28 Januari 2014

Nafas Semesta

Katakan kepada hidupku, tentang
cinta yang menyatukan langit dan
bumi.

Katakanlah kepadaku, wahai
kekasih.
Saat jiwamu kau pagari dengan
kesucian.
Maka tak kan ada ruang bagi
budak-budak cinta akan
memasukinya.

Maka hidupku adalah jiwa yang
mabuk dan terpesona dengan pijar
di matamu.

Padahal sinar matamu teruntuk
jalan bila gelap, dan buat cahaya di
antara hati dan mimpi.

Akulah yang melihatmu dalam pijar
langit dan bumi.
Yang mengajariku bahwa cinta
adalah kenyataan yang memenuhi
keduanya.

Jika mimpi telah beranjak, siapakah
yang menemukan kemuliaanya
kembali di tanah ini ?

Mimpilah yang mengajarkan hidup
tentang kehalusan, dan jiwa yang
penuh kasih.

Katakanlah kepadaku,
hai kekasih, yang memijarkan
kalbuku adalah jiwamu.
Lalu mengapakah aku seperti
budak-budak kesunyian kerena
rasa cinta kepadamu.

Adakah hidup yang mencintai
adalah kebencian di langit, karena
telah ku pijak sang bumi dengan
rindu-rindu hatiku kepadamu.

Katakanlah kekasih,
tentang cinta yang menyatukan
langit dan bumi.
Di saat langit mengenggam jiwamu,
aku juga memburu nafasmu.

Biarkan aku berpacu dengan jalan,
waktu, dan takdir.
Dan janganlah bulan menjauhiku
jika malam aku melukismu.

Bumilah tempat kasih jiwa tumbuh,
dan langit adalah pucuk- pucuknya.
Kekasih dengarlah jika langit telah
menghujamiku cerca, ia berkata,
“pergilah kepada kesunyian dan
hati yang tersiksa, di jalan-jalan
bumi cinta menyengsarakan hati,
dan menjauhkan segala mimpi. “

Cintakah yang melibatkan hidup di
dalam penantian, pada hari-hari
yang tidak pernah pasti.

Tentang keburamannya yang
menebar tak terarah.
Menghapus cahaya dan jiwapun
sirna.

Atau cintakah yang melarikan
mimpi- mimpi ke dalam belenggu
sunyi, yang memenjarakan kalbu.

Maka simaklah apa yang
diucapkannya saat ku pandang
langit dari atas negeri ini,
“ tembuslah sejauh cakrawala
untuk bisa meraih sang cinta, atau
jika engkau telah mengarungi
semua kematian. “

Yah, cinta adalah kematian
sekaligus kehidupan.
Kematiannya seperti para pemabuk
yang tidak sadarkan diri, berjalan
dalam sunyi malam, mengigau di
lorong-lorong kota, menjeritkan
ketidaktahuan dan kegelisahan.

Cinta yang membunuh kesadaran,
merampas jiwa menjadi budak-
budak cintanya, membelenggunya.
Menjadikan jiwa-jiwa putus asa,
membenci kehidupan, mendendam
kepada senyuman yang tersungging
di bibir pagi.

Cinta adalah kuburan bagi
kenangan, yang diziarahi tangis dan
mimpi, yang selalu ditaburi doa-doa
sunyi, di saat jiwa meratapi dunia
yang merebut janji sang kekasih.

Cinta adalah saat-saat buta, karena
tidak dapat melihat selain wajah
keinginan, dan menatap kerinduan
bagai alam yang teramat jauh, yang
tidak akan terjangkau selamanya
meski hidup telah melakukan
segalanya.

Sedang hidupnya cinta seperti jiwa
yang berfijar, laksana suluh yang
membangunkan tidur yang beku
karena waktu senantiasa
melelapkan lembah- lembah, dialah
fijar yang membidik titik
kebangkitan bagi kehidupan yang
telah diselubungi aroma kematian
di kalbunya.

Cinta seperti pijar yang keluar dari
keluhuran semesta,
menjadikan cahaya wajah begitu
indah pada senyum bahagianya,
lidahnya yang melantunkan puji-
puji, tangannya yang melukis
kenyataan,
jiwanya yang menulis kebenaran,
dan hidupnya mengusir kematian
segala makna.

Cinta adalah pijar di kegelapan dan
kehampaan, saat para jiwa
terduduk lesu terperangkap.
Yang menembus ke dalam naluri
dan menerangi sisi yang sunyi,
mengajarinya melihat hidupnya
langit, dan menghangatkannya
dengan menghidupkan kasih.

Maka dimanakah kehidupan cinta,
yang bisa melindungiku dari
kesedihan.

Atau bisa menghindarkanku dari
sunyi yang membunuh.

Ucapkanlah, hai kekasih.

Dari lidah jiwamu, tentang cinta
yang menyatukan langit dan bumi.

Agar ada jalan bagi bayanganku
yang menjejaki bumi dapat
melayang tinggi di sekitar langit,
bersama bayangmu yang menghiasi
mimpi-mimpi.
°°°°°°

bts.CMsT.monta.sakti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar