20 Januari 2014

Di Bts.Montong Tangi

Sila & Gerimis remben
_________________________
Seperti sebuah cerita, Lila
mengisahkan dirinya. Dari bibirnya
mengalir sebuah lorong, tiada
menera apa-apa selain hampa dan
kesunyian. Seperti berusaha
menemu arti kebahagiaan sekali
lagi, seperti sepotong luka yang
ingin menghirup wangi udara dari
remah-remah mimpi. Sedang tak
ada mimpi bagi orang-orang yang
tak pernah tertidur. Tinggal Lila
sendiri sibuk meratapi luka yang
tak hendak tertutup, luka yang tak
hendak lelap oleh lapar dan
kantuk.
Lila tak hendak menceritakan kisah
yang lain selain dirinya, kisah yang
ingin ia tulis sebagai satu-satunya
kenangan bagi sang waktu. Ibu
yang memiliki segala-galanya. Tapi
serupa jurang yang menganga
menunggu tubuhnya jatuh
meluncur, ia tak pernah menemu
dasar, bahkan ia tak pernah
menemu jalan untuk menuliskan
dirinya kembali. Tak ada dawat
yang cukup kental untuk
menyatakan luka-lukanya, tak ada
pena yang cukup tajam untuk
mendedah kesunyiannya.
Begitulah, seperti sebuah kisah
yang tak pernah selesai dituturkan,
Lila merubah insomnia sebagai
satu-satunya cara untuk
menafsirkan kepedihan.
Serupa angin, ibu masih suka
mengajaknya berjalan mengarungi
senja atau menjemput fajar. Ketika
usia masih belum menera
kesendirian di dada Lila, ketika
tangan lembut ibu masih sering
mendekap tubuhnya. Dan harum
samar yang terbit dari kulit ibu
seperti kuncup melati yang mekar
di pekarangan, menjalar di pagar
bambu, dan menciptakan lanskap
cantik tepat di depan jendela
kamar Lila. Masih serupa angin,
ibu sering berbisik ke dalam
telinganya. Menuturkan puluhan
cerita, mendendangkan ratusan
lagu. Tak sempat mengingat ada
temaram kabut di mata ibu, atau
sesayap nyeri menggeliat dalam
dadanya. Begitulah ibu menanam
pokok melati itu di hati Lila,
bersama tawa dan kegembiraan.
Merangkum sunyi dan perih di
dalam lembut tetesan hujan. Tiada
henti mengalir, mengguyur tubuh
Lila, membasahi tunas-tunas muda
dalam hatinya.
Namun serupa hujan membawa
kelam langit mendung, ada
kelopak-kelopak bunga melati yang
gugur, ranting yang runduk di
dalam cemas dan basah daun-
daun. Membaca wajah ibu,
membaca luka waktu. Kerjap kilat
di langit, dan gemuruh guruh
pecah di awan-awan. Menanda
nyeri di dada Lila.
Sekiranya saja ibu bisa menjelma
di setiap putaran waktu, maka tak
perlu ada kesedihan… Desah angin
membelai kepala Lila. Dan rumpun
melati itu menjadi basah oleh
genangan hujan yang tak putus-
putus turun dari langit.
Tepat di detik itu, Lila melukis
senyap bersama bayangan ibu.
Berlalu dari dalam rumah melewati
ruang tamu, lalu membuka pintu.
Melewati halaman dan riuh jalan
raya sebelum henti di bawah pokok
kamboja, henti di dalam lengang
batu-batu tempat menanda dunia
orang mati. Tak ada karangan
bunga, hanya rintik gerimis dan
gugur daun-daun. Serpih ingatan
yang menyentuh rumpun bambu di
pekarangan, umpak yang pecah
dan pagar yang nyaris roboh.
Semuanya berbicara kepada Lila;
setelah waktu, setelah detik itu
berlalu, semua menggumamkan
kematian, mengalunkan tembang
yang entah berasal darimana, dari
dunia yang jauh. Suara yang luruh
bersama gerimis. Telah tumbuh
sepasang sayap di punggungmu
Ibu, tapi mengapa kau tinggalkan
diriku sendiri saja?
Tak ada jawaban dari bibir ibu,
hanya senyum yang menanda
senyap. Mungkin ada sesayap nyeri
yang sempat melintas, angin
dingin menerpa wajah Lila dan
mencuri ingatan di dalam
benaknya, menghapus tangis dari
pipinya. Namun kosong itu seperti
enggan berlalu dari dalam hati.
Bercokol begitu dalam,
membawanya berjalan memasuki
lorong tanpa ujung, waktu yang
berulang dan terus berulang
menulis ibu, bicara ibu,
meneriakkan ibu. Waktu yang tiada
henti menggali nyeri, berputar
kembali tepat di detik itu. Lila
menggambar senyap bersama
bayangan ibu. Berlalu dari dalam
rumah melewati ruang tamu, lalu
membuka pintu. Melewati halaman
dan riuh jalan raya sebelum henti
di bawah pokok kamboja, henti di
dalam lengang batu-batu tempat
menanda dunia orang mati.
Sekiranya rembulan bisa bercakap,
atau menulis peristiwa itu sekali
lagi. Ia akan sempat menemu
angin di atas hamparan awan
mendung dan senja yang membeku
di langit, sibuk melukis titik-titik
hujan yang membuat telaga dalam
tubuh ibu. Gerimis yang gugup
dan tak berani mengangkat muka
untuk menatap sisa harap dalam
pejam matanya. Barangkali masih
ada getar dedaunan di luar sana.
Karena wajah ibu masih serupa
Lila, kuncup seroja di tengah
taman, batu-batu berlumut,
jendela-jendela tertutup dan
bunga bugenvil di atas pergola
merenda hati dari benang-benang
kesunyian. Hamparkan resah,
seorang kanak-kanak dengan
gemuruh air terjun dalam
dadanya. Menera gersik pasir dan
runcing kerikil, mengusik waktu
yang sejenak terdiam, dengung
nyamuk dan suara katak melangkah
ke gerbang makam. Berusaha
menghapus perih di mata. Desah
yang kemudian melompat,
mengetuk pintu jendela malam
perlahan sebelum menelusup di
bawah bayang-bayang rembulan.
Sepenuh hasrat Lila mencium
wajah senyap yang terlanjur lekat
di garis bibir ibu yang pucat
kebiruan.
Menatap wajah ibu di gerbang
waktu, melontarkan Lila ke dalam
mimpi; deru debu, derak suara
dokar, ringkik kuda dan hamparan
sawah masa lalu. Sekumpulan
bocah seumur Lila gembira
bermain gundu dan lompat tali,
menangkap pias wajah rembulan di
remang senja. Menelusuri jalanan
berbatu pulang ke rumah ibu,
kepada kampung halaman, kepada
hamparan ladang, kelok pematang
sawah dan rumpun bambu di
kejauhan. Rindu masih menera
bunyi sekali lagi, semilir angin,
merdu suara tekukur, dan sisa tawa
kanak-kanak yang mengabur
bersama debu dan roda yang
berputar. Menggenggam tangan
ibu, dalam kehangatan yang tiada
henti terpancar dari teduh
matanya. Serupa melankoli,
memanggil waktu pulang kembali,
keping hasrat dan kerinduan. Seri
wajah ibu dan rumah kakek
melambai di kejauhan.
Menatap wajah ibu di gerbang
waktu membuat Lila entah
mengapa ingin tertawa, seperti
sedang mengingat kembali sebuah
kisah lucu dimasa kanak-kanak.
Waktu yang memerangkap dirinya
di dalam almari, dalam gantungan
baju-baju dan sepotong fajar yang
tersemat di dinding. Ada remang
cahaya yang berpendar di sana
membunyikan musik di dalam
gelap, dalam tarian sepasang angsa
yang berenang di dalam genangan
kerinduan. Dalam latar sebuah
lanskap berwarna putih dan
seorang ibu dengan sepasang
sayap. Lila tak pernah menangis
semenjak itu, seperti hendak
melupa perih waktu yang pergi
bersama ibu dan meninggalkan
tetesan gerimis di atas tempat
tidurnya.
Tak ada sayap-sayap pelangi yang
lebih cemerlang dari milik ibu, ia
yang menyimpan senyum di sela-
sela bulu sayapnya dan tubuh
mimpi yang terbaring dalam
cahaya fajar. Membuka jendela dan
menghirup seluruh udara cinta
yang tersebar dari ranting-ranting
pohon dan semak-semak forget me
not. Dingin embun yang selalu
menyentuh hati Lila. Dan rumah
mungil itu seperti melampaui
semua cerita masa kanak-kanak, ia
yang tak lagi menangisi
kesendirian. Ia yang telah
merangkum sunyi menjadi bagian
abadi dan paling rahasia dalam
hatinya. Serupa ikan yang
berenang di dalam kolam di
belakang rumah, serupa batu-batu
berlumut, dan riak yang terpecah
dari air yang mengalir dari tabung
bambu. Lila telah tenggelam
dalam pusaran waktu, berusaha
melupa airmata kesedihan dan
perihnya kematian. Sayu wajah ibu
yang mengabur di remang kabut
sebelum kemudian menghilang
tertawan gelap.

Penulis
Cmst.bts.monta
_____________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar