Montong Tangi 07 februari
_________________________
Kau bagaikan cahaya yang
berkilauan
Seperti putri dari sebuah kerajaan
yang sangat jauh
Kau ada disini, aku bisa melihatmu
Tapi aku tetap tidak bisa
menyentuhmu
Kau seperti udara yang brgelimang
di sekitarku
Bergerak sesukamu tanpa takut
dimarahi
Kau seperti kincir angin
Berputar dan terus berputar
Ingin rasanya aku menggapaimu
Tapi aku terlalu takut dan terlalu
pengecut
“Huft..” Aku menghela napas, ini
sudah kesekian kalinya orang
bernama facebook calek macel itu
mengirimkan pesan di dindingku.
Entah apa yang ingin dia sampaikan
padaku, yang aku tahu setiap kali
aku membaca tulisannya, aku selalu
merasa ada kesepian di setiap
pilihan kata yang dia gunakan.
Rasanya seperti dia menginginkan
sesuatu yang saaangat jauh.
“Woi.., main aja! Udah waktunya
kerja nih, Neng!” Trya, sahabat
sekaligus partnerku di SPRING,
menepuk kedua pundakku dari
belakang.
“Iya-iya, masih lima menit ini
istirahatnya, kan?!” belaku
“As.., artikel yang buat kolom cuap-
cuap udah belum?” teriak mbak Sesil
dari ruangannya.
“Ya ampun, Mbak, gue lupa!” aku
menepuk dahi. “Masih di flash,
Mbak. Tapi Flashnya dibawa Gana.”
“Lho?” Mbak Sesil menongolkan
kepalanya dari balik pintu. “Ya udah
cepet cari Gana sekarang, minta
flashnya terus kasihin gue! Sebelum
jam sebelas, ya!”
“Eh?! Sekarang kan jam sebelas
kurang sepuluh, mampus gue. Try,
nitip barang-barang gue ya..” Aku
bergegas meninggalkan ruanganku,
membiarkan mejaku berantakan.
“Dasar!” Trya cuma bisa bilang
begitu. Sudah paham betul dia
pada sifatku yang seperti ini.
Aku berlari sekuat tenaga, berusaha
secepat mungkin sampai di lapangan
tengah, tempat dimana Gana sedang
meliput berita sekarang. Gak perduli
sudah berapa ratus orang yang aku
tabrak, yang penting aku bisa
bertemu Gana secepatnya,
mengambil flashdiskku dan
menyerahkan tugasku tepat waktu.
Sebelum mbak Sesil, pimred majalah
sekolahku – SPRING meledak dan
menghujaniku dengan lahar
panasnya.
“Bruk.. buk.. prang..” tapi sepertinya
aku tidak bisa untuk tidak
mempedulikan tabrakanku kali ini.
Pasalnya, ada benda lain yang
menjadi korban tabrakan itu. Benda
itu terjun bebas menyapa tanah.
Membuatnya berpisah jadi bagian-
bagian kecil. Benda itu… Kamera SLR
milik RAMA!!! – shock.
Rama memperhatikan kameranya
yang sudah berantakan, lalu pelan-
pelan menatapku “Ello…” Rama
melotot, bola matanya tajam seolah
ingin menelanku.
“So…sorry.. gue gak sengaja..” aku
menggigit bibir, ciut melihat
ekspresi Rama yang menyeramkan
seperti itu.
“Sorry? Loe pikir kamera gue bisa
balik dengan loe bilang sorry?”
bentaknya.
“Gue kan, gak sengaja!”
“Heh.. gak sengaja? Jelas-jelas di
koridor segede ini, loe masih bisa
nabrak orang dan loe bilang gak
sengaja?” katanya sambil
melentangkan tangan seolah
mengukur lebar koridor sekolah.
Aku yang tadinya bersungguh-
sungguh minta maaf jadi jengkel
juga “Ahk.. bilang aja minta ganti
rugi! Gak usah khawatir, deh! Kamera
udah butut gini, gue ganti yang
seratus kali lebih baik dari pada
ini.” aku ikut-ikutan emosi. Entah
kenapa, sejak dulu, aku tidak pernah
bisa santai kalau berurusan dengan
orang ini. Pasti selalu berantem.
Mata Rama semakin membelalak. Di
mataku sekarang, dia lebih terlihat
mengerikan daripada vampaneze
(vampire jahat yang menghisap
habis darah manusia sampai
meninggal dalam cerita Darren shan)
. Tangan Rama tiba-tiba terangkat,
dia hampir saja mendaratkan sebuah
tanparan di pipiku.
Aku bergidik, sedikit mundur. Ku
pejamkan mataku erat-erat. Sepuluh
detik, tidak ada yang terjadi.
Kemudian aku mendengar desahan
darinya, dia.. tidak jadi
menamparku.
“Heh! Loe denger, ya! Gue nggak
peduli loe itu siapa dan anak siapa!
Tapi sekali lagi loe menghina kamera
gue, gue nggak akan segan-segan
ngasih loe pelajaran! NGERTI?”
bentaknya tepat di depan wajahku.
Aku sedikit terpental ke belakang.
Aku mengangguk, lalu menunduk.
Rama memunguti bagian-bagian
kameranya yang berserakan. Dan
berlalu, menyisakan aura kemarahan
yang menyuruh dadaku berdetak
lebih kencang dari biasanya.
Tubuhku gemetar. Ini kali pertama
aku melihat Rama semarah itu.
Memang, sudah lama kami
menyandang gelar sebagai rival.
Tapi, ini pertama kalinya dia
menunjukkan wajah segarang itu.
Belakangan, aku baru tahu kenapa
dia bisa semarah itu padaku. Tante
Raya -mama Rama- bilang, kamera
itu adalah kamera peninggalan papa
Rama. Hadiah ulang tahun Rama
yang terakhir sebelum papanya
meninggal.
“Glek!” pernyataan tante Raya itu
seperti meng kick off perasaanku dan
mengoper-operkannya. Perasaan
bersalah langsung bermekaran di
hatiku. Mambuatku semakin larut
dalam dekapan malam sepi ini.
Belum selesai aku memikirkan
masalah ini, masalah lain seenaknya
masuk dan memaksaku
memikirkannya. Pernikahan papa
dengan tante Caterin. Aku benci
wanita itu! Serigala berbulu domba
yang memanfaatkan segala cara
untuk mendapatkan hati papa.
Sudah berkali-kali aku memergoki
wanita itu berkencan dengan pria
lain selain papa. Tapi aku tak bisa
apa-apa. Pengaruh wanita itu terlalu
besar untuk dihancurkan.
“Asti kan, udah bilang, Pa! Pokoknya
Asti gak setuju Papa menikah sama
orang itu!” protesku sore itu waktu
aku tidak sengaja menemukan
undangan pernikahan papa dan
tante Caterin di meja kerja papa.
“Sayang, undangan sudah di sebar,
tempat sudah di pesan, semua
persiapan juga sudah selesai di
lakukan. Tidak mungkin kalau
dibatalkan begitu saja.”
“Ugkh.. terus kenapa Papa dulu gak
minta pendapat aku dulu sih, Pa?
Aku kan udah bilang, aku gak mau
orang itu jadi ibu tiri aku!
“Asti! Memangnya kenapa sih, sama
tante Caterin? Dia baik, dia sayang
sama kamu, dia…”
“Pokoknya NGGAK! Sampai kapanpun,
aku gak akan rela kalau Papa
menikah sama orang itu!” aku
berlari ke kamar.
“Asti!” Teriakan papa tidak aku
hiraukan.
Sudah puluhan kali aku bertengkar
dengan papa gara-gara masalah ini.
Dan di saat-saat seperti ini
bayangan kak Ello yang selalu saja
muncul di kepalaku. Orang yang
telah menawan hatiku sejak satu
tahun yang lalu. Andai saja sekarang
dia ada di sini, pasti rasanya gak
akan sesakit ini.
“Kak Ello lagi apa sekarang?” aku
mengamati senja yang sudah hampir
selesai. Terakhir kali aku mendapat
kabar dari kak Ello, dia ada di
Jepang. “Aku butuh kakak sekarang.
Kenapa kakak gak dateng?” desahku.
Aku menuju jendela. Menikmati
angin yang berhembus lembut. Tiba-
tiba segurat pikiran aneh
menghampiriku. Pernikahan papa
dengan orang itu tinggal tiga hari
lagi, dan aku gak bisa apa-apa.
Kecuali… aku menuruti pikiran aneh
yang baru saja singgah di kepalaku.
—
Burung-burung camar terbang ke
barat
Venus berpijar bagai permata
berlian
Tapi dimana kau sekarang?
Awan-awan menari membentuk
wajahmu
Angin berhembus membisikkan
suaramu
Daun-daun melambai, menanti
senyummu
Kemana perginya, kupu-kupu
rupawan itu?
Begitu bunyi postingan baru di wall
ku, hari ini. Calek macel, siapa
sebenarnya orang itu?
Satu bulan semenjak Asti
meninggalkan rumah. Semua orang
di buat kalang kabut olehnya. Tak
terkecuali orang yang dia sebut rival,
Rama. Cowok itu baru menyadari,
ternyata selama ini, sosok Asti lah
yang memenuhi hari-harinya,
keceriaan gadis itulah yang
membuatnya kadang-kadang kesal
dan marah, walaupun memang lebih
sering marah. Meskipun selama ini
mereka cuma bertengkar dan
bertengkar lagi, tapi entah
bagaimana pertengkaran itu
menimbulkan rasa yang berbeda di
hati Rama. Perasaan yang semakin
membuatnya risau.
“Ya Ampun, Rama! Dari mana kamu?
Kenapa basah kuyup begitu?” tante
Raya yang tadi sudah cemas
menunggu kepulangan Rama,
bertambah cemas waktu melihat
bagaimana keadaan Rama.
“Aku.. tadi nyari Asti, Ma..” aku
Rama. Dia kelihatan kusut, lesu,
cemas dan panik. Semuanya terasa
bercampur jadi satu, seolah sudah
lama menghiasi wajah elok pemuda
itu.
Tante Raya mengelus punggung anak
lelaki satu-satunya. “Sabar ya,
Sayang. Sekarang kamu mandi dulu
gih! Mama siapan makan malam.”
Rama Cuma mengangguk. Lalu
berjalan gontai menuju kamar. Dia
merasa benar-benar kacau. Sampai-
sampai guyuran air hujan yang tadi
sudah membuat tubuhnya menggigil
masih belum cukup. Rama masuk ke
kamar mandi, menghihupkan shower
dan memaksakan tubuhnya
menikmati tikaman-tikaman air yang
menusuk tulang. Entah sejak kapan,
gadis bernama Lolyta Rayasti itu
berhasil mencuri dan membawa
kabur hati Rama. Membuat pemuda
itu jumpalitan saat Rama
menyadarinya dan Asti tak ada.
Tante Raya cemas melihat keadaan
Rama yang seperti itu “Ram..
Rama..”
Rama keluar dari kamar mandi.
Mukanya terlihat pucat. Tante Raya
menatap pemuda itu sendu.
“Ma.. aku.. aku takut dia kenapa-
napa, Ma.. aku…”
Tante Raya memeluk Rama,
mengelus-elus punggung tegap yang
sekarang terlihat sangat rapuh itu.
Tanpa tahu harus berkata apa.
Karena dia sendiri merasakan
perasaan yang sama. Rasa cemas
dan khawatir terhadap keberadaan
Asti sekarang.
Keadaan papa Asti pun tidak jauh
beda dengan mereka. Papa Asti
menyesal. Kenapa dulu terlalu
memaksakan kehendaknya pada Asti?
Padahal dia tahu bagaimana keras
kepalanya anak itu. Sekalipun Asti
tidak pernah menentangnya sampai
seperti ini, tapi tetap saja, anak itu
keras kepala dan nekat.
“Sayang, maafin papa ya..”
dipeluknya foto Asti erat, dia
sekarang sedang berada di kamar
Asti. “Papa kangen sama kamu. Papa
janji, Papa akan menuruti semua
keinginan kamu. Papa janji, Papa
gak akan menikah dengan tante
Caterin. Papa janji sayang. Tapi
kamu pulang ya, sayang…”
Rintihnya. Tapi rintihan itu tak
kunjung membawa Asti pulang.
—
“Pemirsa, telah terjadi tawuran
besar-besaran antara SMA K dan
SMA M. Tujuh korban meninggal dan
dua puluh tiga korban luka-luka.
Salah satu korban yang mengalami
luka cukup fatal karena pukulan
benda tumpul di kepalanya adalah
wartawan muda yang baru saja
bekerja di media masa J. Koran
sekarang sedang dilarikan ke rumah
sakit terdekat… bla.. bla.. bla..”
Kelanjutan berita itu menjadi tidak
penting untuk Trya setelah melihat
siapa gerangan wartawan muda yang
menjadi korban amukan massa itu.
Tubuh Trya langsung lemas, rasanya
dia ingin berteriak dan berlari
sekuat tenaga, tapi tak bisa.
Tubuhnya lunglai terlebih dulu
sebelum bisa melakukan apa-apa.
Reaksi seperti itu tidak hanya
ditunjukkan oleh Trya. Om Galih pun
tak kalah syok. Beliau langsung
berlari menuju rumah sakit,
meninggalkan segala macam meeting
yang menunggu kehadiran beliau.
“Tut… tut.. tut…” banyak orang yang
ada di ruangan ini, tapi hanya mesin
di sebelah tempat tidur Asti yang
bersuara. Mereka hanya berdiri dan
diam. Menatap cemas ke sosok yang
mendapat beberapa jahitan di
kepalanya. Tidak ada yang bisa
mereka lakukan, kecuali menunggu
dan berdoa supaya gadis itu baik-
baik saja.
Aku membuka mataku. Ya, kupikir
aku sudah membuka mataku. Tapi,
entah kenapa, aku tak bisa melihat
apa-apa. Seperti ada sesuatu yang
besar menghalangi pandanganku.
Aku mengerjab-erjab, berharap
benda besar itu segera menghilang
dari pandanganku. Tapi, berapa
kalipun aku mengerjab, benda besar
itu tetap tak mau menghilang.
“Asti, sayang…” aku mengenal suara
itu, itu suara papa! Benarkah suara
papa? Bagaimana mungkin papa ada
di sini? “Bagianmana yang sakit,
Sayang?” suara papa terdengar
bergetar di telingaku.
“Pa… pa?”
“Iya sayang, ini papa. Kamu tenang,
ya. Papa ada disini.” Papa
memelukku “Maafin Papa, Sayang.”
“Tes.” Ada sesuatu yang membasahi
pundakku. Papa… menangis!
“Pa…” aku ingin banyak bicara, aku
ingin protes, aku ingin berteriak,
tapi… “gelap.” Cuma kata itu yang
mau keluar dari mulutku.
“Maafin papa Sayang, maafin papa..”
papa mengeratkan pelukannya.
—
Aku menempelkan tangan dan
wajahku di kaca jendela. Bibi bilang,
sekarang sudah jam sembilan
malam, seharusnya bibi masih disini,
tapi dia pergi begitu menyangka aku
sudah tidur. Hujan. Aku… suka…
tidak… bagiku sekarang, suara hujan
itu lebih terdengar seperti jeritan
menakutkan dari pada
menenangkan. Seandainya ada tante
Raya, rasanya pasti gak akan
semenakutkan ini.
“Tuhan, apa aku boleh berharap,
tante Raya mau jadi mamaku? Tapi
Rama?”
“gluduk.. gluduk.. j’dier..”
“huh…” petir.. petir itu… mereka
mengganggu acara melamunku. Aku
takut. Tubuhku gemetaran, rasanya
lemas, tapi aku tidak boleh lenggah.
“duaarrr…”
“akh…” reflek, aku duduk dan
memeluk lututku. Aku menggigil. Ini
pertama kalinya aku takut terhadap
hujan dan petir. Hujan yang dulu ku
anggap sebagai teman, sekarang
berbalik menjadi hal yang
menakutkan. Sial! Kenapa harus
gelap seperti ini?! Mataku panas.
Dadaku sakit. Tapi aku tak boleh
menangis. Aku harus kuat. “Jangan
menangis! Jangan menangis!
Jangan…” getaran di seluruh
tubuhku tak mau berhenti. Rasanya
benar-benar menyakitkan. Sakit!
“gue bilang jangan nangis!” aku
memukul wajaku. “huh.. huh..” aku
terenggah di antara ketakutan yang
kuciptakan sendiri.
“srek… srek..” sampai suara langkah
kaki itu mengusikku.
“Siapa?” aku menyeka air mataku
yang baru mengendap keluar, sekuat
tenaga mencoba untuk berdiri dan
menahan tubuhku yang tak mau
berhanti gemetar.
“Jangan sok kuat di depan gue!”
Suara itu… “Rama!” aku kaget.
perasaanku yang tadi sudah
berantakan bertambah amburadul
setelah tahu siapa yang datang.
“Se… Sejak kapan loe ada disini?”
Dia tidak langsung menjawab. Aku
mendengar suara langkah kakinya
semakin mendekat, lalu berhenti.
“Sejak kapan gue ada disini, itu gak
penting…”
“Deg.” Aku reflek mundur sampai
tubuhku mengenai kaca. Suara Rama
menggema lembut tepat di
telingaku. “Ma… mau apa loe? Eh…”
aku semakin tidak mengerti. Rama…
dia tiba-tiba memelukku.
“Kalau loe takut, loe boleh nangis
kok..” ucapnya lembut.
“Apa?” entah kenapa, ucapan
lembutnya itu terdengar
menyakitkan di telingaku.
“Bruk!” aku mendorong tubuh Rama.
“Heh… loe tenang aja! Gue gak
butuh di kasihani!”
Rama diam, dan memperhatikan
gadis keras kepala yang sedang
memaksakan senyumnya itu.
“Kalau gak ada urusan apa-apa,
cepat keluar!” usirku. Perasaanku
tambah tak enak. Aku bingung, aku
takut. Aku bisa menerima
keberadaan tante Raya -mama
Rama-, tapi kenapa aku sulit
berbaikan dengan cowok ini? Aku
sebal. Aku gak mau terlihat lemah di
hadapan musuhku.
“Gue tahu, gue gak pernah bersikap
baik sama loe. Gue tahu, loe benci
sama gue. Tapi buat kali ini aja, gue
mohon, jangan berpikir gue berbuat
baik cuma karena gue kasian sama
loe.” Suaranya masih terdengar
rendah.
“Terus karena apa kalau bukan
kerana kasihan? Kalau bukan karena
gue buta? Kalau bukan…” sebelum
aku menyelesaikan kalimat itu,
tubuhku sudah ada dipelukan Rama
lagi.
“Sudahlah…” satu tangan Rama
melingkar di punggungku, satu lagi
mengelus kepalaku. “Sudahlah…”
“Hiks..hiks…” aku akhirnya terisak.
Tapi tubuhku berhenti gemetaran
“Gue benci sama loe!” aku memukul
dada Rama. “Gue benci…” Rama
mengeratkan pelukannya, lalu diam-
diam mencium kepala gadis itu.
—
Dandelion menjerit
Sekuat apapun dia berusaha, angin
tetap lebih kuat dari dia
Batu karang mendesah
Sebanyak apapun desahannya,
Ombak tetap menerjangnya
Andai aku bisa menciptakan sebuah
mesin
Akan kuciptakan sebuah mesin
kebahagiaan untukmu
Agar kau tak perlu menjerit
Agar kau tak perlu mendesah
Agar kau tak perlu takut dan
mengangis seperti mereka
Begitu bunyi postingan berikutnya di
wall facebook Asti. Tsubasa blue.
Sore itu terlihat seperti sore-sore
sebelumnya. Matahari tenggelam di
ufuk barat dan benda-benda akan
terlihat orange berkilauan dan
cantik. Yang berbeda adalah
perasaan Raya. Beberapa jam lalu,
Galih mengakui kebenaran kata-kata
yang hilang antara dia dan Raya 20
tahun yang lalu. “Aku masih sayang
kamu, Ray.” Begitu katanya. Dan
sekarang, pernyataan itu membuat
Raya binggung. Ada dua kubu yang
bersiteru dalam hatinya. Satu kubu
bilang bahwa dia juga masih
menyayangi laki-laki itu, sementara
kubu yang lain bilang dia tidak
boleh egois. Sebagai ibu, dia
mencemaskan perasaan Rama.
Bagaimana reaksi Rama kalau dia
tahu ibunya menyukai ayah dari
gadis yang dia sukai?. Waktu itu,
Raya Cuma bisa mengelak dan bilang
“maaf”. Seharusnya sih, Galih bisa
sedikit lebih kreatif dengan
menyusul atau minimal mencegah
kepergian Raya, tapi itu tidak
dilakukannya. Itu sebabnya, Raya
sekarang bisa berada di taman ini
sendirian. Mungkin tidak sendirian,
karena ada Rama yang dari tadi
mengamati mamanya.
Rama benci ekspresi mamanya yang
seperti itu. Mama terlihat sangat
capek dan bingung. Rama tahu,
bagaimana sejarah kehidupan mama
dam om Galih. Kemarin, Rama gak
sengaja menemukan buku cokelat
yang berisi cerita masa lalu mama.
The loss word. Cerita tentang mama
dan om Galih yang kehilangan kata-
kata berharga yang mengubah total
jalan hidup mereka. Buku itu juga
yang membuat Rama ber kesimpulan
bahwa mama dan om Galih masih
saling menyayangi. Buku yang di
tulis mama dua puluh tahun yang
lalu. Buku yang sampai sekarang
belum terselesaikan. Dan secara
tidak langsung, Rama juga ikut
berperan besar dalam keberlanjutan
kisah itu. Rama sebal dengan
dirinya sendiri. Kenapa dia harus
menyukai gadis itu? Kenapa mama
harus punya hubungan sama om
Galih? Kenapa Asti menginginkan
mama untuk menjadi mama
barunya? Ah, kepala Rama sakit
memikirkan hal itu. Tapi, dia tak
tahu harus berbuat apa. Yang dia
tahu, dia gak mau melihat keadaan
Asti seperti tadi malam lagi.
Makanya, dia memutuskan untuk
bicara pada mamanya, disini.
“Sudah ku duga Mama di sini.” Rama
menghampiri mama dan duduk
disebelahnya.
“Rama? Tahu dari mana Mama ada
disini?”
“Feeling.”
“Feeling?”
“Ya. Aku kan sudah 18 tahun jadi
anak Mama, jadi feelingku gak
mungkin salah.” Rama merebahkan
tubuh dan menggunakan pangkuan
mamanya sebagai alas kepala.
Raya tertawa mendengar pernyataan
Rama. “Eh, tumben kamu manja
sama mama?!” Raya menunduk,
menatap wajah putra tercintanya.
“Ma..”
“Hem…?”
“Mama…, suka sama om Galih?”
Raya kaget, dia mengalihkan
pandangan dari anak itu. “Kenapa
kamu tiba-tiba…”
“Rama mau Mama menikah sama om
Galih.”
Raya kaget mendengar penuturan
putranya. “Kamu ini ngomong apa,
sih? Mana mungkin mama menikah
sama om Galih?
Rama memiringkan posisinya. “Siapa
bilang gak mungkin?” Rama
memejamkan matanya. “Dia… kalau
gak ada yang jagain dia, dia pasti
berbuat seenaknya lagi. Lagian,
sepertinya dia juga suka sekali sama
Mama, dan Rama gak bisa
memaksanya menerima perasaan
Rama. Jadi mungkin, Rama bakalan
lebih seneng kalau Rama bisa terus
berada di dekat dia dan menjaga dia
sebagai saudara. Mama setuju kan?”
“Tapi…”
Rama berdiri. “Kalau Mama gak
berani bilang sama om Galih, biar
aku yang bilang..” kemudian
melangkah pergi.
Raya terbelalak, wajah dan matanya
panas. Dia menangis. “Makasih,
Sayang…”
Rama masih sempat mendengar
ucapan dan isakan mamanya. Tapi
dia tersenyum. Entah kenapa,
rasanya sangat lega.
—
Aku mengusap bingkai foto di
tanganku, itu foto mama. Rasanya
sudah lama sekali aku tidak berada
di paviliun ini dan bercerita pada
mama.
“Ma, sekarang Asti sudah benar-
benar tidak bisa bertemu dan
melihat Mama. Asti…” aku menghela
napas, menahan rasa sesak yang
menghujami dadaku, “Tapi Mama
tenang aja, Asti pasti kuat. Asti gak
akan cengeng! Oh ya, Ma, misalnya
tante Raya itu jadi mama Asti, Mama
setuju gak? Aku, entah kenapa selalu
merasa nyaman tiap berada di dekat
tante Raya. Rasanya seperti bersama
Mama lagi. Tante Raya itu baiiikkk
banget Ma, sama Asti. Asti bener-
bener berharap kalau suatu saat
tante Raya bisa jadi mama Asti.
Tapi… Rama… Mama tahu sendirikan
bagaimana hubungan Asti dengan
cowok itu? setiap kali Asti bersama
dia, Asti selalu saja bikin ribut dan
buat dia marah. Makanya gak heran
kalau dia jadi benci sama Asti.”
“Siapa yang bilang gue benci sama
Loe?”
“Rama?!” aku benar-benar gak habis
pikir, kenapa orang ini bisa tiba-tiba
datang dan pergi sesuka hatinya dan
selalu saja muncul ketika aku sedang
tidak ingin ada yang melihat dan
mendengarkanku. “Kenapa sih, Loe
tuh selalu…”
Rama memotong kalimatku. “Gue
mau minta izin buat jadiin om Galih
sebagai papa gue.”
Aku kaget. “Apa?”
“Iya, Sayang… Kamu gak keberatan,
kan?”
“Papa?” aku menoleh ke arah sumber
suara.
“Tante boleh kan, jadi mama kamu,
As?”
“Tante Raya?” aku tidak tahu apa
yang terjadi. Kejadian ini
membuatku sedikit syok. Beberapa
detik aku hanya diam dan mencoba
menerima keajaiban yang sedang
aku alami ini.
“Gimana, Sayang?” pertanyaan itu
langsung mengembalikan pikiranku.
“Boleh, boleh banget, Tante.”
Anggukku senang. Aku merasa
seperti anak kecil yang baru saja
mendapat permen lolipopnya.
Rasanya benar-benar senang sekali.
“Makasih, Sayang.” Tante raya
memelukku. Aku membalas
pelukannya.
Entah sejak kapan mama dan papa
bersekongkol meninggalkan aku.
Tahu-tahu tinggal aku dan Rama
yang berada di ruangan ini.
“Mulai sekarang, loe harus manggil
gue kakak!” aku mendengarnya
mendekat. Sekarang sepertinya, dia
berada di depanku.
“Enak aja, loe yang harus manggil
gue kakak!”
“Eh, anak kecil mau di panggil
kakak…”
“Kita seumuran tahu!”
“Pokoknya loe yang harus manggil
gue kakak!”
“Gak bisa!”
“Pokoknya bisa!”
“Gak bisa!”
“Bisa!”
“Eh…” aku tersentak, suara Rama
terdenar sangat dekat, sekarang aku
yakin, dia berada tepat di
hadapanku. ‘bug’ detik berikutnya,
tanganku sudah melingkar di tubuh
cowok itu. Aku memeluknya.
“Ah?” mata Rama membelalak kaget.
“Terimakasih…. Kakak.” Ucapku
sambil mengembangkan senyum.
Rasanya tidak ada hal yang lebih
membahagiakan selain keajaiban
yang terjadi padaku sekarang. Tuhan
boleh mengambil penglihatanku,
tapi Dia memberiku hal yang tak
kalah indahnya.
Mata Rama kembali membesar. Tapi
kemudian ia tersenyum dan
membalas pelukan Asti,
menumpahkan seluruh perasaannya
di sana. Perasaan yang mulai
sekarang harus benar-benar dia
abaikan. Perasaan yang sampai
kapanpun tidak akan pernah
mempunyai jawaban. Perasaan yang
harus dia kubur dalam-dalam, harus
dia buang jauh-jauh, supaya hanya
dia dan heaven yang tahu perasaan
itu.
The lost word. Kisah tentang Raya
dan Galih dua puluh tahun lalu,
sekarang kata yang hilang itu sudah
berhasil mereka temukan. Tapi bagi
Rama, kata yang hilang itu tetap
menjadi kata yang hilang, kata yang
tidak akan pernah ditemukan Rama
dalam kamus kehidupannya untuk
Asti, mulia sekarang dan untuk
selamanya.
Aku menggenggam serpihan waktu di
kedua tanganku
Dalam diam aku mencengkeram
kenangan yang terlupakan
The loss word
Ketika aku mengingat satu persatu
peristiwa yang terjadi
Ku pikir aku mengerti segalanya
Kata-kata yang menghilang secepat
mereka mendekatiku
Arti kata-kata yang di ucapkan
Cinta yang tak diragukan
Perasaan yang tak terbalaskan
Andai saja kita bisa mengungkapkan
segala hal
Hanya dengan saling memandang
The loss word
Aku akan menjaga rasa ini dalam
hatiku
Aku kehilanganmu
The loss word
No regret live
Itu adalah potingan terakhir dari
Calek macel di wall facebook Asti.
Cmst.bts.monta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar