17 Februari 2014

Mirah Delima

Senja warna kencana ketika
putri jelita itu tiba di
pesanggrahan hamba. Tiga
angsa seputih bunga kamboja
mengiringinya.
Angsa-angsa ini tak mau kutinggal di
puri. Selalu ingin mengikutiku ke
mana pergi,” ucapnya.
Harum cempaka merekah dari
langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah
delima. Angin cemburu tak mampu
mengurai hitam rambutnya. Hamba
terpana pesona di hadapan hamba.
Gerimis merah muda mengurai cuaca
di kesunyian pesanggrahan.
Hamba tuntun sang putri masuk
gubuk. Langkahnya pasti menjejak
lantai tanah. Mulus betisnya
memancarkan cahaya surgawi.
Hamba menenteramkan riak-riak
ombak di hati.
Sang putri duduk anggun di balai-
balai bambu. Dia mengulum
senyum. Seakan hendak menerka
rahasia dari lontar-lontar kusam
masa silam, yang hamba susun rapi
di peti tua berukir bunga padma.
”Lautan dan topan sejatinya
sepasang kekasih yang ingin
menembangkan kidung-kidung dewa
di cangkang-cangkang kerang,”
lirihnya.
Hamba merasa malu pada hati
hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita
matanya. Buru-buru hamba nyalakan
pelita minyak kelapa. Malam telah
membutakan jarak di pesanggrahan.
Remang cahaya pelita menggurat
dua bayang di dinding kayu. Bayang
yang saling termangu merunut
silsilah dan sejarah, yang
mengasingkan kami sejauh tahun-
tahun kepedihan, sepanjang jarak
dua belahan bumi.
”Angin apa kiranya yang
membawamu ke sini, Putri? Hamba
telah asingkan diri dari segala
kenangan meski parasmu masih
membekas di hati. Cahaya apa
menuntun langkahmu, menyusuri
jejak sunyi tak terperi, hingga tiba
di gubuk hamba?”
Mata sekilau purnama menatap
hamba tajam. Menembus remang
ruang, remang jiwa. Bibir seindah
mirah membuka sabda: ”masih
ingatkah kau pada sebilah daun
lontar di mana tertatah syair, yang
kau gurat dari lubuk jiwamu?”
Hamba merasa darah hangat dari
jantung yang berdegup malu,
mengalir perlahan memenuhi wajah
hamba. Sudah lama sekali, belasan
tahun lalu. Ketika usia kami masih
ranum, begitu hijau. Agaknya waktu
telah membekukan syair itu di
sebuah gua rahasia di hatinya.
”Meski bilah lontar itu telah kusam,
tinta hitam dari kemiri dan jelaga
hampir luntur, tapi syair itu tak
henti menitiskan rindu dan mengalir
hangat di nadiku. Kini tiba saatnya
bagiku melunasi karma,” ucap Sang
Putri.
Hamba terpana, menerka-nerka arah
kerumunan kata yang berhamburan
bagai kunang-kunang dari bibir
rekah yang dulu hamba rindui. Di
luar gubuk, angsa-angsa
bercengkerama dengan malam,
dengan halimun. Lengking suaranya
melengkapi hening
”Jangan ragu. Aku tiba di sini
untukmu. Aku akan berkisah. Dan
hanya kau yang kupercayai
menggurat kisah-kisahku ini di
bilah-bilah lontarmu. Karena kau
pujangga istana di mana dulu hatiku
pernah bahagia….”
Hamba terkesiap, jiwa hamba
berdesir, serupa angin subuh
mengelus lembut kulit ari. Sudah
lama sekali hamba tak mampu
menggurat syair. Tiba-tiba hamba
terkenang, saat hamba tinggalkan
istana, diam-diam di tengah sunyi
malam. Demi janji hamba pada
keheningan dan pengembaraan.
Pantai demi pantai hamba susuri.
Gunung demi gunung menjulang
hamba daki. Rimba demi rimba
rahasia hamba jelajahi. Lembah
demi lembah misteri hamba hayati.
Hingga tiba hamba di pesisir timur
ini.
Tak ada yang mengenali hamba.
Kecuali sunyi, kawan sejati
seperjalanan. Bukankah manusia
dilahirkan demi merayakan
kesunyian? Dan ketika tiba saat
kembali, jiwa menyusuri jalan sunyi
yang itu-itu juga….
Suatu waktu angin pegunungan
mengabarkan warta. Putri jelita
sangat bersedih hati tak menemukan
hamba di istana. Dia pun pergi
membawa duka lara menyeberangi
lautan seorang diri, menetap di
negeri asing, demi menemukan
kesejatian.
Hamba memahami kesedihannya.
Hamba terlanjur tergoda kesunyian.
Lebih memilih mengasingkan diri,
ketimbang mendampingi sang putri
melewati hari-harinya di puri.
Hamba merasa tak leluasa berada di
istana, mengabdi pada raja.
Hamba hanya ingin kembali pada
alam dan kaum jelata. Belajar
bertani, memahami nyanyian jengkrik
dan kodok hijau. Berbaur dengan
kuli, petani ladang garam dan
nelayan. Mendengar siul angin di
pucuk-pucuk bambu. Belajar
mengurai makna sabda cicak di
dinding kayu.
”Tak perlu disesali. Waktu begitu
jauh berpacu. Namun wajah dan
hatimu masih seperti dulu. Hanya
beberapa helai uban tumbuh di
sela-sela hitam rambutmu.
Ketahuilah, kau masih selalu
pujanggaku.”
Hamba tak pernah tahu, apa wajah
dan hati bisa tidak berubah. Hanya
waktu yang abadi, dan sekelumit
rasa yang berupaya kekal dalam
fana.
Remang jadi makin nyalang. Cahaya
pelita bergoyang. Mengaburkan
bayang-bayang. Angsa-angsa sesekali
melengking. Halimun melingkupi
pesanggrahan. Dua ekor cicak di
dinding kayu sedari tadi menerka-
nerka arah jiwa kami. Menerawang
sesuatu yang makin sawang.
”Ketahuilah, pujanggaku. Aku bukan
sejatinya putri istana. Aku hanya
anak jadah. Meski ayahku turunan
raja, yang sungguh kasip kuketahui.
Namun tak pernah kutahu rupa
ibuku. Sedari janin aku telah
mencecap getir. Tangis pertamaku
menyayat rahim ibu. Hatinya
memang telah lama luka. Tak diakui,
malu dengan aib sendiri. Aku
dibuangnya begitu saja, seperti
membilas daki di kelamin…,” keluh
Sang Putri.
Hamba tercekat, sungguh
terperanjat. Kata-kata berasa duri
menyumbat kerongkongan. Nyeri
seperti mengalir di sumsum nadi.
Hamba hanya mampu terdiam. Sang
putri tak henti berkeluh kesah.
Kisah miris ini makin meyakinkan
hamba, betapa manusia sejatinya
ditakdirkan mengalami kesunyian
dan kesepian. Hamba merasa
sepasang cicak di dinding kayu
sedari tadi tertawa. Dan, lengking
angsa menggenapi sunyi kami.
Letih dengan jiwa sendiri, sang putri
terlelap di bale-bale bambu, tanpa
kelambu. Di bilah-bilah daun lontar
hamba mulai menggurat syair. Di
remang cahaya pelita, terbayang
wajah sang putri, sedang mengutuki
dirinya….

Batu sambak 18 februari

Penulis

Cmst.bts.monta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar