08 April 2014

Tuhan & Manusia

By; Cmst
TUHAN & MANUSIA

ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ ﻻ ﻪﻟﺍ ﻻﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻭ ﺪﻬﺷﺃ ﻥﺃ
ﺍﺪﻤﺤﻣ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ

Ma’rifat Hamba Allah (Tauhid)
Allah berfirman,
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang
Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak
disembah) melainkan Dia (QS
2:163)”
“Tuhan kamu adalah Tuhan yang
maha Esa (QS 16:22)”
“Katakanlah: Dialah Yang maha Esa
(QS 112:1)”.
Itulah beberapa mutiara tauhid
yang disebutkan oleh Allah di
dalam Al Qur’an
sebagai pentauhidan akan ke-Esa-an
Diri-Nya. Maka secara harfiah,
tauhid
adalah Mengesakan Tuhan.
Al Ghazali dalam kitab
Raudhah Al-Thalibin Wa Umdah Al-
Salikin (16)
mengartikan
tauhid sebagai menyucikan
Al-Qidam
dari sifat
al-huduts
(baru), menjauhkannya
dari segala sesuatu yang baru,
sehingga seseorang tidak kuasa
melihat dirinya
bernilai lebih terhadap yang
lainnya. Artinya, dirinya menjadi
tiada atau fana.
Sebab bila dia melihat kepada
dirinya sendiri atau orang lain
disaat dia berada
dalam kondisi mentauhidkan Al-
Haqq
, maka akan terjadi dualisme, dan
itu berarti
tidak mengesakan terhadap Dzat-
Nya yang
qadim
, yang memiliki sifat Esa dan
Tunggal (disinilah Iblis tertipu
sehingga menolak perintah Allah).
Keesaan
sebagai Yang Tunggal sebagai
makna tauhid pada hakikatnya
berkaitan erat
dengan pengenalan yang baru
(semua makhluk) terhadap yang
qidam
. Maka
dalam siklus
makrifatullah
tak pernah berhenti, tauhid
merupakan ujung dari
makrifat dari yang menyaksikan, ia
dikatakan rahasia dan ruh dari
makrifat.
Namun, tauhid juga merupakan
awal dari
makrifatullah
, karena di ujung
perjalanan makrifat si pencari
(salik) akan mengalami
penyaksiannya di awal
mula sebelum ia menjadi dirinya
(sebelum ruhnya ditiupkan ke
dalam jasad) (QS
7:172).
Dengan demikian menjadi jelas
bahwa ketika seseorang mencapai
suatu
totalitas tauhid yang benar berupa
penyaksian akan Allah sebagai
Tuhan Yang
Esa, tidak ada pengakuan bahwa
dirinya telah sampai, karena
pengakuan akan
menyebabkan suatu bencana baik
bagi dirinya yang diliputi
kesombongan diri,
atau hanya sekedar ilusi yang
menipu dirinya sendiri. Dalam
banyak aspek,
pengungkapan makrifat
dimungkinkan apa adanya, seperti
Nabi Muhammad
SAW menceritakan Isra & Mi’rajnya,
sebagai suatu
dzauqi
atau citarasa ruhaniah
penyaksian hakiki sehingga darinya
akan muncul berbagai
pengungkapan
lahiriah berupa puisi, prosa, dan
bentuk-bentuk pengungkapan
lainnya. Ada yang
boleh disiarkan sebagai suatu berita
kenikmatan yang memang harus
ditebarkan
sebagai sebuah rahmat, ada juga
yang harus disembunyikan karena
bisa
menimbulkan fitnah baik bagi
dirinya, para munafik dan ateis,
maupun orang
yang mengikutinya dengan
kebodohan dan tanpa ilmu
sehingga yang muncul
dari pengikut yang bodoh adalah
pengakuan-pengakuan palsu.
6.10.1 Pengertian Tauhid
Menurut Al-Qusyairy an-Naisabury,
“Risalatul Qusyairiyah”
[10]
, Tauhid adalah
suatu hukum bahwa sesungguhnya
Allah SWT Maha Esa, dan
mengetahui
bahwa sesuatu itu satu bisa
dikatakan tauhid juga. Sehingga,
menauhidkan
sesuatu yang satu merupakan
bagian dari keimanan terhadap
yang satu itu.
Makna eksistensi Allah SWT sebagai
Yang Esa adalah suatu penyifatan
yang
didasarkan ilmu pengetahuan.
Dikatakannya bahwa Allah SWT
adalah
Ketunggalan Dzat, sehingga “
Dia Adalah Dzat Yang tidak
dibenarkan untuk
disifati dengan penempatan dan
penghilangan.
” Selanjutnya banyak ahli hakikat
yang mengatakan bahwa Allah SWT
itu Esa adalah penafian segala
pembagian terhadap dzat; penafian
terhadap penyerupaan tentang Hak
dan
Sifat-sifat-Nya, serta penafian
adanya teman yang menyertai-Nya
dalam Kreasi
dan Cipta-Nya.
Hujwiri dalam “Kasyf al-Mahjub”
dan Al Qusyairy
dalam kitab Risalahnya,
membagi pengertian tauhid menjadi
tiga kategori yaitu :
Tauhid Allah SWT oleh Allah SWT,
yaitu ilmu dan pengetahuan-Nya
bahwa sesungguhnya Dia adalah
Esa.

Tauhid Allah SWT oleh makhluk,
yaitu ketentuan-Nya bahwa
makhluk
adalah yang menauhidkan dan
menjadi ciptaan-Nya, atau disebut
tauhidnya hamba dan penegasan
tauhid ada dalam hatinya.

Tauhid Allah SWT oleh manusia
yaitu pengetahuan hamba bahwa
Allah
SWT Yang maha Perkasa dan Agung
adalah Maha Esa.
Pada tauhid yang pertama, maka
ketauhidan-Nya hanya dapat
terpahami oleh
ilmu dan pengetahuan-Nya, dimana
Yang Memahami ketauhidan Allah
oleh Allah
adalah Allah sendiri atau
penetapan-Nya pada makhluk
pilihan-Nya Sendiri.
Dalam hal ini yang mendapat
kemuliaan itu adalah Nabi
Muhammad SAW
dimana beliau dapat memperoleh
kekuatan dan memperlihatkan
eksistensi Allah
dari luar non-eksistensinya pada
saat peristiwa Mi’raj. Sehingga,
Yang Ada
adalah Allah semata. Dalam
pengertian demikian, makhluk yang
mengetahui
berdasarkan pengetahuan-Nya
hanya mampu sekedar berkata
bahwa “
aku
mengenal Allah dengan Allah
” dengan tabir sebagai suatu sifat
ar-Rububiyyah
.
Hakikatnya, seperti yang sering
diungkapkan oleh Rasulullah SAW
dan para
sahabat tersebut adalah ujung dari
Ma’rifat al-Haqq
, dalam batas-batas yang
sangat dekat (
Qabaa Qausaini
atau lebih dekat lagi), tetapi bukan
merupakan
Ma’rifat Dzat
Allah karena hanya Dialah yang
dapat menauhidkan-Nya.
Meminjam istilah Ibnu Arabi, maka
tauhid yang pertama bisa dikatakan
sebagai
al-Hirah al-Ilahiyah
atau
Kebingungan Ilahiyah
yang dialami makhluk setelah
mencapai maqam tertinggi yaitu
Mi’raj Nabi SAW. Dan hanya Nabi
Muhammad
SAW lah yang berhak mengatakan
dengan penyaksian utuh “
aku mengenal
Allah dengan Allah
”. Para sahabat, wali, dan kaum
arifin sesudahnya berada di
bawah maqam nabi SAW tersebut,
sehingga dalam sabdanya Nabi
Muhammad
SAW berkata “
Saya bersama Allah dimana tidak
seorangpun dari malaikat atau
nabi bisa berada bersama saya.
” Tauhid Allah oleh Allah karena itu
dikatakan

Yang Ada hanyalah Dia
”. Dan bagi mereka yang mengikuti
jejak Nabi
Muhammad SAW maka mereka
mentauhidkan melalui dirinya
karena tanpa “
Nur
Muhammad dan Muhammad SAW
” semua makhluk akan musnah.
Secara
eksak, hal ini berarti bahwa tanpa

Nur Muhammad dan Muhammad
SAW

semua makhluk tidak pernah
diciptakan oleh Allah SWT. Inilah
makna awal dan
akhir dari esensi penciptaan melalui
firman “Basmalah” dan “Kun” yang
dinisbahkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai “Yang
Petama Kali”
diciptakan dan yang “Yang Paling
Akhir” dimunculkan, yang “Lahir
sebagai Nabi
Muhammad SAW hamba Allah” dan
“Yang Batin sebagai Nur
Muhammad”
(penyisipan kata sambung “dan”
harus dipahami dengan logika
kuantum yang
tidak terbedakan, Lihat juga QS al-
Hadiiid ayat 3).
Pada tauhid yang kedua, maka
Tauhid-Nya Allah oleh makhluk
adalah suatu
penghambaan mutlak dari semua
makhluk yang eksis setelah
kehendak “
Kun Fa
Yakuun
”. Maka, pentauhidan yang muncul
adalah suatu ketentuan baik yang
berupa penetapan-penetapan,
sunnatullah yang pasti dan tidak
pasti, puja-puji,
dan tasbih semua makhluk dari
maujud yang paling elementer
sampai maujud
yang nyata membangun relativitas
dari yang baru (dari makhluk), dari
nanokosmos ke makrokosmos, dari
‘alam al-mulk
sampai
‘alam
al-jabarut
.
Penegasan tauhid yang terdapat
dalam semua makhluk, karena itu
adalah
penegasan dalam hati, sebagai
suatu hakikat paling elementer dan
halus bahwa
semua makhluk mengada semata-
mata karena curahan rahmat dan
kasih
sayang-Nya semata. Pada tauhid
kedua ini, Abu Bakar As Shiddiq
r.a.
mengatakan bahwa tauhid adalah
perbuatan Ilahi dalam hati
makhluk-Nya. Maka
dikatakan bahwa pentauhidan Allah
SWT oleh makhluk adalah
pentauhidan dari
ciptaan-Nya, atau yang diciptakan-
Nya dengan kehendak firman “
kun fa yakuun
”.
Jadi tauhid kedua adalah tauhid
semua alam semesta (al-Aalamin)
beserta
semua isinya, yang memuja dan
memuji hanya kepada Penciptanya,
juga karena
Dialah Allah yang Maha Memelihara
(QS 1:2), maka tiada Tuhan selain
DiriNya.
Disini semua makhluk harus
menauhidkan Allah SWT dengan
secara total
menafikan eksistensi dirinya sendiri
sebagai maujud, sehingga makhluk
harus
mengatakan “
Tidak ada Tuhan Selain Allah (Laa
ilaaha illaa Allaah)
Tauhid yang ketiga adalah Tauhid
Allah oleh manusia melalui
pengetahuan-Nya
yang dianugerahkan kepada
manusia berupa akal pikiran dan
kehendak bebas
untuk memilah dan memilih.
Pentauhidan Allah SWT oleh
manusia adalah
pentauhidan untuk makhluk yang
menyaksikan pertamakali dan
makhluk yang
disempurnakan sebagai Insan
kamil. Maka, manusia yang
menauhidkan Tuhan
sebagai Yang Esa adalah ia yang
melakukan pencarian atau
dianugerahi
makrifat pengenalan secara
langsung. Pencarian adalah wasiat
Allah yang
ditauhidkannya, maka ia yang
mencari adalah ia yang akan
berjalan dari awal
dan sampai ke awal kembali. Ia
yang mampu memecahkan rahasia
eksistensi
dirinya melalui dirinya sendiri
untuk kemudian mengenal Dia yang
ditauhidkannya. Inilah tauhid yang
identik dengan pengertian “
Man arofa
nafsahu, faqod arofa robbahu
”. Tauhid demikian adalah
tauhidnya hamba Allah
yang mesti menegaskan ketauhidan
Allah SWT melalui profil manusia
yang
paling disempurnakan yaitu Nabi
Muhammad SAW sebagai hamba
Allah dan
Kekasih Allah. Maka tauhid manusia
seperti ini adalah “
Tidak ada Tuhan Selain
Allah, dan Muhammad SAW adalah
Utusan Allah (Laa ilaaha illaa
Allaah,
Muhammadurrasulullah)”
Dan dengan demikian, bagi manusia
dan semua
makhluk-Nya maka tauhid ketiga
adalah tauhid Yang Awal dan juga
tauhid Yang
Akhir (QS 57:3), yang merupakan
rahmat bagi seluruh alam. Tanpa
melalui
penauhidan ketiga ini, maka tauhid
manusia (dan jin) menjadi tidak
sempurna.
Kendati seseorang dapat memulai
dari ketauhidan kedua, yakni
Tauhid Allah
oleh makhluk sebagai makhluk
elementer, namun tauhid kedua
adalah tauhid
bagi makhluk non sintesis yang
berjalan dengan berjalannya sang
waktu sebagai
suatu
qadā
. Maka ia yang tidak memulai dari
tauhid ketiga hanya mendapat
sekedar pengampunan, karena
Tauhid kedua adalah tauhidnya
manusia pertama
yaitu Nabi Adam a.s. Dan
pengampunan, seperti halnya
ampunan yang
dianugerahkan kepada Adam dan
Hawa sebagai suatu hidayah untuk
mereka
dan anak cucunya, tidak lebih dari
awal mula perjalanan makrifat
manusia, yaitu
awal mula dari manusia pertama
menyadari kesadaran diri yang
teosentris
bahwa ada Tuhan Yang Esa.
Rasululllah SAW bersabda :
“Ada seseorang dari generasi
sebelum zaman kamu sekalian yang
sama sekali
tidak pernah beramal baik kecuali
bahwa ia bertauhid saja. Orang itu
berwasiat
kepada keluarganya,’Bila aku mati,
bakarlah aku dan hancurkan diriku,
kemudian taburkan separuh
tubuhku di darat dan separuhnya di
laut pada saat
angin kencang.’ Keluarganya pun
melakukan wasiatnya itu. Kemudian
Allah
SWTberfirman kepada
angin,’Kemarikan apa yang kamu
ambil.’ Tiba-tiba orang
tersebut sudah berada disisi-Nya.
Kemudian Allah SWT bertanya
kepada orang
tersebut,’Apa yang membebanimu
sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia
menjawab,’Karena malu pada-Mu.’
Kemudian Allah SWT
mengampuninya.” (HR Bukhari)
Tauhid ketiga sebenarnya ekor
yang memutar kearah kepala, jadi
tauhid ketiga
yaitu Tauhid Allah oleh manusia
adalah suatu kewajiban bagi semua
manusia
dan jin, suatu lingkaran perjalanan
yang menutup dimana awal dan
akhir
bertemu, yaitu tauhid Allah oleh
Allah dan tauhid Allah oleh
manusia yang
menyambung tanpa kelim (tanpa
kelihatan sambungannya, tetapi
tahu bahwa
disitulah sambungannya, seperti
pita mobius yang memelintir saling
memunggungi),
atau katakanlah suatu sambungan
yang saling memunggungi.
Maka menjadi jelas bahwa dalam
tauhid ketiga, antara manusia yang
menauhidkan dan Allah yang
ditauhidkan saling memunggungi,
dan diantara
keduanya adalah alam semesta
sebagai wadah pembelajaran bagi
makhluk
yang disempurnakan yaitu manusia
sebagai hamba Allah

“Kesejatian Diri” dua kata yang
seringkali membuat orang kurang
paham dengan kata-kata itu, siapa,
mengapa dan bagaimana
sesungguhnya dirinya. Dalam
Proses pencarian siapa diri kita ini
meski terlihat sederhana, ternya
dibutuhkan bermacam perjuangan
dan ujian sampai kita benar-benar
tahu dan mengerti apa dan
bagaimana diri kita sesungguhnya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
terkadang kita dihadapkan pada
sesuatu yang kurang nyaman
menurut kita, oleh karena
keterbatasan kuasa serta
keterbatasan posisi kita, akhirnya
kita menuruti apa yang sebenarnya
ada penolakan pada diri kita.
Mengikuti atau menuruti sesuatu
hal yang bertentangan pada diri
kita adalah suatu ujian yang berat,
karena disini kita akan menjadi
sosok yang bermuka dua.
Dari kejadian diatas, satu bisa kita
tarik hikmahnya dan bisa sbagai
perbendaharaan dalam tahap
mencari Kesejatian diri, bahwa
sebenarnya diri kita tidak seperti
yang kita lakukan tadi. Dari
berbagai macam aktivitas yang ada
penolakan pada diri kita, itulah
yang sesungguhnya dapat
membangun dan menemukan siapa
dan bagaimana diri kita.
Berjalannya waktu, lambat laun
proses pencarian “Kesejatian Diri”
akan kita temukan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar