28 Februari 2014

Dibantai Air Mata (Cerpen)

Buat penggemar matahari,
malam selalu menakutkan.
Karena hanya pada malam,
semua khayalan tentang iblis
dan hantu memiliki tempatnya.

Malam entah kenapa selalu
memecahkan rongga-rongga
dada dan membuat denyut
jantung lebih cepat.
Terkadang gemerisik angin terlembut
pun entah kenapa tetap membuat
helaan napas menjadi lebih berat.

Malam adalah waktu di mana hanya
boleh dimiliki oleh orang-orang yang
menahbiskan dirinya pada kekuatan
hati. Benar hanya orang yang berhati
kuat yang akan berani menghadapi
malam. Seperti para pemberani di
desaku. Suatu tempat amat elok di
kaki gunung Jaganmantri. Gunung
yang kontur tanahnya menyerupai
payudara ranum ibu yang baru
melahirkan itu benar-benar sangat
cantik. Ibu semesta begitu setiap
kali ada orang yang bertanya
tentang arti Jaganmantri.

Desaku sangat indah luar biasa.
Setiap pagi saat matahari pertama
kali menyetubuhi bumi, genting-
genting rumah berkilauan bersahut-
sahutan dan dari kilau itu
bermunculan warna-warni seperti
pelangi yang menyilaukan memantul
ke angkasa. Seperti selendang para
bidadari bertebaran di langit yang
begitu tampak selalu tertawa.
Seluruh negeri ini tahu bahwa
pantulan kilau dari genting itu
adalah air mata yang membeku
sehingga bisa dibentuk apa saja.
Benar semua benda di desaku
terbuat dari kristal-kristal airmata
yang membeku. Mulai dari jalan
desa, rumah-rumah, bahkan
beberapa baju yang dipakai
penduduk tebuat dari pintalan
warna-warni kristal airmata.
Tidak ada satu orang pun tahu siapa
yang pertama kali membuat adonan
airmata sehingga bisa dibentuk
menjadi apa saja itu. Desaku
menjadi desa terindah di seluruh
negeri dan airmata adalah hal yang
sangat biasa ditemukan di sini.
Penduduk desaku hidup dari
airmata. Apapun yang kami lakukan
selalu diiringi airmata. Bahkan ketika
di saat-saat bahagia sekalipun, saat
bersenang-senang, airmata selalu
harus hadir di sana. Kami tidak
mengenal airmata kesedihan
ataupun kebahagiaan. Kami hanya
mengenal airmata adalah napas.
Seperti detak jantung yang
berdentam setiap detik, airmata di
desa ini pun adalah hidup mereka.
Di sini diyakini orang yang semakin
mengeluarkan airmata adalah orang
yang benar-benar bahagia. Tak
heran salah satu seniman nomor
satu di desa ini mampu membuat
satu komposisi dari lolongan tangis
dan tawa sekaligus.

Konon komposisi ini pernah ditawar
salah satu produsen besar dari
ibukota, tapi seniman itu tak
melepaskan karena si produser
ternyata tidak bisa mengeluarkan
airmata. Ke mana pun penduduk
desa ini pergi mereka tampak selalu
membawa tas berisi botol besar air
mineral kosong dan spons. Karena
ketika airmata merekan mengucur
deras, segera disapunya dengan
spons dan diperas hati-hati ke dalam
botol air mineral tersebut. Sangat
lazim telihat orang-orang membawa
lebih dari satu botol. Airmata dari
botol-botol tersebut terus
dikumpulkan ke dalam sebuah
koperasi unit desa untuk kemudian
diolah menjadi potongan 2 baluk
kristal airmata sebagai bahan dasar
apa pun benda di desa itu.
Potongan-potongan kristal itu terus
diolah menjadi berbagai macam
kebutuhan.

Begitulah desaku begitu damai dan
nyaman penuh keberlimpahan
dengan airmata. Airmata yang
menjadi hidup dan juga bahagia.
Orang-orang sederhana dengan
airmata bercucuran ternyata
membuat hati orang-orang di desaku
menjadi orang-orang kuat luar biasa.
Orang-orang yang pemberani.
Bahkan malam dengan kepekatan
akan duka sekalipun tak mampu
membuat mereka menghindar dari
gulita. Setiap menjelang senja, saat
roh-roh tua mulai ingin
mengembara, para lelaki di desaku
segera keluar menghadap ke barat.
Dengan penuh cinta dibungkukkan
badan mereka dalam sikap berdoa.
Mereka tidak menganggap matahari
itu Tuhan, tetapi mereka percaya
saat matahari mulai membakar kaki
langit dengan ujung-ujung lidah
apinya sehingga langit berubah
kemerahan, saat itu pula seluruh
alam raya ini menangis sejadi-
jadinya. Nah, karena tangisan alam
raya inilah maka mereka
membungkuk menghormatinya
karena mereka merasa bahkan alam
raya turut merestui tangisan-
tangisan yang mereka haturkan
sebagai puja. Sungguh jika malaikat
kesayangan Tuhan sekalipun pasti
akan selalu merasa senang tinggal
di desa itu. Desa yang penuh air
mata, tetapi begitu bahagia luar
biasa ini. Hingga suatu hari ada
yang merubah segalanya.

Awalnya terjadi dari kedatangan
salah satu warga yang sudah lama
merantau. Entah karena sudah lama
merantau hingga lupa bagaimana
caranya mengeluarkan air mata atau
memang dia tidak mau lagi
mengeluarkan air matanya. Tentu
saja pada awalnya para penduduk
terheran-heran bagaimana bisa
lelaki itu tidak lagi mengeluarkan air
mata. Ketika ditanya mengapa dia
tidak mengeluarkan air mata oleh
kepala desa yang diyakini sangat
sakti karena mampu mengeluarkan
air mata seputih susu sungai-sungai
sorga itu, jawabannya sungguh
mengglegarkan “Airmata hanya untuk
para perempuan. Lelaki tidak
menangis. Karena hanya lelaki
pengecut saja yang menangis.”
Sungguh, kalimat itu seperti angin
puting beliung yang merontokkan
semua peradaban dalam satu helaan
napas. Semua lelaki yang
mendengarnya langsung tanpa sadar
menghentikan air matanya. Sejak
saat itu, terjadilah proses
penghentian besar-besaran air mata
oleh para lelaki di desa itu. Wajah-
wajah lelaki di desa itu yang tadinya
begitu ringan dan penuh dengan
harapan, tiba-tiba menjadi tegang
dan tampak sekali ada desakan-
desakan air yang mati-matian
ditahan di dalam sekat-sekat
dadanya. Benar, lelaki tidak
menangis. Begitu jargon baru yang
terjadi didesa itu dan itu fatal.
Sejak saat itu pula para lelaki
menempatkan dirinya lebih tinggi
daripada para perempuan di desa
itu. Lelaki-lelaki yang tadinya mau
membantu para perempuannya
memasak, menjahit dan mengurus
anak tiba-tiba menjadikan diri
mereka tuan. Air mata hanya milik
kaum perempuan. Karena hal ini,
maka sejak hari lelaki berhenti
menangis, tidak ada lagi lelaki yang
membawa botol mineral kemana-
mana. Koperasi pengolah air mata
mulai kesulitan pasokan karena
hanya kaum perempuanlah yang
menyetor air mata. Tentu saja
pasokan itu tidak akan cukup
mensuplai kebutuhan. Terlebih
kompisisi mineral air mata lelaki dan
perempuan berbeda. Balok-balok
kristal air mata menjadi menurun
kualitasnya. Orang akhirnya
mencampurnya dengan air untuk
memproduksi apa saja. Tentu saja
ini sama sekali menghancurkan.
Setiap pagi pelangi-pelangi yang
berkilau karena terpaan matahari di
atap-atap kristal air mata rumah-
rumah penduduk mulai berkurang
kadar warnanya. Meredup pelan-
pelan seperti detak jarum yang
berputar terbalik, makin lama warna
itu makin samar dan begitu tipisnya.
Desa itu benar-benar menjadi desa
yang sedih sesedih-sedihnya. Air
mata menjadi barang langka, tetapi
kesedihan menjadi begitu berakar.

Hingga satu hari koperasi pengelola
balok kristal air mata itu
menyatakan bangkrut. Mereka tak
sanggup lagi berproduksi karena
suplai air mata hampir tidak ada
lagi. Air mata yang tersedia begitu
buruk kualitasnya karena hanya air
mata perempuan sehingga tidak
mampu lagi membuat kristal yang
solid tanpa air mata lelaki. Ketika
menyadari bahwa balok kristal air
mata tidak ada lagi, mulailah mereka
panik. Kepala desa membunyikan
kentongan tanda para lelaki harus
berkumpul, “Ini sebuah kesalahan,
lelaki boleh menangis karena kita
butuh air mata untuk kelangsungan
hidup kita, mari kita menangis lagi.”
Dia pun mulai mengejap-kejapkan
matanya untuk memanggil roh air
mata agar kembali hadir, tanpa
sadar semua lelaki yang hadir
mengikutinya. Tetapi roh air mata
mereka memang sudah tidak ada
lagi. Mereka pun mulai panik.
Semakin keras mereka berusaha,
semakin air mata tidak lagi keluar.
Bahkan karena terlalu keras hanya
darah yang keluar dari mata mereka.
Tentu saja itu bukan air mata karena
berwarna merah. Air mata seperti
suara Tuhan, begitu bening dan
sejuk.

“Roh air mata itu harus kita cari,
kalau perlu ke ujung dunia pun
harus kita buru,” begitu akhirnya
keputusan kepala desa itu dalam
keputuasaannya. Begitulah, sejak
hari itu banyak lelaki keluar dari
desaku. Mereka memburu air mata
ke seluruh pelosok negeri. Ada yang
berhasil ada pula yang tidak. Ada
yang pulang dengan membawa
bergalon-galon air mata, ada yang
mengirimkan lewat kilat khusus,
tetapi ada juga yang pulang hampa
sia-sia. Lelaki perantau pencetus
gagasan penghapusan air mata bagi
lelaki itu menghilang entah kemana.
Konon, ada yang pernah melihat dia
secara diam-diam menghilang ke
atas gunung dalam penyesalannya
karena telah membuat desanya
menjadi berantakan. Tetapi ada juga
rumor yang menyebutkan bahwa saat
dia menyebarkan propaganda anti
air mata itu sebenarnya dia telah
disuruh oleh setan yang tidak
pernah ingin melihat manusia
bahagia. Entah benar atau tidak,
yang jelas sekarang ini sangat jarang
ditemui lelaki di desaku. Kebanyakan
mereka telah menjadi pemburu air
mata. Mereka akan sangat mudah
ditemui di kota-kota besar maupun
kecil. Dengan berbagai cara mereka
akan membuat orang-orang
menangis, yang paling sering
dilakukan adalah menjadi
pendongeng cerita-cerita sedih
dimana ketika para penonton
beramai-ramai menangis maka si
pendongeng akan buru-buru
mengambilnya dengan sponsnya dan
dimasukkan kedalam botol air
mineralnya.

Demikianlah, desaku yang tadinya
begitu damai dan indah kini menjadi
sunyi. Kesunyian yang begitu
menyayat. Kesunyian yang
melahirkan pekat. Seloka-seloka yang
disenandungkan perempuan yang
tinggal hanyalah senandung
kesepian yang dibungkus rapat
dengan kerinduan, karena para lelaki
mereka menjadi pemburu air mata
dan tidak tahu kapan mereka
pulang. Benar-benar desa yang tidak
bahagia. Mereka sering sekali
merindukan waktu lalu, dimana air
mata begitu mudah didapat, sangat
bening seperti hati. Mereka begitu
mendendam kepada lelaki pencetus
ide penghapusan air mata. Dendam
yang melahirkan bara di dada. Bara
yang melahirkan air mata api.
Air mata menjadi makin langka.
Air
mata pada akhirnya melahirkan
hanya lolongan. Air mata pada
akhirnya menjadi absurd maknanya
dan para pemburu air mata tak
pernah lelah memburunya karena
mereka benar-benar tahu bahwa
hidup mereka akan kembali penuh
dengan air mata. Ya, karena dari air
mata akan melahirkan tawa.

Lotim 23 maret
Terima kasih untuk semua air mata yang sudah menjadi guruku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar