19 Februari 2014

Malam sajak dalam kubah al-mabrur (cerpem)

Penulis Cmst.

Malam. Bulan timbul
tenggelam di lautan awan.
Gerimis sesekali menyapa bumi
dan mengabarkan langit
masihlah ada. Namun tak
benar-benar turun hujan.
Sesekali segaris cahaya
mengerjap dan gemetar di
angkasa. Bukanlah kilat atau
petir, hanya segaris cahaya
mengerjap dan gemetar.

Orang-orang di kampungku
menyebutnya "kisap". Seperti
sebuah isyarat atau gelagat. Kau
ingin memahaminya, tapi bagiku
menghayati sudah cukup. Sebab ada
banyak rahasia yang tak terurai
dalam bening pikir manusia.
Semakin ingin memahami, semakin
jauh tersesat dalam pemahaman
yang terkadang memasuki wilayah
amarah.

Kita masih di teras sebuah mesjid.
Menunggu gerimis reda. Kau tak
ingin menyeberangi titik-titik air itu.

Kau ingin berteduh dan menunggu.
Menghitung gerimis yang malas.
Atau angin yang benar-benar nyaris
diam. Cahaya-cahaya temaram di
sekitar pelataran mesjid ini semakin
meremangkan suasana, koridor yang
melingkari mesjid, sungguh sunyi,
memanjang dan berkelok, namun di
sanalah sesungguhnya matamu
mengembara, entah kepada kenang
atau harapan, namun aku tak
terletak di sana. Entah di mana aku
malam ini pada dirimu.
Kau menyandarkan tubuh pada
tembok yang mulai lembab.
Menggenggam pemantik dan
memainkan percikan api. Seperti ada
sesuatu yang ingin kau bakar. Entah
apa. Sebab masa silam tak bisa
dibakar dengan apa pun. Seperti
juga dosa yang tak bisa dihapus.

”Di mesjid ini dulu aku sering kali
tidur dan koridor itu tidaklah seperti
ini.” Bisikmu saat percikan api
semakin sering di jarimu.

”Ada banyak burung bersarang di
kubah masjid ini. Kicaunya
menyusup dalam sujudku.”

Kataku
sesaat menatap matamu yang asyik
menatap api lantas pandanganmu
menyeberang ke setiap lekuk koridor.
Pada salah satu tiang penyangganya
kau katakan, kau sering kali duduk
dan bersandar. Mungkin seperti
posisi dudukmu sekarang.

”Ada banyak malam yang terjaga.”

Ucapmu sesaat setelah kupinjam
pemantik dan kunyalakan rokok
terakhirku.
Aku seperti mendengar malam-
malam yang resah. Entahlah,
barangkali aku salah mengartikan
namun kata terjaga terucap
sedemikian berat. Seperti
memanggul beban dan murung.
Asap rokok keluar masuk paru-
paruku, lalu melayang di udara
basah. Seperti juga kabut yang
pelan-pelan muncul di matamu.
Melayang, naik, kemudian hilang
begitu saja. Sering kali kutanyakan
kepadamu. Ke mana sesungguhnya
api lenyap, ke manakah asap sirna.
Dan sering kali kau hanya diam.

”Terdapat banyak sajak dalam
malam-malam terjagamu.” Pada
isapan ketiga aku menimpali.
Dengan berusaha mengulang
intonasimu pada kata terjaga.

”Bukankah kita disarankan untuk
terjaga ketika orang lain terlelap.”
Kau menggeser duduk dan berbalik
menatapku. Sepertinya kau
terganggu dengan cara
pangucapanku yang terkesan seperti
meledek. Padahal aku cuma ingin
sedikit merasakan suasana terjaga.
”Ya. Teramat banyak malam-
malamku terjaga lantas terlalu lelap
dalam terjaga itu.” Aku kini terseret
jauh ke belakang pada malam-
malam yang dipenuhi hujan. Terjaga
dengan gigil. Tanpa api sama sekali.
Tak ada api.
Beberapa helai rambut nampak lolos
dari perangkap kerudungmu. Garis-
garis hitam lembut itu begitu tegas
pada pipimu. Sementara di langit
garis-garis bulan nampak perlahan
membongkar awan. Angin mulai
bangkit di bumi maupun di langit, di
teras mesjid maupun di hati.
Gerimis belum usai. Di lampu-lampu
temaram, jarum gerimis masih
berguguran. Pada koridor beberapa
orang melangkah dengan hening.
Tak ada suara sama sekali.
Kau seperti merindukan sesuatu,
sementara aku kembali merindukan
gaduh kicau burung-burung di
kubah mesjid. Barangkali kau
merindukan gaduh yang lain, kicau
yang lain, burung yang lain pula.
Aku merindukan kembali sujud yang
riuh itu. Tak bisa kusebut khusyu
namun aku mendapati sebuah
pengembaraan yang ajaib, ketika
tiba-tiba mendapati seluruh burung
menyusup dalam sujudku. Kukatakan
padamu, bahkan aku tak mengingat
apakah membaca doa atau tidak
pada sujud itu. Entah berapa lama
aku tersungkur. Karena seluruh yang
ada di mesjid telah kosong ketika
aku ucapkan salam ke arah kanan
dan kiri hidupku, padahal sebelum
aku shalat masih banyak yang shalat
maupun dzikir. Tinggal aku, suara
burung dari kubah, detik waktu dari
jam dinding.

Mesjid sungguh lengang namun
terasa sangat berisi. Utuh. Dan aku
ada dalam lingkaran keutuhan itu,
menjadi bagian di dalamnya. Dan ini
saat aku mengenal sesuatu yang
bernama haru. Tadinya aku ingin
mengajakmu untuk shalat
berjamaah. Tapi sayangnya ini masa
saat kau sedang tak shalat.
Seandainya tadi kita jadi berjamaah,
mungkin kau pun merasakan apa
yang kurasakan.

”Tuliskan dalam sajak-sajakmu.”
Pintamu, matamu semakin jauh
menerawang. Mungkin masih
mengembara. Masih tak kutemukan
diriku di sana. Di mana kau letakkan
diriku sesungguhnya.

”Ah, barangkali kau sekarang sedang
menemukan getar sajak dari tanah
kenanganmu.” Sesungguhnya aku
meraba kegelisahan dari tatapanmu.
Akar seluruh sajak-sajakmu.

”Masa itu telah usai pada sajak-
sajak yang telah lewat. Aku tak bisa
lagi menulis sajak sejak
menemuimu. Seluruh sajakku melulu
tentang duri waktu. Tentang manis
kematian. Telah kau rontokkan
seluruh duri itu. Kini aku hidup.
Ingin hidup. Maka aku tak
menemukan sajak lagi.” Kau kembali
mengambil pemantik dari jariku,
mempermainkannya layaknya anak
kecil menemukan mainan.

”Sajak tak pernah mati, bukan?”

”Ya.”

”Dan kau merindukannya?”

”Aku lebih merindukanmu.”

”Dan kau gelisah.”

”Ah, pada setiap sajakmu, sekarang
ini, aku mencecap kenikmatan
seketika aku menulis sajak. Pada
setiap kata-katamu kutemukan kata-
kataku.”

”Lantas di mana kau tempatkan aku
pada dirimu?”

”Utuh pada diriku.”

”Belum seluruhnya utuh.”

”Kau tak percaya padaku?”

”Utuhkan diriku pada sajak-
sajakmu.”

”Dirimu hidup dalam doa-doaku.”

”Doa adalah penyatuan dengan-Nya.
Sedang denganku akan utuh dengan
sajak-sajakmu. Aku merindukan kata-
katamu, terlebih jika diriku terdapat
di dalamnya. Jangan membuat sajak
untukku. Sebab itu hanya akan
membuatmu kehilangan kata-kata.
Jadikan aku kata-kata dalam
sajakmu. Mungkin kau akan kembali
menulis. Karena aku pun begitu.”

”Kau hanya membujukku untuk
menulis kembali.”

”Kau gelisah. Diam hanya akan
mengasahnya menjadi gelisah lain
yang liar. Kau tahu? Aku tak bisa
melukiskan kicau burung tadi,
ataupun sujudku tadi. Sampai kapan
juga kau tak bisa merangkainya jadi
kata. Tapi burung dan sujud adalah
kata itu sendiri. Sajak itu sendiri.
Karena itu aku akan menulis diksi
burung dan sujud dalam sajakku.

Seperti apa sajakku, entahlah. Aku
hanya akan menuliskannya. Baru
niat. Tapi ini lebih baik dari tidak
sama sekali. Setidaknya gelisah
sedikit reda. Jika menunggu
memahaminya, aku tak tahu kapan
aku akan mulai menulisnya.”

”Kaulah yang meredakan gelisahku.”

”Lantas gelisah yang kini mekar di
matamu, nyatanya tak reda dengan
kehadiranku. Gelisah yang murni
lahir dari persinggunganmu dengan
hidup, dengan semesta.”

”Sudahlah. Aku hanya ingin
menikmati kebersamaan kita kali ini.

Mungkin lebih pekat, karena tempat
ini menyimpan beragam kenangan
bagiku.” Kau berusaha tersenyum
seperti ingin menyudahi percakapan
dan kembali sama-sama hening dan
sunyi. Seperti koridor itu, seperti
koridor itu.

Gerimis tinggal jejaknya. Bulan
purnama begitu bulat merayap di
langit yang mulai ditinggalkan awan.
Bintang bersinar terang di puncak
langit, tepat di tempat kita
menengadah. Terdengar bunyi saklar
dari dalam mesjid. Satu per satu
lampu ruangan padam. Seseorang
membawa sapu lantas menyapu
lantai.
”Kenapa kau mengantarku shalat di
mesjid ini?” ucapku sembari berdiri
dan mengajakmu untuk segera
beranjak, karena gerimis tak lagi
hadir.

”Karena aku ingin menulis sajak.”

Ucapmu menggenggam jemariku.

”Sudah?” ucapku sedikit terkejut.

”Telah lunas seluruh kenangan, maka
kau akan temukan dirimu dalam
sajak-sajakku. Tak lama lagi. Aku
akan kembali menulis.”

”Aku tak sabar untuk membacanya.

”Bisikku, saat dua pasang kaki
menyusuri koridor yang sunyi. Dan
kutemukan dirimu pada setiap
tiangnya. Tersenyum padaku. Tanpa
kutahu artinya.

Tapi kutemukan
diriku dalam senyum itu.

”Kau telah membacanya.”
o
”Yang mana?”

”Aku mengirim seluruh burung dari
hutan hatiku untuk bersarang di
kubah mesjid ini, telah kususupkan
seluruh kicau rindu pada sujudmu,
telah kau dengar seluruhnya, sajak-
sajakku kembali hidup.

Di mesjid itu
kusimpan seluruhnya, kata dan
kalimat, cinta dan perjalanan. Telah
kau reguk seluruh isinya. Kini kata-
kata kembali mengalir dengan
dirimu berdenyut di sajakku.” Kau
berbicara dengan tenang dan pelan.
Aku perlahan melayang dalam kata-
katamu. Meninggalkan mesjid
dengan sesuatu yang tak terkatakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar