BATU SAMBAK 1992.
Hujan pertama akhirnya jatuh juga.
Selepas musim kemarau yang
terlampau panjang, hujan pertama
selalu disambut di kampung kami
dengan pesta.
Amak kaye terlihat melintas di jalan
desa menggiring dua ekor sapi
kurusnya. Ketiganya berjalan gontai,
tak terlihat tergesa, dipeluk petir
dan hujan. Gambar mereka melamat
ketika menjauh. Hujan dan petir
dengan akrab mengantar mereka
hingga lenyap diterkam belokan.
Sejak masih gerimis, Reni, istriku,
sudah membopong gentong-gentong
air dari dapur, dengan sigap
membawanya keluar. Reni berpesta
dengan caranya sendiri. Pada tiap
hujan pertama, ia selalu
membersihkan gentong-gentong air
kami yang kerontang selama
kemarau, sambil membiarkan dirinya
sendiri berlama-lama dicumbu
hujan. Lekuk tubuhnya segera
terbentuk oleh baju dasternya yang
basah, membuatku tiba-tiba
menginginkan malam segera datang.
Aku sendiri, pada setiap hujan
pertama seperti ini tak pernah lepas
dari ritual pesta yang itu-itu juga.
Duduk mencangkung di depan
jendela depan. Membuka hidung
lebar-lebar membaui tanah
pelataran yang terperawani tetes
demi tetes air hujan pembukaan.
Menghanyutkan diri dalam aroma
legit bau tanah tersiram air. Ah,
sembilan bulan sudah kurindukan
bau ini.
Datangnya musim penghujan
membikin kampung kami siuman dari
mati suri panjang. Sejak sungai
Gombleng ditambang batunya,
digali pasirnya, dan akhirnya mati,
sawah-sawah di kampung kami
kehilangan tempat menyusu di
musim kering. Semua sawah menjadi
tadah hujan saja.
Maka kemarau adalah bencana.
Berita duka yang tak sudi kami
dengar, tapi selalu saja tiba. Di
setiap kemarau sawah-sawah
mengering, merekah, retak terbelah-
belah. Ketika kemarau berlarut-larut
tak berujung, kampung kami
kehilangan akal dan akhirnya hanya
berpaling pada sebaris harapan:
Semoga hujan bergegas datang dan
membunuh kemarau laknat itu
segera.
Bagi guru sepertiku, musim
penghujan sebetulnya tak punya
terlalu banyak arti. Bahkan, selalu
saja ia menghadiahiku kerepotan-
kerepotan baru. Setiap hari, pergi
dari rumah ke SD Inpres di seberang
Bangket itu, aku mesti menggulung
celana panjangku tinggi-tinggi, tak
membiarkan lidah air berlumpur
menjilat celanaku. Celana layak
satu-satunya.
Kedua tanganku pun dibuat sibuk.
Tangan kanan menjinjing tas.
Tangan kiri, yang terbiasa
menganggur, punya pekerjaan baru:
menjinjing sandal. Aku bak pemain
sirkus, mesti menjaga keseimbangan
di sepanjang pematang, bersiasat
untuk tak tergelincir tercebur ke
sawah berair berlumpur-lumpur.
Kerepotanku tak usai di situ.
Sebelum ke kelas atau ruang guru,
aku tentu saja mesti ke parit di
belakang gedung sekolah itu.
Mencuci kaki. Menurunkan gulungan
celana. Lalu menyematkan sandal ke
kedua kakiku yang kuyup. Betapa
merepotkannya jika aku bersepatu.
Ketika sol sepatuku, sepatu
terakhirku, jebol di tengah kemarau
tahun lalu, aku sempat meratapinya.
Tapi, ketika musim penghujan
seperti ini datang, segera kutahu
bahwa barang mewah semacam itu
kadang kala tak punya guna. Di
pasar kecamatan, sepatu termurah
saja harganya 20 ribu!
Bersepatu pergi pulang mengajar di
musim penghujan seperti ini hanya
membikin-bikin kerepotan yang tak
perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan
penyiksaan diri.
Tentu cerita bisa berbeda jika saja
ada sepeda. Pematang penuh
jebakan lumpur itu bisa kuhindari
dengan sedikit memutar menyusuri
jalan desa. Tapi sejak kutahu bahwa
sepeda bekas yang butut saja
harganya lima puluh ribu perak, aku
berhenti memikirkannya.
Untungnya, kepala sekolah tak
mengharuskan guru honorer, guru
bantu sepertiku bersepatu. Aku pun
bisa mengajak sandal lili-ku bertemu
47 murid kelas enam yang
bertumpuk di kelas paling ujung kiri
itu. Setiap hari.
Mereka benar-benar
bertumpuk di ruang kelas darurat
yang sempit itu.
Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah
celah menuju kebahagiaan.
Memasukinya membuatku bertemu
mata-mata yang haus dan berharap,
tetapi juga kuyu dihantam
kemiskinan. Aku selalu bahagia
setiap kali kekuyuan itu lenyap
sesaat tertelan kegembiraan
menemukan hal-hal baru dari
pelajaran kelas. Dari hari ke hari.
Dari pukul 07.15 pagi hingga zuhur
lepas pergi dan asar hampir
menjemput.
Selalu saja terbit rasa senang
melihat mata-mata itu menjadi
sedikit berkilat setiap kali kukatakan,
“Negara kita Indonesia, besok akan
menjadi lebih baik jika kita warganya
bisa memelihara nurani kita. Begitu
juga Mt.tangi, desa kita.”
Kadang-kadang anak-anak itu
merepotkanku dengan pertanyaan
mereka. Mereka kudorong agar tak
berpuas diri sekadar lulus SD dan
lanjut bersekolah ke SMP di kota
kecamatan. Kebot, salah seorang
yang terpandai pun bertanya,
mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk
apa melanjutkan sekolah dan
meninggalkan sawah-sawah kami?
Bukankah sekolah tinggi hanya akan
membikin kami membenci sawah
tapi juga tak menyediakan pekerjaan
lain, lalu membikin kita hanya bisa
luntang-lantung menyusahkan
orangtua seperti anak-anak kepala
dusun itu?”
Maka aku pun menjawabnya.
“Bersekolah bukanlah untuk mencari
pekerjaan, apalagi membenci sawah.
Kita bisa bersekolah tinggi sambil
tetap mencintai kampung kita,
sawah-sawah kita. Bersekolah itu
untuk membuat kita tak jadi orang-
orang yang tak mengerti keindahan
walaupun memiliki mata, tak
mendengarkan kebaikan walaupun
memiliki telinga, tak membela
kebenaran walaupun memiliki hati,
tak pernah terharu dan tak
bersemangat.”
“Pak Mahirudin, bisa ke kantor saya
sebentar?” Suara Pak Maksum, kepala
sekolah, tiba-tiba menyeruput
telingaku dari arah punggung.
“Ada undangan penting dari
kabupaten,” katanya lagi, sebelum
sempat kukeluarkan sepatah kata
pun.
“O ya…” Aku membuntutinya.
“Ini undangan untuk Pak Maher.
Semua guru honorer sekecamatan
dikumpulkan bertemu Bupati minggu
depan.”
Aku segera membukanya. Beberapa
kata segera berpindah dari kertas itu
ke kepalaku. Minggu. 15 November.
Siang. Aula Kecamatan. Bupati.
Realisasi Perbaikan Nasib Guru
Wiyata Bakti.
Hari Minggu ini sebenarnya sama
saja seperti hari-hari Minggu
lainnya. Ia terasa berbeda hanya
lantaran inilah hari Minggu pertama
di musim penghujan. Kampung kami
menjadi lebih sibuk. Hampir semua
rumah memboyong seluruh isinya ke
sawah, memulai upacara hidup yang
itu-itu juga. Bercocok tanam.
Mengutang pupuk ke koperasi desa.
Memimpikan panen, padahal sawah
baru saja mulai digarap. Menghitung
kerugian yang pasti datang karena
ongkos bersawah selalu saja lebih
tinggi dari harga jual padi.
Menyisakan hasil panen untuk
bertahan hidup ala kadarnya selama
kemarau yang belum-belum sudah
mengintip mengendap hendak
kembali.
Siang ini aku harus ke kecamatan,
berjalan kaki tiga kilo ke arah barat
daya. Sedari pagi buta, ketika
matahari masih terbungkus kabut,
pasti sudah banyak orang
mengepung kantor kecamatan, untuk
melihat wajah Pak Bupati yang
katanya masih muda dan rajin
membagi senyum itu.
“Pak, jangan lupa mampir ke rumah
Saik Mumun,” Reni mengingatkanku
ketika setengah badanku sudah
tertelan pintu, hendak pergi.
“Ya.”
Sepulang dari kecamatan, aku
memang harus mampir ke pabrik
tempe istri almarhum pamanku itu.
Menjemput kulit kacang kedelai. Reni biasa mencampurnya dengan
terigu, bawang putih, garam dan
sedikit merica, lalu menyulapnya
menjadi makanan penganan bahkan
kadang-kadang lauk-pauk utama.
Dan kami menyukainya. Apalagi jika
tersedia juga cobek favorit kami.
Cobek bohong. Penampilannya
memang seperti cobek, tapi
sebetulnya bukan juga. Ia hanya
kuah belaka, tanpa Beberok atau ikan
Pindang, atau apa pun. Di sana hanya
ada cabe merah yang panjang
menjuntai-juntai mengundang
gigitan. Orang- orang di kampung
kami pun menyebutnya cobek
bohong. Menu semacam itu adalah
kemewahan besar di rumah kami,
apalagi di masa-masa darurat.
Tapi hidup kami selalu saja darurat.
Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada
pekerjaan menjemputku. Semestinya
aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap
tahun, selalu saja kemestian itu
terganjal ujian penerimaan guru.
Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya
soal ujian yang sebenarnya menjadi
masalahku, tapi selalu saja aku tak
mampu menyediakan amplop,
dengan isi mesti di atas satu juta
rupiah, untuk Kepala Kantor
Departemen. Kalau saja amplop itu
tersedia, Pak Kakandep tentu akan
segera mengurus kelulusanku. Tapi,
dari mana kudapat uang sebanyak
itu? Melihatnya saja aku tak pernah.
Untungnya, tenagaku masih terpakai
di kampung. Membantu saik Mumun
di pabrik tempe. Membantu panen
Tuak Sukur dan tetangga-tetangga
dekat lainnya. Membantu menjagal
sapi menjelang Hari Raya Kurban.
Membantu mencukur rumput
kuburan desa setiap menjelang
bulan puasa. Mengambil air dari
sumur tua yang tak pernah kering di
balik bukit untuk kepala dusun, tiap
kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat
dan membetulkan pagar masjid
menjelang lebaran.
Tenagaku tak selalu dihargai dengan
uang. Kadang-kadang diganjar hasil
cocok-tanam, padi, atau makanan.
Tapi semuanya terasa sangat
membantu. Adapun satu-satunya
sumber penghasilan tetapku adalah
honor sebagai guru wiyata bakti itu,
guru honorer, guru bantu, sebesar
75 ribu setiap bulan.
Uang itu jauh dari cukup dan selalu
habis untuk melunasi utang-utang
belanja dapur kami ke warung Mamik mus di pertigaan jalan desa itu.
Untungnya, jodohku adalah Reni
yang tak pernah menuntut. Sejak
kunikahi empat tahun lalu, tak
sekalipun Reni mengeluhkan
keadaan kami. Di tengah kesusahan
yang terus menguntit kami, Reni
selalu melayaniku dengan baik.
Siang dan malam hari.
Reni-lah yang justru mengajariku
untuk selalu bersyukur atas apa pun
yang kami peroleh. Mengajari tetap
bersyukur sekalipun sampai saat ini
kami belum juga beroleh momongan.
Kami tak pernah membebani Tuhan
dengan macam-macam tuntutan.
Cukup sajalah kami tahu bahwa
Tuhan tak pernah tidur.
Pertemuan di aula kecamatan hari
ini sebetulnya bukan yang pertama.
Dua tahun lalu, semua guru honorer
juga pernah dikumpulkan. Di aula
sama. Hanya saja, waktu itu kami tak
seberuntung sekarang. Dulu, yang
yang datang bukan Bupati tetapi
Kakandep dari kabupaten.
Selepas pertemuan itu, rasa
syukurku bertambah-tambah.
Sejumlah guru honorer tampaknya
memang lebih beruntung dariku.
Mereka bisa menambah penghasilan
dengan menarik ojek di pasar
kecamatan. Ada juga yang membuka
warung tambal ban. Tapi
jauh lebih banyak yang bernasib
lebih buruk.
Pak Kosim dari desa di
ujung utara itu hanya digaji 25 ribu
per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku,
tak punya gaji sama sekali. Ia hanya
bisa menunggu hadiah hasil panen
dari wali murid di kelasnya. Padahal,
panen sering diganggu hama. Pak
Komarudin, yang ternyata hanya
terpisah tiga kampung denganku,
digaji 25 ribu ditambah uang BP3
sebesar 1.500 rupiah dari murid-
murid di kelasnya. Muridnya hanya
ada 12 orang. Miskin semua. Mereka
lebih sering menunggak ketimbang
melunasinya.
Di pertemuan dua tahun lalu itu
pula kukenal Pak Asep Saepudin
yang kepandaian bicaranya
mengingatkanku pada Kiai Ishak,
khatib masjid kecamatan. Ia guru di
kota kecamatan. Pendiri dan
pemimpin Lembaga Swadaya
Masyarakat Peduli Anak Bangsa
(LSMPAB) yang katanya berusaha
mengurusi nasib guru-guru bantu
seperti kami. Dari Pak Asep pula aku
tahu betapa pemerintah memang
kekurangan guru SD dan
membutuhkan kami. Propinsi kami
saja, katanya, kekurangan 33.768
guru SD. Sebanyak 17.877 di
antaranya adalah guru kelas. Maka,
lagi-lagi menurut Pak Asep, jika
guru-guru honorer di seluruh Lombok Timur berhenti, hampir 18 ribu kelas
akan telantar.
“Kami para guru honorer bukanlah
orang-orang yang disumbang
pemerintah. Kamilah yang
membantu pemerintah
menyelenggarakan pendidikan di
tingkat dasar. Kalau tak ada kami,
pemerintah kerepotan. Jadi, bukan
kami yang harus berterima kasih,
tetapi pemerintahlah yang
semestinya berterima kasih dan
memperbaiki nasib kami,” begitulah
antara lain yang dikatakan Pak Asep
di pertemuan itu. Hadirin bersorak
bertepuk tangan. Wajah Pak
Kakandep kulihat memerah delima.
Boleh jadi, suara Pak Asep sampai
juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya
hari ini Pak Bupati datang dan akan
mengurus “Perbaikan Nasib Guru
Wiyata Bakti.” Seperti tertulis di
undangan.
Benar saja. Kantor kecamatan seperti
gula dikepung semut. Halaman
luarnya disesaki orang-orang. Mereka
benar-benar ingin melihat wajah Pak
Bupati yang murah senyum itu
rupanya.
Setelah kulipat-lipat badan,
menyelusup di tengah orang-orang
yang berkerumun, bertukar keringat
dengan mereka, akhirnya sampai
juga aku di depan aula itu.
Kuacungkan kertas undangan
memberi tahu bahwa aku guru
honorer yang memang berhak masuk
aula.
“Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang
yang berseragam coklat muda tiba-
tiba setengah menghardikku sambil
menunjuk-nunjuk ke arah sandal
dan kakiku, membuatku bingung tak
mengerti.
“Mari. Saudara harus duduk di ruang
terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi
Bapak-Bapak di kantor kabupaten.
Yang masuk aula harus pakai
sepatu. Untuk menghormati Pak
Bupati!”
Aku mulai mengerti. Semacam
amarah beranak-pinak di dadaku.
Tak boleh masuk aula hanya karena
tak bersepatu? Apa yang salah
dengan sandal lili yang baru kucuci
tadi pagi ini? Sepatu? Menghormati
Bupati?
Tapi mata tak bersahabat orang-
orang berseragam coklat muda itu
dengan cepat menggugurkan anak-
pinak kemarahanku. Aku pun
membuntuti mereka. Masuk ke ruang
di sebelah aula. Di sana sudah ada
beberapa puluh orang lainnya.
Semuanya tak bersepatu. Moncong
pengeras suara mengintip dari
jendela, memelototi kami. Aku tak
sendiri. Kutemukan juga beberapa
wajah tak senang. Menahan marah.
Duh Reni…. Maafkan aku. Dari sini,
aku tak bisa melihat wajah Pak
Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku
untuk sepulang nanti bercerita
apakah benar Pak Bupati muda itu
memang selalu tersenyum.
“Syukurlah pak. Syukur.”
Hanya itu yang keluar dari mulut
kecil Reni ketika kuceritakan apa
yang kudengar dari Pak Bupati di
pertemuan itu. Pak Bupati berjanji
memperbaiki nasib guru-guru
honorer di kecamatan kami yang
ternyata jumlahnya makin banyak.
Ratusan. Pak Bupati akan segera
melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai
kemampuan kabupaten. Untuk
memperbaiki kesejahteraan guru-
guru honorer. Dimulai dari yang
penting.
Hampir setiap hari kampung kami
diguyur hujan. Pematang sawah
menuju sekolah itu pun makin
menuntut keterampilan-keterampilan
sirkusku. Sudah kubatalkan pula
rencana memperbaiki sepatu jebolku
ke pasar kecamatan. Sepasang
sepatu, barang mewah yang tak
berguna dan merepotkan itu, kini
tercampak bersama timbunan
sampah di kebun belakang. Tali
keduanya saling terikat. Teronggok.
Seperti sepasang anak kembar yang
mati bunuh diri.
Dua minggu sudah pertemuan
dengan Pak Bupati itu lewat. Hari
ini, langit di atas kampung kami
bolong. Air pun jatuh tercurah
deras. Petir dan angin besar
mengecewakan anak-anak tuak
Sukur. Rengekan mereka untuk
bermain bersama hujan, bertepuk
sebelah tangan. Kulihat mereka
duduk-duduk di beranda,
memandangi hujan dengan penuh
hasrat.
Satu sosok muncul dari belokan
jalan desa. Setengah berlari.
Setangkai daun pisang memayungi
kepalanya-kurasa, dengan percuma.
Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin
seperti mendorong-dorongnya untuk
bergegas. Badan kuyupnya
dibungkukkan, sepertinya
melindungi sesuatu di dadanya.
Sosok itu mendekat. Ia tak
menyusuri jalan desa yang menikung
ke kiri. Tapi ke rumahku. Persis ke
arahku.
Ternyata Amak mahnan, penjaga SD
Inpresku.
“Silakan masuk Amak kake. Aduh. Hujan
besar begini kok memaksakan diri
datang ke sini.”
“Saya diminta Pak Mahsum
mengantar kiriman untuk Pak Maher.
Katanya penting. Dari Pak Bupati.
Ada juga suratnya.”
Kubiarkan Amak mahnan berdiri di
pintu. Badannya kuyup. Seperti
kerupuk tercelup kuah sayur.
Kuambil kardus itu. Kubuka
suratnya. Benar. Dari Pak Bupati.
Pendek saja. Dari kertas, kata-kata
berat itu berpindah ke kepalaku.
Wujud kepedulian pemerintah.
Usaha nyata membantu harkat guru
honorer. Menaikkan citra, wibawa,
dan martabat Guru Wiyata Bakti.
Untuk masa depan dunia pendidikan
yang lebih baik.
Maka, kubuka kardus itu. Isinya:
sepasang sepatu.
End..
Penulis.
maher.Cmst.bts.monta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar