LOMBOK 2017
Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak
pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. menikah karena
paksaan orangtua, membuatku
membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak
pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari
aku melayaninya sebagaimana tugas
istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali
muncul keinginan meninggalkannya
tapi aku tak punya kemampuan
finansial dan dukungan siapapun.
Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri
yang teramat manja. Kulakukan
segala hal sesuka hatiku. Suamiku
juga memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung padanya
karena aku menganggap hal itu
sudah seharusnya setelah apa yang
ia lakukan padaku. Aku telah
menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku
bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak
ada seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan
suamiku. Aku tak suka handuknya
yang basah yang diletakkan di
tempat tidur, aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk
susu di atas meja dan meninggalkan
bekas lengket, aku benci ketika ia
memakai komputerku meskipun
hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia
menggantung bajunya di kapstock
bajuku, aku juga marah kalau ia
memakai pasta gigi tanpa
memencetnya dengan rapi, aku
marah kalau ia menghubungiku
hingga berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang dengan
teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak
punya anak. Meskipun tidak bekerja,
tapi aku tak mau mengurus anak.
Awalnya dia mendukung dan akupun
ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya
begitu dalam sampai suatu hari aku
lupa minum pil KB dan meskipun ia
tahu ia membiarkannya. Akupun
hamil dan baru menyadarinya
setelah lebih dari empat bulan,
dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar
padanya. Kemarahan semakin
bertambah ketika aku mengandung
sepasang anak kembar dan harus
mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam
akan meninggalkannya bersama
kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak
terasa berulang tahun yang ke-
delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling
akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti
biasa, dialah yang menyediakan
sarapan pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku
hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, karena merasa terjebak
dengan perkawinanku, aku juga
membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya
suamiku mencium pipiku saja dan
diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia
juga memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan
melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama
anak-anak. Ia kembali mencium
hingga beberapa kali di depan
pintu, seakan-akan berat untuk
pergi.
Ketika mereka pergi, akupun
memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon
adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa jam
kemudian. Di salon aku bertemu
salah satu temanku sekaligus orang
yang tidak kusukai. Kami mengobrol
dengan asyik termasuk saling
memamerkan kegiatan kami. Tiba
waktunya aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa
terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di
rumah. Meskipun merogoh tasku
hingga bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku
dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Alden
meminta uang jajan dan aku tak
punya uang kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya
kembali ke tasmu, kalau tidak salah
aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan
lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon
tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, handphoneku
kembali berbunyi dan meski masih
kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak.
“Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku
akan ambil dompet dan
mengantarnya padamu. Sayang
sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup
telepon kembali. Aku menyebut
nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan
tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan
mengatakan aku bisa membayarnya
nanti kalau aku kembali lagi. Tapi
rasa malu karena “musuh”ku juga
ikut mendengarku ketinggalan
dompet membuatku gengsi untuk
berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat
keluar dan berharap mobil suamiku
segera sampai. Menit berlalu
menjadi jam, aku semakin tidak
sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada
jawaban meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya hanya
dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak
enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah
beberapa kali mencoba. Ketika suara
bentakanku belum lagi keluar,
terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam
beberapa saat sebelum suara lelaki
asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri
dari bapak Maher?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing
itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat ini
ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya
terdiam dan hanya menjawab terima
kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung.
Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan
beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap bertanya
ada apa hingga wajahku menjadi
pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku
sampai di rumah sakit. Entah
bagaimana juga tahu-tahu seluruh
keluarga hadir di sana menyusulku.
Aku yang hanya diam seribu bahasa
menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena selama ini
dialah yang melakukan segalanya
untukku. Ketika akhirnya setelah
menunggu beberapa jam, tepat
ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku
telah tiada. Ia pergi bukan karena
kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan
kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali
tak ada airmata setetespun keluar di
kedua mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan
mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi
kesedihan mereka sama sekali tak
mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan
aku duduk di hadapannya, aku
termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku benar-
benar menatap wajahnya yang
tampak tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan
seksama. Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang
telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang
telah dingin dan kusadari inilah kali
pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap
berusaha mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat
semua bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang suamiku
tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku
semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid
yang mengatur prosesi pemakaman
tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah kuperbuat
padanya terakhir kali kami
berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku
hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat
yang harus kukonsumsi terutama
ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau
aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan
karena aku tak pernah bertanya.
Bahkan aku tak tahu apa yang ia
sukai dan tidak disukai. Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa
suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku
sesak mendengarnya, karena aku
tahu ia mungkin terpaksa makan mie
instant karena aku hampir tak
pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak
dan diriku sendiri. Aku tak perduli
dia sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau bersisa.
Iapun pulang larut malam setiap
hari karena dari kantor cukup jauh
dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke kantornya
karena tak mau jauh-jauh dari
tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan
ketika melihat tubuhnya hilang
bersamaan onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun
sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan rasa
sesal memenuhi rongga dadaku.
Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan
seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di
hari-hari awal kepergiannya, aku
duduk termangu memandangi piring
kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku
sedang mengambek dulu. Ketika aku
lupa membawa handuk saat mandi,
aku berteriak memanggilnya seperti
biasa dan ketika malah ibuku yang
datang, aku berjongkok menangis di
dalam kamar mandi berharap ia
yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak
bisa melakukan sesuatu di rumah,
membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di
kamar tidur dan berharap esok pagi
aku terbangun dengan sosoknya di
sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering
terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku
kesal karena ia sering berantakan di
kamar tidur kami, tetapi kini aku
merasa kamar tidur kami terasa
kosong dan hampa. Dulu aku begitu
kesal jika ia melakukan pekerjaan
dan meninggalkannya di laptopku
tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di
meja, sekarang bekasnya yang
tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan kehilangan
remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku
dan aku sudah terkena panah
cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri,
aku marah karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak
ada. Aku marah karena baju-bajunya
masih di sana meninggalkan baunya
yang membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada
lagi yang mengingatkanku sholat
meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin
meminta maaf, meminta maaf pada
Allah karena menyia-nyiakan suami
yang dianugerahi padaku, meminta
ampun karena telah menjadi istri
yang tidak baik pada suami yang
begitu sempurna. Sholatlah yang
mampu menghapus dukaku sedikit
demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak. Teman-
temanku yang selama ini kubela-
belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah
kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tak
pernah bekerja. Semua dilakukan
suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang ia
transfer ke rekeningku untuk kupakai
untuk keperluan pribadi dan setiap
bulan uang itu hampir tak pernah
bersisa. Dari kantor tempatnya
bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku
terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke
rekeningku selama ini. Padahal aku
tak pernah sedikitpun menggunakan
untuk keperluan rumah tangga.
Entah darimana ia memperoleh uang
lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal
itu.Yang aku tahu sekarang aku
harus bekerja atau anak-anakku
takkan bisa hidup karena jumlah
gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana? Aku hampir tak
pernah punya pengalaman sama
sekali. Semuanya selalu diatur oleh
dia.
Kebingunganku terjawab beberapa
waktu kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali dokumen.
Lalu notaris memberikan sebuah
surat. Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anak-anak,
tapi yang membuatku tak
mampu berkata apapun adalah isi
suratnya untukku.
Istriku Rennengez tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu
terlebih dahulu, sayang. maaf
karena harus membuatmu
bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku
tak bisa memberimu cinta dan kasih
sayang lagi. Allah memberiku waktu
yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah
hal terbaik yang pernah kulakukan
untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi sayang selamanya.
Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu
saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit
untuk kehidupan kalian nanti. Aku
tak ingin sayang susah setelah aku
pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap
sayang bisa memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-
anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang
manja. Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang
percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak
sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan memberimu
jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Alden putri tercintaku.
Maafkan karena ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah istri yang
baik seperti Ibumu , dia ksatria
pelindungmu dan adikmu saat ayah jauh dari kalian. Jagalah Ibu dan dedek Alib mu.
Jangan jadi anak yang bandel lagi
dan selalu ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata
yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama
ini suamiku memiliki beberapa
asuransi dan tabungan deposito dari
hasil usaha dan tabungannya sebelum kami menikah dulu.
Suamiku membuat beberapa usaha
dari hasil deposito tabungan
tersebut dan usaha tersebut cukup
berhasil meskipun dimanajerin oleh
orang-orang kepercayaannya. Aku
hanya bisa menangis terharu
mengetahui betapa besar cintanya
pada kami, sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri
kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk
menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu menghapus
sosoknya yang masih begitu hidup
di dalam hatiku. Hari demi hari
hanya kuabdikan untuk anak-anakku.
Ketika orangtuaku dan mertuaku
pergi satu persatu meninggalkanku
selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam
kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia
duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
putriku menikahi seorang pemuda
dari tanah seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri, soalnya
Alden kan ga bisa masak, ga bisa
nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata
“Cinta sayang, cintailah suamimu,
cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena
cinta, kau akan belajar
menyenangkan hatinya, akan belajar
menerima kekurangannya, akan
belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku,“seperti cinta ibu
untuk ayah? Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah
sampai sekarang?”
Aku menggeleng,“bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah
mencintai kalian berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena
tak sempat menunjukkan cintaku
pada suamiku. Aku menghabiskan
sepuluh tahun untuk membencinya,
tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas darinya
karena kematian, tapi aku tak
pernah bisa bebas dari belenggu cintanya
yang begitu tulus.
End.
Penulis.
Cmst.bts.monta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar