanya wajah-wajah bahagia,
tawa yang menggelegar, basa-basi
yang begitu meruah. Orang-orang
yang berongga di lehernya pun akan
selalu menampakkan muka terbaik
mereka. Membentuk senyuman.
Mereka seperti mencoba menebus
keteledorannya karena sudah
membuka kesedihan kepada angin
dan suara. Dunia adalah bahagia,
begitulah jargon yang berlaku.
Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah
rasa yang, kalau perlu harus
dimusnahkan.
Sejak lahir pun bayi-bayi tahu
bahwa jargon itu seperti dogma
yang terus didengungkan kepada
roh-roh suci itu. Para ibu membuai
anak-anaknya dengan senandung
anti kesedihan. Ketika anak-anak
besar dan bertanya tentang kata
sedih, buru-buru dibungkamnya
mulut mereka rapat-rapat sambil
berkata bahwa penguasa kegelapan
akan segera datang begitu kata itu
keluar dari mulut anak-anak yang
begitu indah bola matanya.
“Nak, bunuh kesedihanmu, kita
cincang air mata demi dunia yang
gembira, jauhi dunia gelapmu,
hanya tawa yang berhak tinggal di
hati kita,” demikian kira-kira
senandung itu. Sambil menikmati
kehangatan dada ibunya, bayi-bayi
menyimpan gambar tentang dunia
yang hanya boleh bahagia.
Ketika pemilihan kepala desa, para
kandidat berlomba-lomba
menawarkan program paling efektif
bagaimana melawan kesedihan.
Seperti supermarket dengan diskon
besar-besaran menjelang hari raya,
program yang paling menarik akan
diserbu habis-habisan. Bahkan para
mahasiswa yang melakukan kuliah
kerja di desa itu diwajibkan hanya
mengajar program kebahagiaan dan
sebuah kontrak bermeterai harus
mereka tanda tangani dengan sangsi
sangat berat bagi yang
melanggarnya. Tiran emosi! Begitu
umpatan para mahasiswa .
Benar-benar desa yang suka cita.
Semua mematuhi peraturan desa itu
tanpa kecuali. Termasuk Kemplu,
jagoan desa itu. Dia bahkan begitu
gencar menggaungkan kampanye
bahwa kesedihan adalah kejahatan
besar. Air mata harus ditekan habis-
habisan. Bahkan ketika badai besar
menerbangkan keluarganya entah
kemana, Kemplu tertawa gembira,
diadakannya pesta besar dan
dijamunya hampir seluruh penduduk
desa. Tak lama kemudian dia kawin
lagi dan beranak pinak. Benar-benar
hidup harus berjalan katanya.
Ditertawakannya orang-orang yang
berongga di lehernya. Orang-orang
yang lemah. Begitulah cemoohnya.
“Hanya orang-orang yang lemah yang
menangis, emosi yang diumbar itu
hanya milik orang-orang tak
bermartabat. Air mata adalah
kebodohan.”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa
berbohong. Ketika warna di batas
antara dunia dan mimpi itu seperti
air mata yang hampir jatuh,
kesedihan seperti menyeruak begitu
saja dari dada para penghuni desa
itu. Kepanikan selalu melanda setiap
menjelang senja. Segera diikatnya
dada mereka dengan tali yang
begitu erat, mulut mereka ditutup
dengan plester yang sangat kuat.
Mereka mati-matian berusaha agar
kesedihan itu tidak meledak, agar
leher mereka tidak berongga dan
kesakitan tidak menjadi teman
sepanjang nafas yang tersisa.
Mereka diam di rumah dengan peluh
berbulir-bulir menahan agar ledakan
dada yang sarat kesedihan tidak
jebol dari mulut dan mata mereka.
Setiap orang mencari cara agar
kesedihan tetap pada tempatnya; di
ujung paling sepi hatinya. Kalau
perlu Tuhan pun tidak boleh
menemukannya.
Di antara mereka ada yang dengan
tegas menukar dengan suka rela
kesedihan yang sudah tidak bisa
dikuasainya dengan senyum lembut
malaikat maut. Kesakitan karena
kerongkongan berongga lebih
mematikan dibanding penggalan
pedang yang paling tajam. Di setiap
semburat jingga mulai bertiup di
ujung cakrawala, hampir tidak ada
satupun pintu dan jendela yang
terbuka. Semua rapat menyimpan
kesedihan yang meledak-ledak di
rumah-rumah mereka.
Anehnya Kemplu selalu menghilang
di setiap senja. Istrinya hanya tahu
dia pergi ke hutan di ujung desa.
Hutan yang dinamai hutan Gembira
oleh penduduknya meski entah
kenapa nama itu seperti berolok-olok
dengan udara yang dihembuskannya
setiap pagi, yang pekat dengan
kesedihan.
Jika angin berhembus di atas pohon-
pohon hutan itu, gesekan daun-
daunnya menyenandungkan requiem
yang paling pedih. Badan pohon-
pohon itu bergaung bersahut-
sahutan dengan irama yang lantang,
menyenandungkan kesedihan yang
pekat.
Ketika orang menyentuh papan nama
“Hutan Gembira”, mereka seperti
menembus jantung dan mengambil
dengan paksa kesedihan di dalamnya
untuk dimuntahkan. Persis “ilmu
Rogoh Jantung” para penjahat keji
di film laga .
Meski demikian teka-teki tentang
hutan itu belum pernah ada yang
bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu
yang setiap pagi keluar dari hutan
dengan penuh tawa dan keceriaan
luar biasa, selalu menjawab, bahwa
kesedihan hutan itu sudah ada
bersama tanahnya saat Semesta
menanam pohon pertama kalinya di
sana. Semesta menangis karena
Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu
dispensasi satu-satunya kenapa
kesedihan diperbolehkan di muka
bumi ini.
“Adam manusia pertama, dia punya
hak khusus dan hanya satu-satunya
yang boleh merasakan rasa sedih
itu. Rasa itu begitu memekat di hati,
anak cucunya harus membasminya.”
Sihir. Kata-kata ajaib. Semua
mengamini tanpa ragu setitik pun.
Hingga satu hari, kepala desa
memutuskan bahwa satu-satunya
jalan agar tingkat kebahagiaan di
desa itu meningkat pesat adalah
membuat taman keriaan yang
termegah di negeri ini dengan cara
membabat Hutan Gembira. Semua
setuju, juga orang-orang dengan
rongga di kerongkongannya. Mereka
berharap dengan taman keriaan itu
rasa sakit yang bernanah di
kerongkongannya hilang. Hanya
Kemplu yang protes.
“Kita perlu oksigen segar dan itu
merusak lingkungan,” lantang
teriaknya, menirukan para aktivis
linkungan di televisi. Kepala desa
yang mengaku keponakan jenderal
yang berkuasa itu tetap keras
kepala. Saat Kemplu mengorganisir
anti taman keriaan, saat itu pula
buldoser-buldoser didatangkan
untuk menyapu rata hutan Gembira.
Dalam dua-tiga jam, hampir seluruh
pohon tumbang. Hanya satu pohon
yang tersisa.
Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba
semencekam saat senja, padahal
terik matahari seperti meretakkan
kepala mereka, seperti saat sakaratul
maut tersenyum dan siap mencabut
semua jejak nafas.
Buldoser mendekat ke satu-satunya
pohon yang tersisa. Ketika mulut
buldoser hanya tinggal satu senti
dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara
Kemplu keluar dengan lolongan
kesedihan yang begitu pekat.
“Jangan…!” suara yang keluar
bercampur isak yang sudah bertahun
membatu.
Seperti geledek di musim kemarau
yang parah, semua warga jantungnya
berhenti berdetak. Kemplu, lelaki
paling jagoan di desa itu
melantangkan kesedihan begitu
hebat. Isak tangis yang meruah tak
bisa dihentikan oleh buaian
perempuan berpayudara surga
sekalipun.
“Di rongga pohon itulah keluargaku
tinggal. Mereka tidak hilang
bersama badai. Aku bercakap kepada
mereka di setiap senja. Aku berikan
percakapan bernama air mata di
sana. Rongga itu adalah mulutku
sekaligus telingaku. Aku mencium
bau keringat mereka dan kubelai
dengan seluruh cinta yang aku
miliki . Badai itu telah menipu
kalian. Keluargaku selalu sembunyi
di rongga itu, kucumbu mereka
dengan percakapan paling sepiku.
Maafkan, kesedihan ini tidak
tertahankan. Aku butuh bicara
tentang kesedihanku, aku butuh
berbagi. Aku tidak tahan. Tolong ,
jangan ambil pohonku, hanya itu
satu-satunya yang mau
mendengarkanku…. Aku akan mati
tanpa rongga itu….”
Suaranya makin menghilang. Sebuah
rongga di kerongkongannya tiba-tiba
menyeruak. Semua orang menjerit,
karena rongga itu tidak berhenti
sebatas kerongkongan. Rongga itu
terus membesar hingga akhirnya
tubuh Kemplu meledak dan serpihan
tubuhnya berhamburan. Hanya
jantungnya yang tetap berdetak.
Istri barunya pingsan, anak-anaknya
meleleh. Hening pekat.
Rahasia kesedihan hutan Gembira
pun tersingkap. Sambil meyakinkan
dirinya bahwa adegan itu mungkin
hanya ilusi, kepala desa memungut
jantung berdetak itu. Berhati-hati
dimasukannya ke dalam rongga
pohon terakhir itu. Begitu
dimasukkan, pohon itu hidup seperti
di ruang keluarga bahagia di iklan
TV. Suara gelak tawa yang
menggelegar, dentingan piano,
keriaan yang penuh. Semua warga
yang mendengarnya, tahu bahwa
Kemplu benar-benar bahagia di
dalamnya.
Sejak itu, ada yang berubah. Setiap
senja, desa itu begitu riuh dengan
tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi
hangat. Pintu dan jendela di buka
lebar-lebar. Meski angin akan
merapuhkan tubuh mereka, tapi
penduduk desa itu tahu bahwa hati
mereka akan menahannya. Mereka
tahu, setiap senja jatuh, hati mereka
akan mengeras dan menguat.
Mereka menerima dengan suka cita.
Kesedihan yang sangat bersahabat….
Ketika mereka mengenalnya,
kesedihan justru menjadi begitu
pemurah dan melimpahinya dengan
detak bernama bahagia. Hutan itu
tetap berfungsi sebagai ruang
publik. Sekarang justru bernama
Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan
boleh menangis sepuas-puasnya.
Bahkan pengunjung taman yang
sedang gembira dan ingin
merasakan bagaimana indahnya
kesedihan di taman itu bisa
membeli obat perangsang kesedihan
yang ditawarkan petugas penyobek
tiket tanda masuk. Setiap
pengunjung sebelum pulang akan
menyempatkan berfoto di pohon
Kemplu, demikian mereka menyebut
satu-satunya pohon yang tidak di
tebang itu. Pohon yang merindang.
Berterimakasihlah kepada kesedihan
dan airmata karena bersamanya kita
belajar kekuatan yang sempurna.
Sebuah lingkaran tidak harus bulat
penuh seperti halnya garis tidak
selalu lurus.
Sebuah senja yang indah, sebuah
senja yang pekat….
     

  batu sambak,4 februari 85
     Cmst.bts.monta

24 Januari 2014

Tujuh Pintu Jahanam

          Betina malam di balik warna kepalsuan menikam belati sihir pada tujuh jiwa tersesat.

           Rintih penjilat nafsu merobek pintu jahanam neraka malam saat bayang tipu lesap hilang warna.

           Cadas belukar kota merenggut tujuh jiwa dalam jeruji fana yang membuat nyeri kerajaan kecilku.

    Biar ku ludahi wajah iblis keparat di balik senyum binal perayu nafsu sebelum kerajaan kecilku sekarat.

              Paduka ruh kearifan lalu pada arasy kerajaan kecilku.

              Lelapkan hatiku mengawal malaikat yang melekat mengusir laknat yang menyelimutiku.

         Mahkotai otak ku     
                meniduri singgasa                 kerajaan kecilku.

   Hingga terurai tujuh lidah kemunafikan di luh mahfuzku .

          Begitulah duniaku membungkam pintu jahanam pada biji mata nafsu sebelum
               ku ludahi
       betina belukar kota  
         
             
           





















           Biar ku ludahi belukar kota  jahanam di biji mata iblis keparat sebelum jiwaku sekarat

Cmst.bts.monta.

23 Januari 2014

Dagu

                  Dagu pada         
wajah masa lalu, merajut malapetaka dalam dendam rinduku yang terpasung.

         Sabda di ujung malam,  merobek nyawa lusuhku yang tersipu.

        Wangi nafas kalimat, melukis kutuk jagad pada dinding pilu yang merayu.

      Biar menyatu semua itu,dalam satu nikmat subuhku ,mengais sisa  waktu lewat senyum pilu yang membisu.
 
      
         Tuhan maafkan aku karna merindu dagu, sejenak ku pinjam iklasMu ,untuk mengutuk pilu ,membatu di pintu waktu,

         cmst.bts.monta.lalu