Papuk Pengot
____________________
MONTA.BT SAMBAK..19 Januari
Matahari tetap terbit dari timur
dan tenggelam di ufuk barat,
walau kini aku telah berumur tiga
puluh dua tahun. Matahari boleh
tetap bergulir dari timur ke barat,
tapi perjalanan hidupku tak
mampu bergulir tetap. Perubahan
demi perubahan menjadi warna
dalam hidupku. Si Bajang Senang.
“Puas-puaskan masa mudamu.
Agar kelak, tidak menjadi duri
dalam keluarga.” Kata-kata
mendiang ibuku yang telah lama
meninggal. Masih kental di
ingatanku. Keinginan berumah
tangga pun timbul tenggelam,
bagai sabut yang dipermainkan
gelombang pasang di lautan lepas.
“Kamu kurang apa lagi, Her?
Tampang punya. Pekerjaan oke.
Umur pun sudah lanjut.” Kata
Ramli di suatu pagi. Saat kami
bertemu di sebuah warung kopi dekat GOMBLENG.
“Belum ada jodoh agaknya.”
Kataku asal-asalan. Padahal hati
di dalam sedang gundah.
“Cari-carilah. Usaha perlu. Doa
pun jangan engkau lupakan. Tak
mungkin tunggu beruban dulu
baru mau meminang anak orang.”
Aku membenarkan kata-kata
Ramli, temanku waktu SMP.
Sekarang dia sudah berkeluarga
dan mempunyai seorang anak
perempuan. Senang betul aku
lihat kehidupan mereka.
Sedangkan aku? Tak laku-laku.
Ada yang berangen sama aku, aku
pula yang tak berminat. Giliran
aku yang berangen. Gadis yang
aku meletan itu sudah jadi istri
orang. Tebilin lagi. Mungkin aku
kena Tularmanuh agaknya?
Sejak pertemuan dengan Ramli itu.
Aku terus berusaha dan berdoa.
Baru setelah usiaku memasuki
Tiga puluh tiga tahun, aku
berkenalan dengan seorang bebalu
cantik berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Namanya Kharisma.
Bebalu itu memiliki anak yang juga
sangat cantik berusia dua belas
tahun. Namanya Mayang.
Ternyata dia cocok
mendampingiku. Tidak lama
kemudian kami menikah.
Pestanya lumayan besar. Semua
sanak saudara tidak ketinggalan
menerima sepucuk surat
undangan.
Rupanya kebahagian tidak
bertahan lama. Aku ditugaskan ke
Gawah lauk. Butuh waktu yang
lama untuk berkumpul lagi. Tapi
ada satu hal yang buat aku
semangat untuk bekerja dan cepat
pulang, kesetiaan Kharisma
menungguku kembali.
Tak terasa sudah lima tahun aku
bekerja di gawah lauk. Baru tiga
kali aku pulang. Pagi itu aku
menerima telepon dari Kharisma.
Dia suruh aku pulang karena
ayahku yang sudah duda mau
menikah lagi. Mungkin dia
kesepian. Tapi alangkah
terkejutnya aku ketika mendengar
calon istri ayahku itu Mayang.
Anak tiriku yang saat ini berumur
tujuh belas tahun. Rupanya
mereka sudah saling mencintai.
Aku tak bisa pulang kerena
pekerjaan menumpuk. Dengan
berat hati terpaksa aku merestui
pernikahan mereka. Dan tak lama
kemudian mereka menikah. Hal
ini berarti ayahku sekaligus
menjadi menantuku, suatu hal
yang membingungkanku, sebab
anak tiriku sekaligus menjadi ibu
tiriku karena dia menikah dengan
ayahku. Meskipun secara hukum
pernikahan mereka adalah legal
dan sah. Tetap saja masalah itu
membebani pikiranku.
Belum selesai masalah ayahku
dengan Mayang. Kembali
pikiranku terbebani. Istriku
melahirkan seorang anak laki-laki.
Bukannya gembira, aku malah
stres bila memikirkannya karena
anakku menjadi saudara dari
anak tiriku, berarti dia adalah
saudara dari ayahku. Ini berarti
anakku sekaligus pamanku. Suatu
hal yang membuatku sedih sekali.
Ujian hidup makin bertambah
saat istri ayahku, yang juga anak
tiriku melahirkan seorang anak
perempuan. Hal ini berarti anak
perempuan itu cucuku, karena
aku adalah suami dari neneknya.
Dan sekaligus saudara
perempuanku, karena dia anak
dari ayahku.
Istriku ibu dari anak tiriku. Yang
juga menjadi ibu tiriku, karena
dia istri ayahku. Berarti dia
istriku, dia juga sekaligus
nenekku, sebab dia nenek dari
saudara perempuanku. Bila
istriku adalah nenekku, berarti
aku cucunya. Ini betul-betul
membuatku tambah pusing.
Tiap hari aku hanya memikirkan
silsilah keluarga anehku saja.
Prestasi kerja menurun. Tugas-
tugas kantor terbengkalai. Untung
atasanku pengertian. Dia
menyuruhku pulang untuk
mengistirahatkan pikiran. Saking
parahnya kondisiku, sesampai di
rumah Kharisma tidak
mengenalku. Dia malah
memberiku uang recehan.
Dikiranya aku pengemis. Hal itu
disebabkan tampangku urak-
urakan. Wajahku kelihatan lebih
tua, padahal umurku baru empat
puluh tiga tahun.
Dua hari berikutnya. Aku berjalan
keliling kampung di bawah sinar
matahari yang menyengat. Di saat
aku kebingungan tanpa arah.
Pundakku ditepuk seseorang.
Secepat kilat aku menoleh ke
belakang.
”Maher, ’kan?” Lelaki muda itu
menebak-nebak.
”Iya, siapa ya?” Aku coba
mengingat-ingat sambil memijit
pelipis.
”Aku Ramli, temanmu waktu
SMP.”
Aku baru ingat. Ramli, dia
kelihatan lebih muda dan gagah
dari aku. Dia mengajakku ke
rumahnya. Kami berjalan
beriringan bagai seorang kakek
yang dituntun oleh cucunya. Tidak
lama kemudian kami sampai di
sebuah rumah besar. Rumah itu
berdinding keramik warna abu-
abu bening. Atapnya terbuat dari
genteng berglazur warna hijau
mengkilat. Rumah berantena
parabola itu mempunyai halaman
luas ditanami dengan rumput hias
yang mirip bentangan permadani.
Kami duduk diteras biar full
angin.
”Kenapa engkau kelihatan lebih
tua, her?” Ramli bertanya sambil
menyeruput teh hangat yang baru
dihidang oleh istrinya.
”Banyak masalah yang
membebani pikiranku, lek”.
”Masalah apa?”
”Silsilah keluargaku Aneh”.
”Aneh gimana?”Aku menceritakan
silsilah keluargaku dari awal
sampai akhir. Ramli menggeleng-
geleng kepala.
”Benar-benar membingungkan.”
Ramli berkomentar sambil
menatap iba kepadaku.
”Kamu dengar saja sudah
bingung, apalagi aku yang
mengalaminya”.
Satu hal yang bikin aku gila bila
memikirkannya adalah, sebagai
suami dari nenekku, berarti aku
menjadi ’KAKEK DARI DIRIKU
SENDIRI!”
Susah Baturrrrrr!!!!!!!!!
__________________________
Cmst.bts.monta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar