27 Februari 2014

Pohon Imbe di Belakang sekolah (cerpen)

BATU SAMBAK 1992.Sudah enam puluh tahun
Imbe itu tegak di pekarangan
belakang sekolah itu. Walau
usia sudah mengelupas kulit
batangnya, namun dia tetaplah
yang paling menjulang di
antara pepohonan yang ada di
sekeliling.
Di ujung akarnya yang menjentang
di permukaan tanah, dengan bersila
beralaskan tikar pandan, duduklah
Reni susilawati sejak beberapa saat
yang lalu.
Mantan guru itu duduk dengan
tegak. Usia tidak membuat
punggungnya condong. Binar bola
matanya di waktu muda masih
disisakan oleh usia. Hanya pojok-
pojok mata itu yang berkerut dilukis
waktu. Rambutnya yang memutih
tidak membuat wajahnya renta.
Sinar matahari pagi mendatangkan
kecerahan pada penampilannya. Di
bawah pohon tua itu dia menanti
murid-muridnya. Tentu bukan untuk
memberikan pelajaran lagi, tetapi
guna menepati janji yang sama-
sama mereka sepakati dua puluh
tahun yang silam. Janji yang lahir
dari pedihnya kebebasan dan
kejujuran.

Susila memang cuma seorang guru
bantu, tetapi dia telah membawa
suasana baru ke sekolah itu. Dia
selalu menyelipkan kelakar untuk
menyingkirkan suasana bengis yang
selama ini merajai ruang belajar.
Kedudukannya sebagai guru tidak
mengungkungnya untuk menjaga
jarak dari murid. Dia memperlakukan
mereka layaknya anak sendiri.
Teman malah.
Terkadang dia memberikan tanda
mata berupa manisan atau alat tulis
kepada murid, yang menurutnya,
pada hari itu telah menunjukkan
upaya yang lebih besar
dibandingkan kemarin. Dengan
begitu, penghargaan itu tidak hanya
monopoli murid yang paling pandai,
tetapi juga menjadi sumber
kepercayaan diri bagi mereka yang
telah berusaha untuk menyayangi
diri sendiri dengan berbuat lebih
baik. Untuk menghidupkan suasana
kebebasan, tak jarang dia mengajak
murid-murid keluar kelas dan belajar
dengan bergerombol mengelilingi
Imbe di pekarangan belakang.
Ke kelas mana pun dia
menampakkan diri, simpati dan
sukacita tumpah padanya. Matanya
yang berbinar dan senyumnya yang
murah acapkali memancing murid-
murid pria, yang suka iseng, diam-
diam menyambut kedatangannya
dengan suitan. Dia tidak hanya
menjadi buah bibir di sekolah,
tetapi juga bahan pujian di meja
makan ketika murid-muridnya
menceritakan kepada orangtua
mereka tentang seorang guru yang
cara mengajarnya membuat mereka
betah di kelas.

Begitu masuk kelas, dia bukannya
langsung memerintahkan murid-
murid untuk membuka buku
pelajaran, tetapi memulainya dengan
percakapan enteng tentang apa saja.
Dia menyemangati murid-murid
supaya berani mengemukakan
pendapat tentang pelajaran yang
mereka peroleh kemarin dan mimpi
apa yang mereka ingin gapai hari
ini. Muridnya memanfaatkan
kesempatan di menit-menit awal
menjelang pelajaran itu untuk
menyampaikan kritik maupun pujian.
Kuping Susila tak pernah tipis. Dia
selalu mendengar dengan sabar dan
penuh minat.
Semangat untuk menyatakan
pendapat itu rupanya sudah tidak
memperoleh ruang yang cukup kalau
hanya diutarakan dalam beberapa
menit menjelang pelajaran dimulai.
Susila kemudian menyediakan buku
harian yang dia bentangkan di dekat
pintu. Ke dalam halaman buku itu
dia persilakan murid-murid untuk
menuliskan apa saja yang mereka
rasakan, atau pikirkan, tentang
sekolah dan dunia mereka sendiri.
”Banyak yang bilang masa di sekolah
menengah merupakan penggal
kehidupan yang paling
membahagiakan. Masa keemasan itu
akan terampas ketika kita sudah
duduk di perguruan tinggi, lantaran
kehidupan senyatanya sudah di
depan mata. Benarkah itu? Tolong
beri aku jawaban. Tapi, jangan klise,
ya…!” begitu kata seseorang di buku
harian itu.

”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana
mengajarkan matematika supaya
menarik, bukannya seperti
menyuapkan simbol-simbol yang
menyebalkan, mati, dan diajarkan
dengan sikap yang sukar dibedakan
apakah guru atau monster?!” tulis
yang lain menumpahkan
kedongkolan.
Ada pula yang menulis dengan awal
yang manis, tetapi ditutup dengan
sikap seperti mau bunuh diri karena
tak ingin kehilangan: ”Sumpah,
swear! Kesemarakan hidup hanya
kutemukan di sekolah ini, pada guru
yang begitu besar cinta mereka
kepadaku. Dan teman- teman hebat
semua. Baik-baik bangat! Kalau
boleh memilih, gue kepingin mati di
sini aja.” Di sebelahnya, ada pula
yang menanggapi dengan
berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa
sih, he-he.”
Buku harian itu menjadi bahan
pembicaraan ketika muncul sebuah
kritik yang terlalu berterus terang
dan tajam di situ. ”Ini adalah
sekolah. Kata-kata guru di sini harus
menjadi kenyataan tanpa tawar-
menawar. Mereka berbicara
mengenai lingkungan yang sedang
terancam. Gak usah ngomong pake
kaka-kata segede gajah, deh.
Bicaralah tentang kamar kecil,
kawan! Bak airnya kumal. Tali air di
lantai mirip najis yang belepetan
mencari jalan keluar. Tidakkah
sekolah ini bisa memberikan contoh
yang baik bagaimana hidup yang
beriman? Kandang kuda tak
sepesing ini.”

Kabar tentang keberadaan buku
harian itu menyebar ke mana-mana.
Murid dari kelas lain turut
menikmati keterusterangan yang
mekar di halamannya. Mereka
seperti menemukan pintu masuk
menuju sebuah lekuk kehidupan
yang menenteramkan di situ. Banyak
yang cemburu mengapa di kelas
mereka tak terbentang buku tempat
mencurahkan perasaan.

Sementara
guru yang merasa tersindir di
halaman buku itu jadi kepanasan
dibuatnya. Terutama kepala sekolah.
Untuk beberapa guru, kritik dan
kecaman yang ditulis di situ terasa
seperti duri yang benar-benar
mengusik ketenangan mereka.
”Siapa lagi yang bikin demokrasi
edan ini kalau bukan si ganjen itu.
Guru bantu saja sok selangit!”

Guru-
guru yang kegerahan terkena
sentilan di buku harian itu
menebarkan kebencian dari kelas
yang satu ke kelas yang lain, dari
satu kolega ke kolega yang lain.
Hasut-menghasut membanjir supaya
buku itu diberangus, disingkirkan.
Puncaknya bukan pada kritik yang
dilancarkan para murid, tetapi pada
Reni susilawati, yang sudah tak
tahan membendung banjir
perasaannya. Untuk pertama kali dia
mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak
pernah menyangka bahwa suatu
ketika, dalam hidup ini, aku akan
menemukan kepelikan yang muncul
dari sikap korup seseorang yang
semestinya menjunjung tinggi
kejujuran. Karena kata inilah yang
justru sering dikumandangkannya di
depan murid-murid, pada setiap
upacara seninan. Dan inilah yang
menyakitkan. Dia menyuruh aku
untuk menjadi penghubung,
menemui seseorang yang akan
memberikan kunci jawaban ujian
nasional di suatu tempat. Mimpi
buruk macam apa yang kudapatkan
ini? Penghinaan seperti apa yang
sedang dia rekayasa untuk
merendahkan derajat anak-anakku?
Aku tak mau dan tak bisa terlibat
dalam kejahatan ini… Aku telah
memilih untuk meninggalkan sekolah
ini.”

Zaman sudah berkelok dan jauh
meninggalkan kodratnya. Seorang
kepala sekolah sudah bukan
lambang di mana kejujuran
menemukan bentuknya. Kartika
harus menutup buku yang menjadi
jangkar bagi para muridnya untuk
melabuhkan kata hati yang sering
datang meronta-ronta. Dia hanya
seorang guru bantu. Dia tidak
dilahirkan dan tidak dikirimkan ke
sekolah itu untuk menjadi dewi
penyelamat. Bakat sebagai
pembangkang juga dia tak punya.
Hanya saja, dia tak punya nyali
untuk menipu dan membungkam
keyakinannya sendiri. Sebagaimana
yang disumpahkannya di dalam buku
harian itu, maka dia memilih
berhenti.

Dia mengajak seisi kelas untuk
mengadakan semacam upacara
perpisahan dengannya di sekolah itu
juga, pada satu pagi di hari Minggu.
Murid-murid membawa tanda cinta
dan air mata mereka yang
penghabisan dalam bentuk kado
kecil-kecil yang mereka bungkus
sendiri. Susila membalas semua itu
dengan terima kasih dan peluk cium.
”Mari kita tanam buku ini di sini,
sebagai tanda terima kasih kepada
lembar-lembar halamannya kepada
siapa kita telah belajar tentang
keberanian dan memercayakan
perasaan kita. Lembar-lembar kertas
yang telah ikut membesarkan kita
semua. Kebebasan berpikir dan
mengungkapkan kata hati takkan
pernah bisa dibungkam. Dan itulah
yang telah kita lakukan dengan
catatan harian ini,” katanya seraya
menahan perasaan dan titik air
mata.

Seperti sedang meratapi
peruntungannya sendiri, katanya
pahit: ”Saya tahu mencari pekerjaan
buat saya tidaklah mudah. Tetapi,
saya tak pernah takut jadi miskin.
Saya hanya gentar pada kejujuran.”
Dengan kesepakatan murid-murid
yang tegak menahan emosi, buku itu
diputuskan supaya ditanam. ”Kita
yang setia kepada kejujuran diharap
datang lagi ke sini, tepat di sini, di
bawah pohon ini, pada hari ini juga,
Minggu, persis dua puluh tahun
mendatang. Kita akan lihat
bagaimana kejujuran akan
menunjukkan wajahnya. Apakah dia
pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu
membuat upacara di bawah pohon
itu terdiam oleh haru.
Dengan setangkai cangkul yang dia
bawa sendiri, Susila memulai galian
pertama, diikuti semua muridnya,
satu-demi-satu. Buku harian itu
dimasukkan ke dalam kantong plastik
dan dikuburkan di bawah pohon
imbe di pekarangan belakang
sekolah itu.
Persis dua puluh tahun kemudian,
pada hari ini, hari Minggu,
sebagaimana yang sudah disepakati,
Susila sudah duduk menanti di
antara akar-akar hariara yang
menjalar melilit-lilit memperkokoh
cengkeramannya di tanah.
Punggung Reni susilawati tetap
tegak. Juga wajahnya yang bundar
menadah sapuan angin pagi.
Matanya menatap ke pintu gerbang.
Dan dia ingat, gerbang itu dulu
terbuat dari kayu, yang kalau
dikuakkan akan berderik. Kini, pintu
masuk itu adalah besi kempa
berukir.

Waktu masih mengajar dulu, dia
selalu datang lebih awal dari murid-
muridnya. Menjadi orang pertama
yang melintas di gerbang itu, dia
selalu disambut tukang kebun yang
kini sudah tiada. Dan, sebagaimana
dulu, pada hari ini, dua puluh tahun
kemudian, mantan guru bantu itu
mendahului kedatangan murid-
muridnya guna menepati sebuah
janji untuk menyaksikan kejujuran
yang tak bisa dibengkokkan.

Mereka akan bersama-sama menggali
tanah di kaki pohon tua yang
berkeriput itu, mengeluarkan sebuah
buku harian, di mana kebebasan dan
kejujuran mereka telah menemukan
bentuknya yang paling awal. ***

Penulis

Cmst.bts.monta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar