14 Februari 2014

Jerit Luka Tanah Rantau (cerpen)

Dari mt.tangi 2014
Sahabatku Ramli

Siapa pun boleh menari, untukmu
Nenek kaji. Tapi tak seorang pun boleh
menceritakan gerimis-Mu yang
menghanyutkan kisah-kisah orang-
orang yang teraniaya di penjara-
penjara penuh kalajengking dan
lipan itu. Maka, dengarkanlah
ceritaku, Nenek kaji. Dengarkanlah
lengking mataku yang kehabisan
sungai dan embun sejuk itu.

Ayat-ayat Sunyi Ramli

Mengapa masih kau cari Masmirah di
ujung rambutmu, Ramli? Bukankah
teriakan Saher dalam lagu-
lagu pedih itu tak juga bisa
menghentikan kereta perang yang
melesat ke ujung malam dan pekat
darahmu? Bayangkan saja Masmirah
telah mati, sehingga kau tak perlu
lagi menari di pantai, memedihkan
mata dengan getir pasir, mencari
surga yang tak pernah diciptakan di
telapak kaki, dan membaca sutra-
ayat-ayat suci yang perih itu-dengan
telinga yang disumbat derita.
Memang biola Cilokaq telah
menidurkan Kuala Lumpur. Namun
Masmirah tak bisa bermimpi tentang
Sungai Buloh tanpa penjara, tanpa
cambukan. Masmirah akan selalu
menghapus jejak cinta dan menatah
candi penuh tumbal dan
kesengsaraan. Karena itu, dengarlah
lengking seruling Kembang malam
yang mengembuskan tangis indah
Buak ate. Bersekutulah dengan
tarianmu sendiri, karena Masmirah
telah mati dan Babadsasak tak
melahirkan pahlawan lagi.
“Tapi Tuhan tak pernah mati!”
katamu tersedu-sedu.
Ya, tapi keretanya telah remuk. Ia
tak bisa mengamuk. Tak bisa
mengutuk.
“Aku hanya ingin mencari jejak-Nya.”
Ia tak lagi punya jejak. Jika tak
percaya, bertanyalah pada Guru
Sombe tentang kaki-kaki
yang dipatahkan, kepala yang
dilindas truk, dan malam yang
kehilangan rembulan.
“Kalau begitu aku akan
mendengarkan tangis-Nya.”
Ia tak bisa lagi menangis.
Tokeujad telah menyalib tubuh
Masmirah di tengah kota. Dengan
petikan sitar gaib, dia telah
menusukkan segala kepedihan
orang-orang miskin ke lambung
Masmirah yang senantiasa menganga.
“O, darah yang terus mengucur, di
mana dikuburkan mata kebenaran?”
Tak di mana-mana, Ramli. Tak di
mana-mana.
“Tak di mata yang menyimpan
surga.”
Tak di mata yang menciptakan surga.
Maka, mengapa masih kauburu
Masmirah sampai di ujung matamu,
Ramli?

Kopi Terakhir Lukman

“Ini mungkin kopi terakhir sebelum
cambuk dan nyamuk membunuhku.
Ini mungkin senja terakhir setelah
mereka merubuhkan bedeng dan
menghancurkan keberanianku.’’
Dan kopi atau topi-mungkin dengan
sebatang rokok-bisa menerbangkan
Lukman ke surga, ke jalanan becek
bertabur roti, ke got becek untuk
mandi, ke gaji yang terhapus dari
catatan yang terbuang di selokan.
“Aku hanya minta segelas air dan
seembus kemungkinan untuk hidup.
Aku hanya berharap mereka
mengerti kami juga bisa jadi
gelombang yang merubuhkan
jembatan dan kondominium.”
Kamu cuma budak haram, Lukman.
“Ya, aku memang cuma budak
haram. Tapi bayangan tubuhku pun
tak layak dipenjara hanya karena
pasporku hanyut di sungai. Hanya
karena pasar tak bisa memajang
bekas cambukan pantat di etalase-
etalase toko, di keriuhan stasiun
kereta pukul delapan. Hanya…”
Maka, pulanglah ke negeri ibumu,
Lukman. Negeri Ludruk sarat tawa
semalaman. Negeri Klewang penuh
darah dan pertikaian. Negeri Ilusi
tak sepi duri dan impian.
“Ya, aku akan pulang. Aku bilang
pada Kembangate di desaku
sungai menjalar seperti ular. Tapi
tunggu dulu! Jevander Sing-tauke
Keling itu-masih berutang padaku.
Ringgitku masih disimpan di laci
busuk para juragan.”
Ya, tetapi segera pulanglah. Nanti
kamu dipenjara. Nanti kamu
didenda. Nanti kamu dicambuk
algojo dan para tuan.
“Mereka tak akan berani mencambuk
aku dan 800.000 budak haram.”
Mereka akan berani dan tak peduli
kau anak setan atau malaikat Tuhan.
“Mereka tak punya algojo. Mereka
hanya punya ringgit dan telepon
genggam. Mereka hanya berani
menggertak orang-orang miskin yang
cuma bisa tidur di bedeng-bedeng
penuh lipan.”
Tentu kau boleh punya keberanian
seperti Hang Tuah, Lukman. Tapi di
negeri ini kau hanya semut di
lubang yang gelap. Kau hanya cacing
yang banyak cakap dan tak tahu
undang-undang. Ayolah, Lukman,
segeralah pulang.
“Pulang? Ke mana harus pulang
kalau utang masih segudang?”
Pulang ke rumah ibumu, Sayang.
“Ibu? Ibuku telah mati. Kalaupun
masih hidup, ia akan mencekikku
karena pulang tak membawa
keranjang penuh gobang.”
Kalau begitu pulanglah ke matamu
sendiri, Sayang.
“Ke gua gelap itu?”
Ya, ke sungai keruh itu?
“Ke harapan yang menghilang pelan-
pelan?”
Ya, ke kopi terakhirmu. Ke puntung-
puntung rokok yang tak habis-habis
kauisap itu.
“Setelah itu…”
Setelah itu Tuhan akan memejamkan
matamu, menguburmu dengan
bunga mimpi. Menguburmu dalam
haribaan ibumu yang senantiasa
memaknaimu sebagai nabi sejati.
“Kalau begitu aku tak mau pulang.”
Kau tak takut pada cambuk itu?
“Aku tak takut pada maut itu. Aku
tak takut pada kabut yang
menghalang pandanganku pada
hidup yang carut-marut itu.”
Begitulah Cara Waktu Mengaduh,

Dende
Begitulah cara Waktu
menyembunyikan kilau mata yang
bisa membakar masjid-masjid di
Kuala Lumpur sekadar menjadi abu
sekadar menjadi ngilu, Dende.
Karena itu, ia menyelimuti tubuhmu
dengan dedahan asam di Rimbun
Dahan. Ia biarkan kau menari di
taman penuh Sedap Malam. Ia
biarkan kau mengguratkan kata-kata
getir di hening anyelir.
“Aku tak mengerti mengapa mereka
begitu membenci tubuh perempuan?
Aku tak mengerti mengapa para
perempuan hanya disembunyikan di
almari atau dipingit di dapur atau
halaman belakang? Mengapa
keindahan harus disembunyikan?”
katamu sambil mengajakku
memahami bahasa hujan dan
menyingkirkan cambukan petir dari
rambut yang kian menguban.
Tentu keindahan tak harus
disembunyikan, Dende. Kau tentu
bisa telanjang di tengah hutan,
telentang sambil membentangkan
sepasang tangan dalam kegaiban
hujan, dan mendesahkan doa-doa
paling kasmaran. Kau tentu bisa
menjelma ikan, menyelam di hijau
danau sambil mendesiskan gumam-
gumam paling urakan. Tapi tidak di
jalan-jalan penuh kosmetik, Dende.
Tidak di jalan-jalan.
“Tidak di keriuhan?”
Ya. Tidak di benak orang-orang yang
menganggap seribu masjid bisa
menerbangkan jiwamu ke surga
idaman. Tidak di benak orang-orang
yang menganggap tak ada surga bagi
perempuan yang suka menari dan
mendendangkan segala tembang di
jalan-jalan.
“Aku harus menari di dasar kolam?”
Tentu tidak, Dende. Kau tahu bukan
Reza, Pangeran Kelelawar itu,
lebih ingin menatapmu menarikan
berahi malam di pucuk gunung.
“Apakah aku harus ngelindur di
ranjang setan?” Tentu tidak, Dende.
Kau tahu bukan Guru lauk, Tuan
Kaye itu, tak suka melihatmu
tidur sambil menenggak anggur.
“Apakah aku harus cuma meniti sepi
mencari bayang-bayang matahari
yang tak mati-mati?” Tentu tidak,
Dende. Kau tahu bukan  Tkw busuk
telah pergi dan kita hanya
menangkap jejak tanpa bunyi.
“Kalau begitu kota ini sungguh
sialan.” Ya, kota ini memang sialan.
Ia bukan cermin yang memantulkan
tarian belantaramu yang penuh siul
murai. Ia bukan langit yang
menumpahkan hujan cintamu yang
penuh salju dan hutan gaib itu.
“Jadi mengapa aku tak pergi saja
dari kota munafik ini?” Kau tak akan
pernah bisa pergi karena kau tak
pernah pulang, Dende. Kau telah
menyerupai Waktu yang melampau
di batu-batu. Kau telah menyerupai
batu yang melesat ke bianglala esok
yang kabur dan berdebu.
Maka begitulah cara Waktu
mengaduh, Dende. Ia menangis
dalam gerimis. Ia ngelindur di Kuala
Lumpur yang abai pada tubuhmu
yang berlumur anggur. Tetapi, aku
tahu, Dende. Kau tak akan akan
peduli amuk waktu atau apa pun
yang hendak memelukmu di senja
yang getir itu. Kau akan terus
menari dan mengguratkan api ke
ujung api, ke ujung mati.
Bukan di Daha, Mangkubumi, Bukan di
Daha
Bukan di Dahakeling, Prabu. Tetapi
mereka hendak dibunuh juga.
Bukan di padang pembantaian,
Daha. Tetapi mereka hendak dijagal
juga.
“Jangan lari. Kami polisi!” mereka
menyalak seperti Rahwana, Keling,
mereka melenguh seperti kerbau
api.
“Namaku Gerhana, 37 tahun, aku
hanya ingin menegakkan sepasang
kaki, aku hanya ingin mereguk
gelegak cinta pada ilusi kendi. Aku
hanya…” Dor!
“Namaku Sabit, 23 tahun,
aku hanya ingin tidur dan menjaring
mimpi, aku hanya ingin bersembunyi
setelah tak bisa kembali ke rumah
sendiri. Aku hanya…” Dor!
“Namaku Zulfakar, 25 tahun, aku
hanya membawa tikar menuju
belukar. Aku tinggalkan bedeng
karena takut pada razia yang
mengerikan. Aku hanya…” Dor!
“Namaku Yusuf. Aku…” Dor!
Lalu kau pun tahu, Kawan, hospital
menolak menyembuhkan luka dan
sakit hati. Tak ada obat. Tak ada
kiblat untuk cari selamat dan harga
diri.
“Halo, kami polisi dan kalian cuma
maling yang tak tahu diri.”
Danau Gaduh Harum Kasturi
Telah kauciptakan hutan dan danau
gaduh untuk Cmst, ya Kasturi. Lalu
kaulepaskan angsa, buaya, musang,
tikus, ular, dan kisah sepasang nabi
yang tak henti-henti
mempercakapkan mimpi, kuldi, dan
keheningan setelah Selangor
memolek diri dalam ilusi.
“Aku mencintai Hang Tuah,
Soekarno, dan pagi yang selalu
meneriakkan revolusi,” katamu
sambil menawariku mencecap kopi
dan kue cina serupa roti komuni.
“Dan aku sedang tersesat di
rumahmu yang indah sambil sesekali
mencari pekerja-pekerja Indonesia
yang tersakiti. Sayang, revolusi telah
patah, Soekarno kehilangan tuah,
dan kita belum menemukan korek
api untuk menyalakan lilin ulang
tahun Cmst,” kataku sambil
membaca wajah pengantin
Australiamu yang gaib dan sarat
tanda itu.
“Aku tak pernah menyakiti apa pun
yang kauandaikan sebagai budak.
Sebab di hadapan Sang Waktu, kita
adalah budak yang tak punya malu.
Oke, kita juga tak punya korek api
dan Cmst tetap saja mengaku
bahagia.”
“Ah, kau keliru, Ren, dia tampak
bahagia karena memang tak punya
kesempatan untuk menangis.”
“Ya, kalau dia menangis, danau akan
gaduh, burung-burung terbang ke
langit entah, dan kita akan
kesepian.’’
“Kita kesepian karena kita tak hadir
di taman ini sebagai sepasang nabi
atas sepasang ikan tanpa sirip. Kita
kesepian karena kita cuma hidup
seperti kodok,” kataku mengolok-olok,
“kita cuma eng-krok, eng-krok, krok,
krok, krok.”
“Aha! Aku suka metaforamu, kita
memang kodok. Melompat dari waktu
batu ke waktu yang terpeleset ke
liang luka kau dan lukaku. Ya, kita
memang bahagia, tua, dan selalu
mereguk tuah cinta dari gelas
kencana,” tiba-tiba Cmst menyela.
“Jadi, kenapa harus bersedih?”
Ren bertanya.
“Aku sedih karena tak punya taman
dan sepasang nabi bersayap cinta.
Aku sedih karena aku cuma musafir
kikir yang kehilangan rasa getir. Jadi,
bagaimana mungkin aku bisa
bahagia?’’
Lalu bayangan menyerupai sepasang
nabi mendadak menggaduhkan
danau dengan mengepakkan sirip
yang menyala. “Lihat Ren, itu aku
dan engkau. Bukan kisah maya
sepasang nabi yang diciptakan
secara serampangan dan tergesa-
gesa.”
Aneh, aku pun tersihir menatap
Ren-Cmst, suami-istri yang kian
merenta itu. Mereka sungguh
seperti sepasang ikan yang mahir
menceritakan kisah sepasang nabi
yang tak pernah diasingkan dari
surga. Mungkin mereka memang
malaikat yang menjelma sebagai
sepasang kekasih yang tak pernah
bersedih meski gerimis kian
mendera.
Hikayat lambah
Kita masih bercinta di hotel penuh
vampir ketika kapal-kapal di Karang
Unarang saling menggertak dan
melepaskan amarah agung, Cintaku.
Ciuman memang bikin mata
kehilangan mata. Karena itu, liurmu
lebih ingin kurampok ketimbang
kugenggam lautmu di sela-sela
jemari yang bocor. Apakah kau ingin
mendesiskan juga desah-desah
sampah sebelum kapal-kapal itu
saling membakar diri, Kekasihku.
Apakah kau ingin kita juga bercinta
dengan liar di mercusuar itu?
Nenek kaji, semua ternyata hanya lumpur.
Lumpur-Mu. Dan Kau tahu, mataku
yang lamur tak bisa menceritakan
kisah sedih yang membius-Mu itu.

End

Penulis

Cmst.bts.monta

Teruntuk semua kawanku pahalawan konon di negeri rantau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar