***********
Langit warna-warni berlalu begitu
saja. Dari waktu ke waktu selalu saja
begitu. Kupetik sehelai awan pagi
ini. Lembayung warnanya. Dan
setiap burung yang melintasi pagi
yang sama, tiba-tiba warnanya jadi
lembayung. Hujan turun pun
berubah lembayung. Kusaksikan
segenap alam yang mengepungku
disesaki bayang-bayang lembayung.
Perempuan berparas molek itu
dalam usia yang amat matang
datang padaku membawa hati yang
lembayung pula.
”Kau…” desisku tertahan saat
menatap perempuan berdarah
Sasak itu pertama kali setelah 13
tahun tak bersua. Telunjukku tiba-
tiba layu saat sosoknya kian
menyergam di antara tiupan angin
dan kabut yang menderu.
Aku berkaca di bola matanya yang
bening. Masih begitu bening. Aku
menatap diriku dalam tiupan angin
petang bagai alunan gazal yang
lembut. Sayatan biola tua yang
mendayu-dayu. Aku merasa sudah
begitu tua. Tapi sapa lembut
perempuan berkulit kuning langsat
itu bagai mengelupaskan kerutan-
kerutan di keningku.
”Apa yang masih kau ingat?”
bisiknya dengan irama rendah.
Menyayat-nyayat.
Mataku kian terbuka lebar saat
menyaksikan banyak lukisan, kata-
kata, rekaman, dan irama
berloncatan dari bola matanya. Tiap
helaan napasku bagai memutar
kenangan di sebuah layar seluloid
yang usang. Warnanya lembayung
kecoklatan. Sudah terlalu lama
rekaman-rekaman tersebut
mengendap di bola mata itu.
Kutatap kedua bola matanya
bergantian. Sorot matanya masih
nyalang. Berbunga-bunga.
”Kusaksikan di bola matamu, kita ada
dalam pergumulan masa lalu yang
tak kunjung diam. Kita berangkulan
tiba-tiba setelah lama berjauhan.
Kita berpelukan tanpa birahi…”
ucapku perlahan dan tertahan.
Perempuan itu tersenyum.
Mengangguk beberapa kali. Bola
matanya mengisyaratkan sesuatu
yang lebih dari sebuah sapaan
mesra. Manja. Penuh pukau dan
menyelam ke kedalaman jiwaku. Aku
jadi teringat Dewi Anjani dari
kebesaran Kedatuan sasak-lombok di
Pulau Penyengat pedas karena maqam
keperempuanannya. Perempuan
masa laluku ini nyaris setara dengan
itu di dalam kerajaan diriku. Tapi,
masa lalu itu telah membancuhnya
jadi kepingan-kepingan sejarah dan
kata-kata yang tersisa.
Di lembayung pagi ini, 13 tahun
kemudian, kami bersua. Bak seekor
burung yang bersayap lembayung
pula terbawa angin yang
mengantarkan dirinya padaku. Dan
aku pun bagaikan sebuah ranting
kayu mendedahkan diri tempat
berhinggap bagi dirinya. Tentu saja,
ia agak lelah karena bertahun-tahun
terbang menembus gumpalan awan
dan tabir masa silam yang tertinggal
jauh.
”Kau begitu tegar menunggu…”
sapanya.
”Apa kau datang memintal semua
masa lalu itu?” Ia menggeleng.
”Aku hanya membawa sebagian masa
lalu itu. Sebagian lagi, aku datang
dengan sayap yang menerbangkan
aku jauh ke depan…” katanya penuh
makna.
”Kepakkanlah sayap-sayap kecil itu,”
sambutku bahagia.
”Akankah kita terbang bersama?”
ucapnya mengangkat alis kiri yang
kian memperlihatkan kemanjaan
yang pernah kurasakan di masa-
masa yang sudah terlewati.
”Kau masih membawa serta
kemanjaan itu…” kataku menunduk.
”Tidak lagi utuh. Bagai burung,
sayapku sudah patah sebelah. Bagai
awan, sejuknya telah berderai-derai.
Bagai angin, terpaannya tak sesakal
dulu…” ucap perempuan itu
bermadah. Percik Sasak masih
membalut hati pualamnya.
Tatapan mata kami begitu teduh.
Begitu lembayung. Butir-butir air
mata perempuan menepi di antara
kelopak. Berderai di pipinya yang
ranum. Jatuh satu-satu diembuskan
angin. Bagai tempias gerimis, butir
air mata itu menyelam di genangan
bola mataku yang terdedah sedari
tadi. Air mata kami bergumul di bola
mataku. Hangat dan diam.
Apa yang terjadi dalam 13 tahun
ini? tanyaku dalam hati. Tatapan
matanya yang teduh menangkap
tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa
ragu-ragu. Segalanya begitu bening.
Bagaikan titisan gerimis yang jauh di
sebuah telaga jernih yang
menguraikan riak-riak kecil menjadi
not angka dan nyanyian.
”Kau masih menyukai nyanyian
Kadal nongak lek kesambi'?” tanya perempuan
itu mengusap helai-helai rambutku
yang mulai diselingi uban abu-abu.
”Iya… masa lalu dan masa kini, sama
saja bagiku….”
Giliran ia terpekur.
”Aku masih ingat semuanya. Sebuah
kehampaan yang membuat hatimu
terluka. Aku tak banyak tahu apa
maknanya waktu itu. Aku hanya
seorang anak belia yang mudah
memalingkan diri dari siapa saja.
Aku merasa bagai seekor burung
berbulu keemasan yang boleh
terbang sesukanya. Dan aku tak
pernah hinggap di ranting mana
pun. Aku hanya terbang dan
terbang…”
”Tentu kau sudah melupakan surat
itu…”
”Iya… aku terbang berjuta mil dari
sebuah lorong ke lorong yang lain di
langit itu…”
”Iya, langit lembayung itu, bukan?”
Ia mengangguk. Kemolekannya
memukauku kembali. Kemolekan
yang bertapis kematangan jiwanya.
Ia memang sudah tidak muda lagi.
”Aku pernah jadi wanita kantoran di usia
mudaku,” tuturnya mengenang.
”Kau telah terbang begitu jauh.
Melintasi awan, langit, gunung,
kenangan, batu, hujan, lelaki…
dan…”
”Jangan sebut itu…” tiba-tiba
suaranya agak keras sambil
meletakkan telunjuknya di bibirku.
Aku terperanjat. Sentuhan lembut
itu bagai menguliti diriku.
Kami sama-sama terdiam.
Ia bercerita tentang sisa masa
lalunya. Ia pernah pacaran dengan
seorang lelaki kesayangannya..
”Aku kini sendiri…” tuturnya mulai
berterus terang.
”Aku amat bersimpati…” sambutku
lemah-lembut.
”Ada ribuan ranting membentang di
pokok-pokok kayu. Takkah kau ingin
berhinggap di salah satu ranting
itu?” ucapku agak bersayap.
Ia merunduk. Diam. Aku menangkap
jemarinya yang masih lembut.
Kemudian ia tiba-tiba mengangkat
dagunya. Menatapku dengan bola
mata yang tetap bening.
”Aku datang ke sini, mencari jejak
masa laluku. Banyak kenangan
tertanam di sini… di kampung
halaman ini…”
”Aku juga meninggalkan jejak di sini.
Tapi selalu saja, jejak kecil itu pupus
tersiram ombak pantai. Kau masih
ingat kawat montong tengak…
tempat kita bersama teman-teman
sekolah dulu menghabiskan waktu
Kanak kanak. Ada sejuta jejak di situ yang
kini tak berbekas lagi…”
”Aku rindu pokok imbe, jejak kaki dan
tiupan angin esdetelu Montong tangi
itu…”
Giliranku bercerita soal perjalanan
hidupku di sebuah kampung kecil di
tepi desa itu. Setamat kuliah aku
kembali ke kampung halaman. Aku
betaletan. Memelihara ternak. Aku
ingin jadi pedagang besar, waktu itu.
Tapi mimpi itu tak pernah
kesampaian. Aku hanya jadi saudagar
kampung.
Kau bahagia kan?” ucapan
perempuan itu benar-benar
menusukku. Aku agak terenyak.
Aku tertunduk. Bayangan-bayangan
yang menakutkan itu
menyentakkanku. Aku terasa agak
terhuyung. Tapi perempuan itu
cepat-cepat menangkapku. Aku jadi
agak tenang. Kehangatan elus
jemarinya di punggungku kian
memperderas aliran darah di nadiku.
”Maaf, aku telah merusak
perasaanmu…” ucapnya merasa
bersalah.
Aku cepat-cepat memagutnya.
Menumpahkan kehangatan perasaan
dan sisa mimpi masa lalu yang tak
pernah tertebus.
”Semestinya ini terjadi 30 tahun
lalu. Saat lembayung pagi
menyergap kita di beranda
rumahmu…” kataku bagaikan seorang
penyair yang memanggulkan jutaan
kata-kata molek di pikirannya.
Perempuan itu meremas-remas
jemariku. Hangat dan bersahaja.
Jantungku berdegup kencang. Sudah
lama aku tak merasakan ritma
seperti ini. Perjalanan hidupku
terasa begitu datar bertahun-tahun.
Baru kusadari betapa aku telah lama
membenamkan mimpi-mimpi di
ceruk jiwa yang terdalam. Betapa
jauh aku bisa mengapungkan mimpi-
mimpi itu kembali. Perlu 30 tahun
bagiku untuk merajutnya. Tak hanya
mimpi tapi selaksa kata-kata yang
selama ini terhamburkan begitu saja
tanpa kendali. Kata-kata ini harus
bermakna kembali.
Tiba-tiba kami sudah berada di
dalam sebuah ruang. Tak ada
cahaya. Tak ada angin. Tak ada
sesiapa. Perempuan itu menyanyikan
sayup-sayup ”kadal nongak lek kesambi'’”
yang dulu amat kusukai. Aku selalu
merasa hangat di pangkuan ibu
bila menyanyikan lagu itu secara tak
beraturan. Kali ini perempuan itu
bagaikan ikut membangkitkan rasa
lelap diriku pada ibu yang sudah
lama pergi.Lalu
Ia menghitung helai demi helai
uban di belantara rambutku yang
terasa kian jarang. Jemarinya yang
lembut terasa membelai-belai.
Walau tak pernah dibisikkannya
padaku jumlah uban yang sudah
dihitungnya, tapi tatap matanya di
kegelapan itu menyiratkan
sesungguhnya aku sudah begitu tua.
Ya, aku merasakan seperti itu setiap
berkaca.
”Aku merasa sudah tua…” ucapku
mendesis. Lembut dan manja di
pangkuan perempuan itu.
”Aku juga…” balasnya tanpa mimik
yang jelas.
”Tapi selalu ada sisa cinta di
kedalaman hatiku.”
”Cinta itu tak pernah pupus begitu
saja. Ia hanya berubah-ubah
bentuk….”
Ya, Newton juga selalu mengatakan
hal itu dalam pelajaran fisika
semasa sekolah dulu, tanggapku
dalam hati. Aku ingat pasti soal
Hukum Kekekalan Energi Newton itu.
Energi memang tak pernah hilang,
hanya berubah-ubah bentuk belaka.
”Kau masih mengagumkan…” ucapku
lirih.
Ia mencubit pipiku. Kami tersenyum.
”Aku benar-benar merasa terbang di
awang-awang. Sudah lama aku tak
merasakan terbang setinggi ini…”
katanya mengalir begitu saja. ”Bukan
karena aku sudah tak jadi wanita kantoran
lagi…” lanjutnya.
”Apakah semua ini masih
bermakna?” balasku.
Ia lama terdiam.
Bebaskan kata dari makna!
Terbayang sepintas di pelupuk
mataku Presiden Penyair Indonesia,
Sutardji Calzoum Bachri yang duduk
perkasa di kursi kredonya. Andai saja
semua orang melepas makna dari
tiap ucapannya… tak ada lagi cinta
dan janji-janji, bisik hatiku.
”Tak ada yang tak bermakna dalam
hidup ini. Kata-kata, burung, angin,
kesendirian, dan apa saja…”
sahutnya berfalsafah. Aku begitu
memahami kematangan jiwanya kini.
”Kesendirian, katamu…”
”Iya… tapi aku tak pernah
memusuhinya. Kesendirian pun bisa
jadi sahabat sejati.”
Itulah kata-kata terakhir perjumpaan
kami. Perempuan itu bagai burung
dengan sayap sebelah terbang jauh.
Kembali ke tanah perantauannya.
Sedang aku hanya sepotong ranting
kayu yang harus tegar berdiri di
kampung halaman di bibir pantai.
Hari-hariku adalah deru ombak yang
pecah di pantai yang keruh.
Perjumpaan kami hanya lewat bunyi,
keheningan, dan nafiri rindu. Setiap
waktu kami saling berkabar lewat
batin. Atau, puisi yang mengalir
lembut di nadi-nadi perasaan.
Hari ini tak ada puisi dan kata-kata
bermakna, begitu tulisku suatu
ketika kehampaan menyesaki
perasaan. Hanya kubayangkan tatap
matanya yang teduh. Senyum ranum
dan kata-katanya yang tak
menyisakan buih di atas di celah-
celah ombak nasib.
Lembayung pagi, 30 tahun
kemudian.
”Andai saja aku semasa sekolah
dulu… setiap bisik kata-katamu
membuatku terlelap dalam dekap
keindahan…. Kau adalah maha-puisi
yang selalu menghanyutkan derai
makna yang sulit kulupa…” ucap
perempuan itu suatu ketika lewat
pesawat telepon.
”Tapi, kau pun adalah telaga bening
yang sudah lama tak mampu
kutimba. Telagamu begitu dalam,
dasarnya begitu jauh…” balasku
begitu saja.
”Kata-katamu selalu menjelmakan
aku jadi puisi tak berbingkai….
Terdedah begitu saja…”
”Napasku adalah kata-kata…”
Lembayung pagi ini. Seekor burung
jalak yang berwarna kehitaman
melintas di antara pepohonan tepi
pantai itu. Selat laut trawangan terus saja
mengalunkan ombak yang pecah di
tepi pantai. Selalu begitu dan
begitu. *******
end
.....Kisah Harapanku dengannya ...Dengan gaya bahasa yg merumitkan,,sengaja ku kemas menjadi sebuah cerita yang belum usai di hati para pembaca.
Penulis.
(Maher).Cmst.bts.monta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar