28 Juli 2014

Sisa badai semalam di sepasang mata senja

Penulis. Cmst

Setiap kali aku menatap matanya,
aku merasa melihat tanah-tanah
kuburan tua, seperti melihat ladang-
ladang yang terbakar dalam senja,
mengingatkanku pada pantai
murung dengan onggokan kapal
rusak dan lelah. Ada badai yang
selesai bertiup di matanya, dan
kemudian diam selamanya. Puing-
puing dan segala yang berserpih
adalah matanya yang sekarang, mata
seusai badai menerpa. Dan ternyata
tidak sederhana bagiku, setiap kali
aku sendiri di malam hari, aku
merasa sepasang matanya
menyergap dan menikamku dari balik
gelap sana. Aku seperti dihisap dan
digulung ke dalam badai yang telah
selesai bertiup di matanya.

Aku tidak ingin tahu namanya. Aku
tidak ingin tahu cerita tentangnya.
Aku sungguh tidak ingin menambah
teror yang sudah merayap di
tengkukku hanya lantaran sepasang
matanya. Orang-orang di kampung
ini pun sepertinya tidak
memasukkan orang pemilik sepasang
mata yang misterius itu dalam
kehidupan mereka sehari-hari.

Tidak
ada yang bercerita tentangnya. Ia
tidak ada pada setiap hajatan dan
upacara kematian. Ia tidak ada di
warung kopi dan pos ronda. Ia
mungkin juga tidak tercatat sebagai
warga kampung ini, tidak direcoki
oleh kewajiban membayar berbagai
pajak-sekalipun ia tinggal di sebuah
rumah dan punya dua ekor sapi-dan
aku sangat yakin dia tidak pernah
ikut pemilu.

Tapi bagaimana mungkin aku tidak
memikirkannya? Bukan karena aku
sudah merasa terteror dengan
sepasang matanya. Tapi aku
sekarang tinggal tepat di depan
rumahnya! Aku datang kurang lebih
empat bulan yang lalu di kampung
ini untuk keperluan penelitian. Dan,
oleh seorang kenalan kemudian aku
mendapatkan sebuah rumah kecil
yang bisa kutempati dengan biaya
yang sangat murah. Rumah kecil
tepat di depan rumah sepasang
mata yang penuh dengan teror itu.

Pada malam ketiga setelah
kedatanganku, aku bertemu
dengannya. Tiga hari dan dua malam
setelah kedatanganku kuhabiskan
dengan menata dan membersihkan
rumah yang kutinggali. Malamnya
tentu saja aku sangat lalah dan
kupakai untuk istirahat. Baru pada
malam ketiga, aku keluar untuk
bersilaturahmi dengan tetangga kiri-
kanan. Tapi aku urung mengetuk
pintu rumah di depan rumah yang
kutinggal karena gelap tidak
berlampu. Aku berpikir untuk
mengunjunginya besok pagi saja.
Dan kemudian aku menuju ke rumah
kenalanku satu-satunya, lalu kami
berdua pergi ke sebuah warung kopi
yang cukup ramai. Di sana kenalanku
bertambah banyak, apalagi setelah
saling bersulang arak. Saat aku
pulang, dengan kepala yang begitu
berat, aku melihatnya. Saat itu,
ketika aku hendak membuka pintu
rumahku, aku merasa ada yang
mengawasiku. Lalu aku menoleh ke
belakang, namun tidak kudapati
siapa pun. Gelap ada di mana-mana.
Hanya beberapa kelip lampu yang
menerobos dari dinding kayu
tetangga kiri-kananku, dan lampu
redup yang menyala di pagar rumah
yang kutinggali. Dan, ketika aku
hendak melangkah masuk, aku tetap
merasa ada yang mengawasiku. Lalu
kuputuskan untuk keluar lagi, dan
kuedarkan pandangku sekalipun
segalanya tampak lamur karena
bersloki-sloki arak. Dan kudapati
sepasang mata itu. Aku
mendapatinya dari pendar lampu di
dekat pagar rumahku.

Awalnya aku tidak yakin bahwa itu
sepasang mata. Tapi memang
kutangkap bayang-bayang tubuh
yang sedang berdiri di pintu
rumahnya yang gelap. Dan kemudian
baru kuyakini bahwa itu sepasang
mata. Aku mencoba tersenyum dan
ingin menghampirinya. Tapi entah
kenapa, langkah kakiku seperti
tertahan. Sepasang mata orang itu
seperti menjelma menjadi tembok
kokoh yang menahanku untuk maju
mendekatinya. Sepasang mata
seperti bolam susu yang kotor
karena debu, sepasang mata yang
usai dari badai, sepasang mata yang
melempar teror dengan cara asing
dan semena-mena.

Aku hanya bisa membalikkan tubuh,
menutup pintu. Senyum yang
kulemparkan bukan hanya sia-sia,
senyum yang kulemparkan balik
dengan kekuatan ganda melabrakku
penuh beda rasa. Aku pikir, aku
bukan seorang penakut. Tapi begitu
kututup pintu, menguncinya, aku
merasa tatap mata orang itu masih
terus lekat di tubuhku, seperti
mengintaiku dari balik dinding-
dinding kayu, dari lubang ventilasi,
bahkan ketika aku mencoba tidur,
aku merasa sepasang matanya terus
menyorotku dari segala benda yang
mencipta ruang-ruang gelapnya; dari
lubang kunci, dari sela-sela buku,
dari atap dan di bawah dipan yang
kutiduri.
Aku baru saja tidur ketika hari mulai
pagi. Dan semenjak itu, aku hanya
bisa tidur ketika sudah ada sinar
matahari. Aku sudah mencobanya
dengan mengganti bolam di kamarku
dengan yang lebih terang, dan aku
mencoba tidur dengan lampu yang
menyala terang itu. Tapi sungguh
sia-sia. Aku justru merasa seperti
ada di sebuah akuarium, dan
sepasang mata itu terus melihatku
dengan begitu leluasa.

Di siang hari, aku merasa tak ada
gangguan dengan sepasang mata
itu. Siang hari, ketika aku bangun
dari tidur yang kumulai di pagi hari,
aku bisa mendapati rumah di depan
sebuah rumah yang biasa saja. Di
sekelilingnya tumbuh beberapa
pohon buah- buahan. Di sampingnya
agak jarak, aku melihat sebuah
kandang dengan dua ekor sapi. Di
sekeliling kandang itu tumbuh subur
pohon-pohon pisang dan sayur-
sayur. Aku melihat laki- laki itu
pulang pada senja hari dengan
sekeranjang penuh rumput di atas
kepalanya, cangkul dan sabit, juga
lintingan rokok besar di tangannya.
Tapi sepasang mata yang penuh
teror itu selalu tak bisa terlihat. Aku
pikir mungkin karena ada topi lusuh
yang bertengger di kepalanya, juga
keranjang penuh rumput yang di
sana-sini rumputnya jatuh di kepala
dan punggungnya. Tapi kemudian
aku benar-benar menyerah. Dari
berbagai arah, berkali-kali pada saat
bertemu dengannya di siang hari,
aku tetap tak bisa melihat sepasang
matanya. Aku ingin menantang
tatapan matanya di siang hari. Mata
yang membuat malam-malamku
menjadi resah dan menakutkan.
Ia dan sepasang matanya berkuasa
padaku di malam hari. Pernah pada
niat yang begitu bulat, kukerahkan
dan kukumpulkan segenap
keberanianku untuk menemaninya di
malam hari. Tapi sekali lagi entah
karena apa, aku hanya bisa sampai
pada pagar hidup rumahnya. Rumah
yang masih tetap gelap. Aku
melewatinya berkali-kali dengan
perasaan tak menentu.

Akhirnya kuputuskan untuk menemui
kenalan-kenalanku di warung kopi
sambil minum arak, berusaha
melupakan kebulatan tekatku yang
tidak menghasilkan apa-apa. Dan
peristiwa yang makin memojokkanku
datang di malam itu. Aku merasa
ingin kencing, lalu aku keluar dari
warung menuju arah jalan yang agak
sepi untuk kencing. Sebetulnya
begitu keluar dari warung, aku
merasa malam segera menyambutku
dengan tusukan sepasang mata yang
ada di mana-mana, ada di balik
setiap gelap. Tapi aku mencoba
tidak peduli, juga karena aku
memang harus kencing.
Namun tiba-tiba langkahku terhenti,
di dekat sebuah satu tiang listrik,
yang lampunya di sekitarnya
menyala redup, aku melihat sosok
itu. Dan aku menatap matanya
dengan cukup jelas saat itu. Mata
yang seperti selesai namun maih
menyimpan sisa badai. Aku gemetar.
Tubuhku dingin namun
mengeluarkan keringat. Suaraku
seperti hilang, dan aku seperti tak
punya napas. Seluruh kulit di
tubuhku tiba-tiba bergerak sendiri.
Aku hampir dihabisi oleh ketakutan
yang terkutuk. Lalu kulihat kemudian
ia pergi, melenggang dengan
langkah-langkah pendek dan nyala
api dari tangannya. Api lintingan
rokok yang besar. Beberapa saat
kemudian, aku merasa sangat malu
pada diriku sendiri.

Segera aku diburu oleh rasa marah
yang sangat pada diriku, dan balik
ke warung kopi, minum bersloki-sloki
arak, lalu kupinjam parang dari
pemilik warung. Beberapa orang agak
heran, tapi kemudian aku bisa
berdalih. Dengan tubuh yang
menahan marah aku melangkah
menuju rumahnya. Aku masukkan
parang di balik jaketku, setelah aku
sadar betapa memalukannya diriku.

Apa salahnya padaku? Kenapa aku
bisa begitu terganggu dan
ketakutan? Tapi aku tetap
melangkah menuju rumahnya.
Apapun yang terjadi, aku harus
bicara dengannya, paling tidak
berkenalan, dan aku ingin
memastikan bahwa sepasang mata
itu sesungguhnya tidak penuh
dengan teror. Tapi jika kemudian
memang marabahaya yang
ditawarkannya, aku meraba gagang
parang di balik jaketku, seperti
meraba kemungkinanku untuk
mempertahankan diri.
Dan kudapati ia di depan pintu
rumahnya, masih dengan nyala rokok
yang jika dihisap menjadi bertambah
nyalanya, dan sepasang matanya
semakin terlihat mengerikan. Aku
tetap hanya bisa tertegun di pagar
hidup rumahnya. Kami berdua hanya
dibatasi dengan pagar hidup pohon
beluntas setinggi perutku , dan
beberapa meter kemudian tubuhnya
bersandar pada salah satu sisi pintu
yang terbuka, seperti menungguku.

Aku habis kata dan keberanian. Aku
tetap mendapati sepasang matanya
sebagai teror menakutkan. Sangat
menakutkan. Aku berbalik arah, dan
seiring dengan pengaruh arak yang
merayap turun, aku semakin
dirundung takut yang menyesakkan.
Sampai pagi tiba.

Sebulan sekali, aku ke kota untuk
berkonsultasi dengan peneliti
seniorku. Dan pada saat yang agak
jauh dari kampung itu, dari
sepasang mata itu, aku bisa berpikir
dengan agak jernih. Itu sepasang
mata orang yang telah mati, mata
yang keruh. Tapi kenapa di tubuh
yang tegap dan hidup bisa memiliki
mata orang yang telah mati? Dan
mengapa itu hanya terjadi di malam
hari? Atau baiklah, aku tidak bisa
mengatakan itu hanya terjadi di
malam hari, sebab aku tidak pernah
melihat matanya di siang hari.
Tapi menurutku pertanyaan itu bisa
kuganti dengan: mengapa aku
merasa ada sepasang matanya yang
menakutkan itu, hanya menerorku di
malam hari? Mungkin banyak orang
akan menjawab, mereka mengira aku
takut hantu dan sejenisnya, yang
selalu hadir di malam hari. Itulah
masalahnya. Aku tidak pernah
percaya hantu, dan malam hari
bukan sesuatu yang selama ini
menakutkan. Aku hanya takut pada
dua hal selama ini: kecoa dan ulat
bulu.

Lalu sesungguhnya apa yang
menakutkanku, sehingga aku harus
tidak nyaman tidur, tidak leluasa
berpergian ketika malam, dan
beberapa kali gemetar tak karuan
ketika bertatapan mata dengan
bertemu dengan orang itu? Dan lalu
muncul keinginan-keinginan untuk
tahu siapa pemilik sepasang mata
itu.
Tapi setiap kali aku balik lagi ke
kampung itu, segala keingintahuanku
tiba-tiba lenyap, bahkan aku tidak
ingin mengerti dan tahu apa-apa
tentang orang tersebut. Tiba-tiba
aku seperti berada dalam sebuah
situasi dimana pemilik sepasang
mata yang menerorku itu tidak
pernah ada di kampung itu. Tidak
pernah ada orang yang
membicarakannya, menyebut
namanya. Dan aku merasa bahwa
memang sepasang mata yang seperti
orang yang telah mati itu memang
hanya untukku dan itu hanya ada di
malam hari. Selalu saja, jika aku ada
di kampung itu, aku selalu merasa
seperti tidak perlu dan tidak butuh
semacam latar belakang dan cerita
tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin
menambah derajat ketakutanku.
Biarlah dia hadir dengan sorot
matanya ketika malam. Toh aku tidak
selamanya ada di sana.
Tapi pada saat jauh dari kampung
dan orang itu, selalu saja aku
dirundung tanya dengan begitu saja.
Umur laki-laki itu kira-kira seumur
dengan pamanku, lima tahun lebih
muda dari ayahku. Tubuhnya gempal
berisi dengan kulit yang agak gelap
terbakar matahari. Tidak pernah
kulihat beralas kaki. Selalu
melangkah dalam langkah-langkah
pendek dan mantap. Benar-benar
tubuh orang hidup. Tapi sepasang
matanya….

Suatu saat, dalam sebuah perjalanan
balik menuju ke kampung itu, aku
berhenti di kota kecil. Dari kota itu
ke kampung yang hendak kutuju
masih berkisar satu setengah jam
masuk ke dalam bebukitan penuh
ladang naik angkutan yang sehari
paling hanya ada tiga atau empat
kali dalam sehari. Aku berhenti
untuk berbelanja beberapa
kebutuhanku yang lupa kubeli.

Selesai berbelanja, sambil
menunggu angkutan, aku masuk ke
sebuah warung untuk makan siang.
Begitu masuk, entah mengapa,
perhatianku langsung tertuju pada
seseorang berbaju dan bercelana
hitam, baju dan celana yang
komprang dan warna hitamnya mulai
pudar.
Aku duduk di sampingnya.
Kuperhatikan lagi orang di
sampingku. Cukup tua. Kutangkap
keriput di wajahnya. Hampir semua
kumisnya berwarna putih. Ia
memakai ikat kepala dari kain. Diam.
Asyik dengan rokok dan secangkir
kopinya yang hampir tandas.
Ia menoleh padaku, melempar
senyum.

“Mau ke Dalam, Anak?”
tanyanya sambil menggeser
tubuhnya, memberiku tempat agak
leluasa.
Aku mengangguk. ‘Dalam’ adalah
istilah untuk menyebut daerah yang
kutuju. Lalu aku memesan kopi dan
makan.

“Saya juga mau ke sana.”

Aku merasa agak lega. Setidaknya
aku merasa ada teman menuju satu
tujuan. Sebab kadang-kadang
memang tidak ada angkutan yang
pasti ke sana. Aku berharap, dalam
hari yang masih siang seperti itu,
masih ada sisa angkutan ke Dalam.

“Bapak berasal dari sana?”

“Dulu. Tapi sudah lama saya keluar
dari sana.”
Aku meneruskan makan, dan
berharap tidak mengganggunya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang
sepertinya enggan di jawab. Ia
nampak masih asyik dengan kopi dan
rokoknya.
Sudah beberapa saat kami berdua
menunggu. Tapi angkutan menuju
Dalam tak juga muncul. Lalu kami
putuskan untuk menunggu tepat di
jalan menuju Dalam, siapa tahu ada
mobil maupun truk yang lewat dan
kami bisa numpang. Hari berangkat
menuju sore.
Di sebuah rumah-rumahan yang
mungkin bekas warung makan
sederhana, kami menunggu. Kami
tidak banyak bercakap. Laki-laki itu
lebih sering memunggungiku,
menebarkan pandangnya ke lanskap,
ke arah Dalam, yang dari jauh
terlihat hanya sebagai bebukitan.

“Waktu aku kecil, Dalam adalah
hutan yang menghijau.” Laki-laki itu
berucap, tapi tidak seperti ditujukan
padaku, sedangkan ia masih juga
memunggungiku.

“Bapak pernah tinggal di sana?”

“Hanya beberapa keluarga yang
tinggal di sana. Kami hidup dari
hutan. Lalu datanglah orang-orang
itu, orang-orang yang mengaku
berpendidikan. Mereka membangun
kompleks perumahan untuk orang-
orang yang mengelola hutan. Lalu
satu per satu kemudian, ada
sekolahan, ada tempat ibadah, ada
tanah lapang. Dalam beberapa
tahun, banyak sekali orang yang
datang. Tiba-tiba kami punya pasar,
balai desa, jalan diperlebar,
angkutan dan mobil melintas.
Membawa yang baru, dan membawa
pergi apa-apa yang dulu kami
hormati dan junjung tinggi.”

Laki-laki itu membalikkan tubuhnya,
dan kulihat wajah yang mengeruh.
Murung.
“Mau tidak mau kami masuk dalam
kehidupan mereka. Anak-anak dari
keluarga kami bersekolah, hutan dan
alam adalah uang. Listrik masuk.
Tidak terlalu ada beda antara siang
dan malam. Ikan-ikan di sungai
menyusut, binatang-binatang hutan
langka. Hutan-hutan diatur dan
dipetak-petak. Kami tidak bisa
leluasa lagi keluar masuk hutan,
mendapatkan apa yang kami
butuhkan. Mereka menjaga hutan
seperti menjaga barang perhiasan.
Mereka membawa senapan yang siap
ditembakkan bagi penebangan-
penebangan. Tetap saja ada kayu
yang hilang, yang tidak mungkin
kami lakukan. Orang-orang
kekurangan uang yang
melakukannya, dan mereka
mendiamkannya, bahkan ada yang
diam-diam dari mereka sengaja
melindungi dan membantu
menjualnya.”
Ia berhenti sejenak, melinting rokok
dalam ukuran besar, mengingatkanku
pada orang bermata teror.

“Mereka bilang akan mengelola
hutan dengan baik, tapi itu semua
bolong. Diam-diam di antara mereka
sendiri telah mencurinya. Mereka
tidak benar-benar menjaga alam.
Orang-orang yang dulu
menggantungkan hidupnya dari
hutan diajari bertani dengan sistem
tumpang sari, tapi kebutuhan yang
diajarkan mereka datang lebih cepat
dan besar.

Kami berubah dengan merasa
semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin
punya televisi, ingin punya sepeda
motor, dan hasil dari pertanian
seperti itu tidak memungkinkan.
Lalu di antara kami yang
menebangnya, menjual dengan
diam-diam ke orang- orang mereka.
Tetap juga mereka yang kaya. Yang
menebang yang kena resikonya, tapi
mendapatkan hasil yang tidak
seberapa. Jika ada pemeriksaan dari
pusat, kami yang kena. Rumah-
rumah kami digeledah, atau saat
kami menebang, mereka datang
bersenjata dan menangkapi kami.
Harus tetap ada yang dianggap
mencuri, sekalipun hasil terbesarnya
ada pada mereka sendiri.”
Orang tua itu membalikkan
tubuhnya lagi, memandang Dalam
dari kejauhan. Senja mulai jatuh.

“Sekarang, hutan itu habis. Terbukti
mereka tidak bisa menjaganya,
sebab mereka sendiri yang
mencurinya. Memang ada beberapa
di antara kami yang menebangnya,
itu karena kebutuhan yang mereka
ajarkan. Anak-anak kami yang
merengek minta sepeda dan mobil-
mobilan. Perempuan-perempuan
kami harus ikut arisan, rapat,
pengajian. Semua itu artinya uang.
Itu pun tidak seberapa yang kami
dapatkan, dibanding dengan yang
mereka dapatkan. Sebentar lagi,
bukit-bukit itu juga akan rata
dengan tanah. Setelah tidak ada
kayu, mereka akan mengambil tanah
dan batu.”

Aku terperanjat seperti diingatkan.
Dengan cepat kuraba tas punggung
yang ada di samping dudukku. Tas
berisi berkas-berkas penelitian
tentang kandungan tanah dan batu
di daerah Dalam.
Uu
Senja beranjak gelap. Orang tua itu
membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba
aku merasa gemetar.
Aku mencari- cari sesuatu, dan pandangku
berhenti pada sepasang matanya.
Sepasang mata itu! *

Lombok, 1998.

22 Juli 2014

Ujung senja di bulan juli


             ________

By. Cmst

Kau lukis sejarah negeri lewat oratormu yang
terekam dalam diam

seperti bulan bulan kemarin

Pertiwi rawan kalut kemelut

Kau memagut bias bulan
di langit pertiwi atas nama kesumat

Gerimis  jelata memahat gelisah di
penghujung juli

Memecut kabar demokrasi melayut menari-nari

Bagimu pemenang bukan hanya milik
bulan juli

Ada selembar dendam melumat cahaya pertiwi

Dan di ujung senja ini
engkau kembali memahat gelisah pada tiap hati jelata negeri

04 Juli 2014

Wajah tanah leluhur

Oleh:CMST

Gugus-gugus awan di
pulau Lombok terasa begitu
dekat seakan hendak runtuh
dari langit

Deru angin
menemani langkah kami menapaki salah
satu tanah tertinggi di
Indonesia ini

Terima kasih Rinjaniku

Terima
kasih atas semua keindahan
dan keajaibanmu

Terima
kasih telah memberikan
kami arti dari sebuah keyakinan
bahwa mimpi-mimpi itu memang dapat kita
raih jika kita tidak
pernah menyerah

Terima kasih Tuhan
telah mengizinkan
kami memiliki sedikit indahnya
ciptaan-Mu pada wajah tanah leluhurku

24 Juni 2014

Lima kutukan


Penulis.Cmst

Aku lahir. Gajahmada melepas
jangkar. Melabuhkan armada tempur
di pantai leluhurku. Malam biru.
Seperti jubah laut masa lalu.

Ayahku nelayan tua bermata ungu.
Suka bercengkerama dengan ikan,
ombak, rasi biduk, dan perahu.
Ibuku dayang istana, perayu ulung,
penakluk muasal kata, penadah titah
yang patah.

Suatu malam raja
melepas lelah dalam rahim ibu. Aku
terjaga. Aku benih, gabungan sudra
dan ksatria, hanyut menggenangi
gema genta pendeta. Aku putra
jadah. Rasi bintang yang sendiri.
Terbuang, tak diakui. Meski raja
mencintaiku, namun takhta adalah
utama, setelah titah. Ibu mengeluh.
Aku pasrah. Maka, nelayan tua
bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan janji-janji
Gajahmada, sang penakluk terkutuk.

Aku belajar memanah tangis.
Menebas air mata. Raja merestuiku
jadi laskar. Di garis depan aku
bertempur. Demi leluhur, istana,
dan raja-ayah yang dulu tak
menghendakiku. Namun lacur, aku
gugur. Seperti pokok jati yang rubuh
di musim kering. Lambungku lebih
mencintai tombak ketimbang ombak.

Ruh berputar. Cakra punarbhawa.
Ratusan tahun kemudian, kembali
aku menitis. Ibuku pelacur
terhormat bagi serdadu bermata
biru. Dipuja dan dimuliakan,
lantaran pinggul bulat, payudara
kelapa gading, dan suara merdu
merayu. Bertahun kemudian ibu
digilir lelaki kuning bermata sipit.
Tak tahu aku, siapa sesungguhnya
yang pantas kusebut ayah? Apa
mungkin langit kupanggil ayah?
Dalam tubuhku mengalir darah
serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati
gantung diri, setelah lelah meladeni
serdadu ke seribu, yang haus, ganas
dan beringas.

Aku tumbuh menjadi penjudi,
centeng pelabuhan, pemain
perempuan, sekaligus mucikari bagi
priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku
tersihir api revolusi yang menyembur
dari mulut Soekarno. Seakan
mengenang masa silam, kembali aku
mengasah naluri tempur. Pin merah-
putih di peci, sesuatu yang
kubanggakan sebagai harga diri.
Revolver di pinggang dan senapan di
tangan. Aku memimpin pasukan
menyerbu tangsi dan gudang
senjata. Namun, seperti telah
dinujumkan, aku gugur
berselempang peluru musuh.

Ketika musim pembantaian tiba, aku
mekar kembali dalam keluarga buruh
tani. Usiaku sepuluh tahun saat
ayah digorok dan dikuliti, persis di
depan ibu. Darah ayah menghiasi
wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti
pohon tanpa daun. Ibu gila dan
menghuni rumah sakit jiwa, lalu
mati dengan batin luka parah.

Aku menjadi juru warta,
mengabarkan sengkarut negeri. Aku
menjadi musuh tirani. Suatu malam,
kelam gemetar di udara. Suara parau
burung hantu membawa derap
langkah sepatu lars. Kepalaku
dibungkus kain hitam, dipaksa
masuk kendaraan yang melaju entah
ke mana.

Koran mengabarkan aku lenyap,
tanpa jejak. Mereka tak tahu aku
dipaksa menjadi penghuni liar
kerajaan bawah laut. Aku belajar
menyukai aroma garam yang
menggelembungkan perut dan
jiwaku. Menari bersama ubur-ubur,
menyanyi bersama penyu hijau yang
terusir, hiu kelabu, ganggang dan
kerang. Dari suram bawah laut,
ruhku berputar tak tahu arah.

Aku lahir kembali di lorong kumuh
sebuah perkampungan kaum lanun,
bromocorah, paria, begundal, sundal
dan bajingan. Ayahku turunan
perompak. Kakekku sahabat ombak.
Suka mabuk. Pernah memerkosa
perempuan bisu di geladak. Lalu
lahirlah ayahku, pohon palam yang
mencintai malam.

Ayahku raja pasar gelap.
Penyelundup kayu. Juragan candu.
Ketika aku bocah, ayah menguap.
Jadi buron polisi dan preman. Ada
kabar ia mati di comberan. Tubuh
bugil, putih-pucat, dan penuh rajah.

Ada tujuh lubang luka yang
membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari telanjang
termasyhur. Paha bercahaya,
payudara berkilau. Ibu mengajariku
menenggak anggur bercampur abu
ganja dan sedikit pil tidur. Ibu
melatihku bercinta. Ketika mabuk
aku diperkosa. Aku meronta, aku
berontak. Ibu menjerit: “aku
dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku.
Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga
purba, sukarela aku menjalin asmara
dengan ibu tiriku.

O, di mana rahim hangat ibu yang
melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai
Kuta, ke mana kau usir jukung-
jukung nelayan? Mataku silau
lampu-lampu hotel dan restoran.
Seperti tukik, lahir dari kandungan
pasir, aku merayap pada hamparan
pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada
dadanya yang putih bersih aku
menyusu. Belajar mencicipi air laut.
Mencecap asin garam untuk kali
pertama.

Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo
belia. Usiaku tujuh belas tahun
ketika mereguk cinta pertama,
seakan menyentuh batu mulia, pada
mata jelita negeri salju. Rambut
yang separuh pirang, menyisakan
gerak bayang pada siang. Mata
seteduh lautan, biru yang kurindu,
yang memeram kelam topan.

Maka, cerita baru pun kubuka:

Di pantai aku merayu, seakan alpa
akan duka masa lalu. Kubah langit
jadi jingga. Biru laut mengental
pada kerling matamu. Perahuku
oleng, arus mabuk. Pasir masih
sisakan lokan, bercampur uang
kepeng bekas upacara dan tutup
botol Coca Cola. Kau berlari kecil
dan tertawa renyah ke arah senja
yang melindap harap. Buih putih
meraba mulus betismu yang ranum
tangkai bunga leli.

Seperti ibu yang
setia, aku menunggu di rindang
pohon ketapang. Memandangmu
memainkan senja yang ragu dan
gemetar meniti ombak liar.

Seorang
nenek renta bertopi caping memilin
helai-helai rambut kusutku jadi
beribu warna pelangi, yang melulu
sepi.

Agak ragu kau membujuk,
mengajakku menyulam malam dalam
selimut kusam. Kau ingin aku
bernalam, beralaskan tilam, berkisah
perihal silsilah masa silam
leluhurku, kawanan lanun yang
kalah.

Malam melata. Dinding kamar
samar. Lampu biru. Cahaya gagu.
Kau menawariku anggur. Kita
bersulang, untuk sesuatu yang
mungkin hilang. Meski getir dan
letih, aku telah berkisah. Kini,
izinkan aku membajak lekuk tubuh
pualammu, hingga baris-baris sajak
lumer seperti roti kering tercelup
cappucino hangat.

Upacara dimulai. Gaun kau simpan.
Kita berdansa perlahan. Irama sunyi
nyanyi serangga menghiasi malam.
Setengah mabuk kita rebah di atas
springbed, hamparan surga kelabu.
Beringas kau menyerbu, melumatku
tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di
pangkal paha. Cangkang kerang
mengerang. Seribu pesona
menganga. Kulit lembut teratai
merah muda. Di muka gapura
permata camar- camar memekik lirih,
meluncur dari nganga bibirmu.

Menghambur tak tentu arah. Sesat
dalam lebat rimba bakau. Lalu bau
kambium melunak. Aroma ganggang
meregang, setelah getar terakhir
pinggulmu, penakluk pertapa bisu
yang menyepi di tengah teluk. Ada
sedu sedan tertahan. Dan pantai
pun menjerit manja saat ombak
pasang menyatukan dua benua.

Lalu, igaumu menyusur malam,
menjalar di atas kasur dingin. Uap
garam pada kulit tembaga. Getar
anggur di pangkal lidah. Sebutir
pasir di ujung puting. Lekukmu
seindah teluk yang selalu kelabu.

Usai upacara kecil itu, kau
memaksaku keluyuran. Seperti
pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian
yang bising, berisik, sesak, pikuk dan
sibuk. Padahal aku telah nyaman
melipat tubuh dalam selimut.
Seperti janin dalam rahim hangat
ibu.

“Come on, honey! The night is very
nice!”

Setengah memaksa, setengah
dipaksa, bagai bocah dungu aku
mengikutimu. Sambil menyambar
syal, selinting mariyuana kau
nyalakan. Aku meraba bungkus
kretek di saku jaket. Kau tertawa
jenaka. Mata birumu menuju
bintang, yang bingung berebut
cahaya dengan kerlap-kerlip lampu
pub.

Agak mengerak dalam benakku,
waktu itu puncak malam Sabtu.
Udara dingin Oktober, merembes
membasahi arus darah. Namun,
dalam pub itu, panas tubuh berbagi
panas tubuh, tawa menyilang tawa.

Piringan hitam melantunkan I
Started A Joke, lagu terakhir yang
kau pesan dari DJ berambuk ombak.

Mataku perih. Asap tembakau
berbaur bau tubuh bule, mariyuana
dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku
terkenang aroma karbol. Di sudut
remang, bibirmu meraba bibirku.
Lidahmu yang panas- meski kau dari
negeri salju-memberangus lidahku
yang bau hujan tropis.

Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba
padam. Malam mendadak membara.
Panas mengelupas mulus tubuhmu.
Bagian tubuhku seperti memasuki
liang tanpa cahaya, lubang penuh
lendir. Aku gugup. Kau gemetar.
Urat-urat darahmu coba meraba
geletar asing yang mendedah ruh
dan tubuh di ruang pengap kamar
yang terbakar.

Terasa ringan, aku kapas diempas
angin. Dari dalam udara, aku
melihat tubuh-tubuh menyerpih.
Ada bau daging gosong. Orang-orang
bingung. Sirine ambulance ngeri,
meraung tak henti.

Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala
terbuka sebelum waktu. Seperti
lokan buta yang meraba dengan
sungut, ruhku tertatih meraba
kegelapan jalan terakhirku. Aku
perlu peta, menyibak rute pelayaran,
menyusuri gelombang pinggul yang
bagai badai. Napasku tercekik belelai
gurita raksasa, tepat saat jari-jari
tanganmu ingin raih bulan di atas
samudra.

Pada parak pagi, kutemukan tubuhku
remuk di antara tumpukan puing
dan abu. Bibirmu yang ranum
menganga, menadah derita di atas
basah aspal jalan. Seribu camar tak
henti memekik dan berhamburan tak
tahu arah.

Kemudian, hari, minggu, dan bulan.
Sesuatu yang disebut waktu,
bergelantungan di pucuk-pucuk
pohon waru. Seorang gelandangan
lusuh menyusur Jalan Legian. Aku
terkesima! Gelandangan lusuh itu,
aku sendiri!

Hanya baju-baju kaus pengabar
duka, pamflet setengah hangus,
seikat bunga layu, potret kekasih dan
orang tercinta berjajar pada pagar
seng kusam. Saling berebut
perhatian, tertuju pada semua
penjuru mata.

Mungkin pernah seorang relawan
menemukan biji mata biru pada sisa
abu. Pinggul setengah matang. Atau
mungkin gema tangis dari sisa
puing. Mengambang dalam malam
bergerimis. Uap alkohol bercampur
sisa embun.

Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir
yang sia-sia menempel di kaca
jendela diskotek. Ada bekas
ganggang biru dan sedikit sengat
ubur-ubur pada gambar naga di
lengan kanan. Sisa garam pada
rambut yang separuh hangus. Betis
mulus yang terkelupas seperti
mangga matang, yang pernah
memukau lanun, membajak gelinjang
yang terus meradang, mengerang,
menggasing dalam putaran sembilan
bulan. Seperti kekunang tersihir
cahaya gemintang.

Tak ada lagi mantra penolak bala
atau sesaji penenang ruh. Pun
karangan bunga muram. Mungkin
hanya sebutir aspirin, jarum suntik
dan lima linting mariyuana,
teronggok di sudut kamar kusam.

Kaukah ruh, asal segala keluh dan
jenuh? Atau aku noktah yang akan
terhapus dari kenangan. Atau aku
ruh, yang berkisah perihal waktu,
yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau
kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari
satu tubuh ke lain tubuh. Seperti
burung-burung yang diusir musim
dingin. Pintu rahim siapa mesti
kuketuk lagi, demi ruh yang tak
henti mengembara. Aku letih
menyusuri garis edarku sendiri.

Aku
bukan matahari, bukan bulan, bukan
bumi. Aku noktah pada hamparan
semestaMu. Bila aku mengakui
adaMu, apa harus aku
mempercayaiMu?

Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku
sebilah kelewang berkilau dan kuda
putih. Aku hanya sudi menjelma
ketika usia bumi merapat tua. Itulah
akhir titahMu, akhir kembaraku.
Itulah saat aku mengukur umurku
sendiri, mengumpulkan remah-
remah karma.

Atau titiskan aku lagi 666 tahun
kemudian, ketika bumi menjadi
lapisan es. Aku akan menjelma ikan-
ikan cahaya, yang menghuni lubuk
paling kelam dari samudra
membeku, dari jiwa paling kelabu.
Dan Kau? Kau membeku dalam
istanaMu!.

Lalu lalang malapetaka berahir di sudut legian.

Cmst.

01 Juni 2014

Setes lukisan tuhan di pulau lombok

Setetes lukisan tuhan di pulau   

                    lombok

Keindahan ini mengiris kerinduan
      lalu menyuguhkan jutaan kenang
          pada lembaran lembaran mimpi

   Cerita tanah jauh merayu mimpi
merobek selimut sasak ku
pada tidur pagiku yang lalu

Ingin ku gurat senyum terahir pada wajah keindahan tuhan
yang bergelar gumi sasak

Biar ku pinjam sehelai nafas lamunan
   biar ku gelar kerinduan atas nama keindahan
    lalu derita mimpuku juga akan tergelar atas nama yang sama

Setetes lukisanMu di wajah ibu pertiwiku menyusun sebuah gelar
  "tuhan pencinta keindahan"

by:cmst

17 Mei 2014

Masmirah

Masmirah akan selalu
   menghapus jejak cinta
dan
     menatah
candi penuh tumbal dan
kesengsaraan.

Karena itu,
dengarlah
lengking seruling

    Kembang malam
yang mengembuskan tangis indah

Buak ate.

Bersekutulah dengan
      tarianmu sendiri,
karena

Masmirah
    telah mati dan

Babadsasak
tak
   melahirkan pahlawan lagi.

08 April 2014

Tuhan & Manusia

By; Cmst
TUHAN & MANUSIA

ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ ﻻ ﻪﻟﺍ ﻻﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻭ ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ
ﺍﺪﻤﺤﻣ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ

Ma’rifat Hamba Allah (Tauhid)
Allah berfirman,
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang
Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak
disembah) melainkan Dia (QS
2:163)”
“Tuhan kamu adalah Tuhan yang
maha Esa (QS 16:22)”
“Katakanlah: Dialah Yang maha Esa
(QS 112:1)”.
Itulah beberapa mutiara tauhid
yang disebutkan oleh Allah di
dalam Al Qur’an
sebagai pentauhidan akan ke-Esa-an
Diri-Nya. Maka secara harfiah,
tauhid
adalah Mengesakan Tuhan.
Al Ghazali dalam kitab
Raudhah Al-Thalibin Wa Umdah Al-
Salikin (16)
mengartikan
tauhid sebagai menyucikan
Al-Qidam
dari sifat
al-huduts
(baru), menjauhkannya
dari segala sesuatu yang baru,
sehingga seseorang tidak kuasa
melihat dirinya
bernilai lebih terhadap yang
lainnya. Artinya, dirinya menjadi
tiada atau fana.
Sebab bila dia melihat kepada
dirinya sendiri atau orang lain
disaat dia berada
dalam kondisi mentauhidkan Al-
Haqq
, maka akan terjadi dualisme, dan
itu berarti
tidak mengesakan terhadap Dzat-
Nya yang
qadim
, yang memiliki sifat Esa dan
Tunggal (disinilah Iblis tertipu
sehingga menolak perintah Allah).
Keesaan
sebagai Yang Tunggal sebagai
makna tauhid pada hakikatnya
berkaitan erat
dengan pengenalan yang baru
(semua makhluk) terhadap yang
qidam
. Maka
dalam siklus
makrifatullah
tak pernah berhenti, tauhid
merupakan ujung dari
makrifat dari yang menyaksikan, ia
dikatakan rahasia dan ruh dari
makrifat.
Namun, tauhid juga merupakan
awal dari
makrifatullah
, karena di ujung
perjalanan makrifat si pencari
(salik) akan mengalami
penyaksiannya di awal
mula sebelum ia menjadi dirinya
(sebelum ruhnya ditiupkan ke
dalam jasad) (QS
7:172).
Dengan demikian menjadi jelas
bahwa ketika seseorang mencapai
suatu
totalitas tauhid yang benar berupa
penyaksian akan Allah sebagai
Tuhan Yang
Esa, tidak ada pengakuan bahwa
dirinya telah sampai, karena
pengakuan akan
menyebabkan suatu bencana baik
bagi dirinya yang diliputi
kesombongan diri,
atau hanya sekedar ilusi yang
menipu dirinya sendiri. Dalam
banyak aspek,
pengungkapan makrifat
dimungkinkan apa adanya, seperti
Nabi Muhammad
SAW menceritakan Isra & Mi’rajnya,
sebagai suatu
dzauqi
atau citarasa ruhaniah
penyaksian hakiki sehingga darinya
akan muncul berbagai
pengungkapan
lahiriah berupa puisi, prosa, dan
bentuk-bentuk pengungkapan
lainnya. Ada yang
boleh disiarkan sebagai suatu berita
kenikmatan yang memang harus
ditebarkan
sebagai sebuah rahmat, ada juga
yang harus disembunyikan karena
bisa
menimbulkan fitnah baik bagi
dirinya, para munafik dan ateis,
maupun orang
yang mengikutinya dengan
kebodohan dan tanpa ilmu
sehingga yang muncul
dari pengikut yang bodoh adalah
pengakuan-pengakuan palsu.
6.10.1 Pengertian Tauhid
Menurut Al-Qusyairy an-Naisabury,
“Risalatul Qusyairiyah”
[10]
, Tauhid adalah
suatu hukum bahwa sesungguhnya
Allah SWT Maha Esa, dan
mengetahui
bahwa sesuatu itu satu bisa
dikatakan tauhid juga. Sehingga,
menauhidkan
sesuatu yang satu merupakan
bagian dari keimanan terhadap
yang satu itu.
Makna eksistensi Allah SWT sebagai
Yang Esa adalah suatu penyifatan
yang
didasarkan ilmu pengetahuan.
Dikatakannya bahwa Allah SWT
adalah
Ketunggalan Dzat, sehingga “
Dia Adalah Dzat Yang tidak
dibenarkan untuk
disifati dengan penempatan dan
penghilangan.
” Selanjutnya banyak ahli hakikat
yang mengatakan bahwa Allah SWT
itu Esa adalah penafian segala
pembagian terhadap dzat; penafian
terhadap penyerupaan tentang Hak
dan
Sifat-sifat-Nya, serta penafian
adanya teman yang menyertai-Nya
dalam Kreasi
dan Cipta-Nya.
Hujwiri dalam “Kasyf al-Mahjub”
dan Al Qusyairy
dalam kitab Risalahnya,
membagi pengertian tauhid menjadi
tiga kategori yaitu :
Tauhid Allah SWT oleh Allah SWT,
yaitu ilmu dan pengetahuan-Nya
bahwa sesungguhnya Dia adalah
Esa.

Tauhid Allah SWT oleh makhluk,
yaitu ketentuan-Nya bahwa
makhluk
adalah yang menauhidkan dan
menjadi ciptaan-Nya, atau disebut
tauhidnya hamba dan penegasan
tauhid ada dalam hatinya.

Tauhid Allah SWT oleh manusia
yaitu pengetahuan hamba bahwa
Allah
SWT Yang maha Perkasa dan Agung
adalah Maha Esa.
Pada tauhid yang pertama, maka
ketauhidan-Nya hanya dapat
terpahami oleh
ilmu dan pengetahuan-Nya, dimana
Yang Memahami ketauhidan Allah
oleh Allah
adalah Allah sendiri atau
penetapan-Nya pada makhluk
pilihan-Nya Sendiri.
Dalam hal ini yang mendapat
kemuliaan itu adalah Nabi
Muhammad SAW
dimana beliau dapat memperoleh
kekuatan dan memperlihatkan
eksistensi Allah
dari luar non-eksistensinya pada
saat peristiwa Mi’raj. Sehingga,
Yang Ada
adalah Allah semata. Dalam
pengertian demikian, makhluk yang
mengetahui
berdasarkan pengetahuan-Nya
hanya mampu sekedar berkata
bahwa “
aku
mengenal Allah dengan Allah
” dengan tabir sebagai suatu sifat
ar-Rububiyyah
.
Hakikatnya, seperti yang sering
diungkapkan oleh Rasulullah SAW
dan para
sahabat tersebut adalah ujung dari
Ma’rifat al-Haqq
, dalam batas-batas yang
sangat dekat (
Qabaa Qausaini
atau lebih dekat lagi), tetapi bukan
merupakan
Ma’rifat Dzat
Allah karena hanya Dialah yang
dapat menauhidkan-Nya.
Meminjam istilah Ibnu Arabi, maka
tauhid yang pertama bisa dikatakan
sebagai
al-Hirah al-Ilahiyah
atau
Kebingungan Ilahiyah
yang dialami makhluk setelah
mencapai maqam tertinggi yaitu
Mi’raj Nabi SAW. Dan hanya Nabi
Muhammad
SAW lah yang berhak mengatakan
dengan penyaksian utuh “
aku mengenal
Allah dengan Allah
”. Para sahabat, wali, dan kaum
arifin sesudahnya berada di
bawah maqam nabi SAW tersebut,
sehingga dalam sabdanya Nabi
Muhammad
SAW berkata “
Saya bersama Allah dimana tidak
seorangpun dari malaikat atau
nabi bisa berada bersama saya.
” Tauhid Allah oleh Allah karena itu
dikatakan

Yang Ada hanyalah Dia
”. Dan bagi mereka yang mengikuti
jejak Nabi
Muhammad SAW maka mereka
mentauhidkan melalui dirinya
karena tanpa “
Nur
Muhammad dan Muhammad SAW
” semua makhluk akan musnah.
Secara
eksak, hal ini berarti bahwa tanpa

Nur Muhammad dan Muhammad
SAW

semua makhluk tidak pernah
diciptakan oleh Allah SWT. Inilah
makna awal dan
akhir dari esensi penciptaan melalui
firman “Basmalah” dan “Kun” yang
dinisbahkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai “Yang
Petama Kali”
diciptakan dan yang “Yang Paling
Akhir” dimunculkan, yang “Lahir
sebagai Nabi
Muhammad SAW hamba Allah” dan
“Yang Batin sebagai Nur
Muhammad”
(penyisipan kata sambung “dan”
harus dipahami dengan logika
kuantum yang
tidak terbedakan, Lihat juga QS al-
Hadiiid ayat 3).
Pada tauhid yang kedua, maka
Tauhid-Nya Allah oleh makhluk
adalah suatu
penghambaan mutlak dari semua
makhluk yang eksis setelah
kehendak “
Kun Fa
Yakuun
”. Maka, pentauhidan yang muncul
adalah suatu ketentuan baik yang
berupa penetapan-penetapan,
sunnatullah yang pasti dan tidak
pasti, puja-puji,
dan tasbih semua makhluk dari
maujud yang paling elementer
sampai maujud
yang nyata membangun relativitas
dari yang baru (dari makhluk), dari
nanokosmos ke makrokosmos, dari
‘alam al-mulk
sampai
‘alam
al-jabarut
.
Penegasan tauhid yang terdapat
dalam semua makhluk, karena itu
adalah
penegasan dalam hati, sebagai
suatu hakikat paling elementer dan
halus bahwa
semua makhluk mengada semata-
mata karena curahan rahmat dan
kasih
sayang-Nya semata. Pada tauhid
kedua ini, Abu Bakar As Shiddiq
r.a.
mengatakan bahwa tauhid adalah
perbuatan Ilahi dalam hati
makhluk-Nya. Maka
dikatakan bahwa pentauhidan Allah
SWT oleh makhluk adalah
pentauhidan dari
ciptaan-Nya, atau yang diciptakan-
Nya dengan kehendak firman “
kun fa yakuun
”.
Jadi tauhid kedua adalah tauhid
semua alam semesta (al-Aalamin)
beserta
semua isinya, yang memuja dan
memuji hanya kepada Penciptanya,
juga karena
Dialah Allah yang Maha Memelihara
(QS 1:2), maka tiada Tuhan selain
DiriNya.
Disini semua makhluk harus
menauhidkan Allah SWT dengan
secara total
menafikan eksistensi dirinya sendiri
sebagai maujud, sehingga makhluk
harus
mengatakan “
Tidak ada Tuhan Selain Allah (Laa
ilaaha illaa Allaah)
Tauhid yang ketiga adalah Tauhid
Allah oleh manusia melalui
pengetahuan-Nya
yang dianugerahkan kepada
manusia berupa akal pikiran dan
kehendak bebas
untuk memilah dan memilih.
Pentauhidan Allah SWT oleh
manusia adalah
pentauhidan untuk makhluk yang
menyaksikan pertamakali dan
makhluk yang
disempurnakan sebagai Insan
kamil. Maka, manusia yang
menauhidkan Tuhan
sebagai Yang Esa adalah ia yang
melakukan pencarian atau
dianugerahi
makrifat pengenalan secara
langsung. Pencarian adalah wasiat
Allah yang
ditauhidkannya, maka ia yang
mencari adalah ia yang akan
berjalan dari awal
dan sampai ke awal kembali. Ia
yang mampu memecahkan rahasia
eksistensi
dirinya melalui dirinya sendiri
untuk kemudian mengenal Dia yang
ditauhidkannya. Inilah tauhid yang
identik dengan pengertian “
Man arofa
nafsahu, faqod arofa robbahu
”. Tauhid demikian adalah
tauhidnya hamba Allah
yang mesti menegaskan ketauhidan
Allah SWT melalui profil manusia
yang
paling disempurnakan yaitu Nabi
Muhammad SAW sebagai hamba
Allah dan
Kekasih Allah. Maka tauhid manusia
seperti ini adalah “
Tidak ada Tuhan Selain
Allah, dan Muhammad SAW adalah
Utusan Allah (Laa ilaaha illaa
Allaah,
Muhammadurrasulullah)”
Dan dengan demikian, bagi manusia
dan semua
makhluk-Nya maka tauhid ketiga
adalah tauhid Yang Awal dan juga
tauhid Yang
Akhir (QS 57:3), yang merupakan
rahmat bagi seluruh alam. Tanpa
melalui
penauhidan ketiga ini, maka tauhid
manusia (dan jin) menjadi tidak
sempurna.
Kendati seseorang dapat memulai
dari ketauhidan kedua, yakni
Tauhid Allah
oleh makhluk sebagai makhluk
elementer, namun tauhid kedua
adalah tauhid
bagi makhluk non sintesis yang
berjalan dengan berjalannya sang
waktu sebagai
suatu
qadā
. Maka ia yang tidak memulai dari
tauhid ketiga hanya mendapat
sekedar pengampunan, karena
Tauhid kedua adalah tauhidnya
manusia pertama
yaitu Nabi Adam a.s. Dan
pengampunan, seperti halnya
ampunan yang
dianugerahkan kepada Adam dan
Hawa sebagai suatu hidayah untuk
mereka
dan anak cucunya, tidak lebih dari
awal mula perjalanan makrifat
manusia, yaitu
awal mula dari manusia pertama
menyadari kesadaran diri yang
teosentris
bahwa ada Tuhan Yang Esa.
Rasululllah SAW bersabda :
“Ada seseorang dari generasi
sebelum zaman kamu sekalian yang
sama sekali
tidak pernah beramal baik kecuali
bahwa ia bertauhid saja. Orang itu
berwasiat
kepada keluarganya,’Bila aku mati,
bakarlah aku dan hancurkan diriku,
kemudian taburkan separuh
tubuhku di darat dan separuhnya di
laut pada saat
angin kencang.’ Keluarganya pun
melakukan wasiatnya itu. Kemudian
Allah
SWTberfirman kepada
angin,’Kemarikan apa yang kamu
ambil.’ Tiba-tiba orang
tersebut sudah berada disisi-Nya.
Kemudian Allah SWT bertanya
kepada orang
tersebut,’Apa yang membebanimu
sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia
menjawab,’Karena malu pada-Mu.’
Kemudian Allah SWT
mengampuninya.” (HR Bukhari)
Tauhid ketiga sebenarnya ekor
yang memutar kearah kepala, jadi
tauhid ketiga
yaitu Tauhid Allah oleh manusia
adalah suatu kewajiban bagi semua
manusia
dan jin, suatu lingkaran perjalanan
yang menutup dimana awal dan
akhir
bertemu, yaitu tauhid Allah oleh
Allah dan tauhid Allah oleh
manusia yang
menyambung tanpa kelim (tanpa
kelihatan sambungannya, tetapi
tahu bahwa
disitulah sambungannya, seperti
pita mobius yang memelintir saling
memunggungi),
atau katakanlah suatu sambungan
yang saling memunggungi.
Maka menjadi jelas bahwa dalam
tauhid ketiga, antara manusia yang
menauhidkan dan Allah yang
ditauhidkan saling memunggungi,
dan diantara
keduanya adalah alam semesta
sebagai wadah pembelajaran bagi
makhluk
yang disempurnakan yaitu manusia
sebagai hamba Allah

“Kesejatian Diri” dua kata yang
seringkali membuat orang kurang
paham dengan kata-kata itu, siapa,
mengapa dan bagaimana
sesungguhnya dirinya. Dalam
Proses pencarian siapa diri kita ini
meski terlihat sederhana, ternya
dibutuhkan bermacam perjuangan
dan ujian sampai kita benar-benar
tahu dan mengerti apa dan
bagaimana diri kita sesungguhnya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
terkadang kita dihadapkan pada
sesuatu yang kurang nyaman
menurut kita, oleh karena
keterbatasan kuasa serta
keterbatasan posisi kita, akhirnya
kita menuruti apa yang sebenarnya
ada penolakan pada diri kita.
Mengikuti atau menuruti sesuatu
hal yang bertentangan pada diri
kita adalah suatu ujian yang berat,
karena disini kita akan menjadi
sosok yang bermuka dua.
Dari kejadian diatas, satu bisa kita
tarik hikmahnya dan bisa sbagai
perbendaharaan dalam tahap
mencari Kesejatian diri, bahwa
sebenarnya diri kita tidak seperti
yang kita lakukan tadi. Dari
berbagai macam aktivitas yang ada
penolakan pada diri kita, itulah
yang sesungguhnya dapat
membangun dan menemukan siapa
dan bagaimana diri kita.
Berjalannya waktu, lambat laun
proses pencarian “Kesejatian Diri”
akan kita temukan…