25 Januari 2014

Loang Batu Sambak

Desa yang aneh. Saat warna
merah di ujung langit, desa itu
senyap. Begitu hening dan
pulas. Meski lampu-lampu
mulai dinyalakan, nyaris tak
ada desah keluar. Suara bisu
desir angin yang berbisik di
celah hutan bambu,
mencekam. Batu-batu jalanan
desa seperti tahu bahwa tidak
seharusnya suara menjadi
penguasa saat senja mulai
datang, dan kesedihan tanpa
terasa saling menyapa di
antara awan yang berwarna
jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti
bedug bertalu-talu memecahkan
dada. Tapi, layaknya aturan dari
Tuhan, di desa itu kesedihan tidak
boleh dibicarakan. Seperti tiran,
ketika kesedihan dibicarakan, tanpa
ampun lagi, kerongkongan penduduk
berlubang dengan sendirinya, dan
suara selamanya tidak akan pernah
keluar dari mulutnya.
Orang-orang dengan rongga di
kerongkongan segera menutupi
lehernya dengan berbagai cara. Ada
yang memakai kalung dengan batu
mulia sebesar lubang itu, ada yang
memesan pakaian khusus agar leher
mereka tertutup rapat. Pada intinya
lubang itu harus ditutupi, karena
kalau tidak, rongga di leher itu
begitu mudahnya infeksi dan
kesakitan akan menghebat.
Kesedihan yang melahirkan
kesakitan. Orang-orang di desa itu
tak ingin mengalami kesakitan,
sehingga setiap kesedihan datang
mereka akan berupaya sekuat tenaga
menyembunyikannya dengan rapat,
bahkan nafas mereka pun tidak tahu
di mana kesedihan itu berada.
Sepanjang pagi dan siang yang
tampak hanya wajah-wajah bahagia,
tawa yang menggelegar, basa-basi
yang begitu meruah. Orang-orang
yang berongga di lehernya pun akan
selalu menampakkan muka terbaik
mereka. Membentuk senyuman.
Mereka seperti mencoba menebus
keteledorannya karena sudah
membuka kesedihan kepada angin
dan suara. Dunia adalah bahagia,
begitulah jargon yang berlaku.
Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah
rasa yang, kalau perlu harus
dimusnahkan.
Sejak lahir pun bayi-bayi tahu
bahwa jargon itu seperti dogma
yang terus didengungkan kepada
roh-roh suci itu. Para ibu membuai
anak-anaknya dengan senandung
anti kesedihan. Ketika anak-anak
besar dan bertanya tentang kata
sedih, buru-buru dibungkamnya
mulut mereka rapat-rapat sambil
berkata bahwa penguasa kegelapan
akan segera datang begitu kata itu
keluar dari mulut anak-anak yang
begitu indah bola matanya.
“Nak, bunuh kesedihanmu, kita
cincang air mata demi dunia yang
gembira, jauhi dunia gelapmu,
hanya tawa yang berhak tinggal di
hati kita,” demikian kira-kira
senandung itu. Sambil menikmati
kehangatan dada ibunya, bayi-bayi
menyimpan gambar tentang dunia
yang hanya boleh bahagia.
Ketika pemilihan kepala desa, para
kandidat berlomba-lomba
menawarkan program paling efektif
bagaimana melawan kesedihan.
Seperti supermarket dengan diskon
besar-besaran menjelang hari raya,
program yang paling menarik akan
diserbu habis-habisan. Bahkan para
mahasiswa yang melakukan kuliah
kerja di desa itu diwajibkan hanya
mengajar program kebahagiaan dan
sebuah kontrak bermeterai harus
mereka tanda tangani dengan sangsi
sangat berat bagi yang
melanggarnya. Tiran emosi! Begitu
umpatan para mahasiswa .
Benar-benar desa yang suka cita.
Semua mematuhi peraturan desa itu
tanpa kecuali. Termasuk Kemplu,
jagoan desa itu. Dia bahkan begitu
gencar menggaungkan kampanye
bahwa kesedihan adalah kejahatan
besar. Air mata harus ditekan habis-
habisan. Bahkan ketika badai besar
menerbangkan keluarganya entah
kemana, Kemplu tertawa gembira,
diadakannya pesta besar dan
dijamunya hampir seluruh penduduk
desa. Tak lama kemudian dia kawin
lagi dan beranak pinak. Benar-benar
hidup harus berjalan katanya.
Ditertawakannya orang-orang yang
berongga di lehernya. Orang-orang
yang lemah. Begitulah cemoohnya.
“Hanya orang-orang yang lemah yang
menangis, emosi yang diumbar itu
hanya milik orang-orang tak
bermartabat. Air mata adalah
kebodohan.”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa
berbohong. Ketika warna di batas
antara dunia dan mimpi itu seperti
air mata yang hampir jatuh,
kesedihan seperti menyeruak begitu
saja dari dada para penghuni desa
itu. Kepanikan selalu melanda setiap
menjelang senja. Segera diikatnya
dada mereka dengan tali yang
begitu erat, mulut mereka ditutup
dengan plester yang sangat kuat.
Mereka mati-matian berusaha agar
kesedihan itu tidak meledak, agar
leher mereka tidak berongga dan
kesakitan tidak menjadi teman
sepanjang nafas yang tersisa.
Mereka diam di rumah dengan peluh
berbulir-bulir menahan agar ledakan
dada yang sarat kesedihan tidak
jebol dari mulut dan mata mereka.
Setiap orang mencari cara agar
kesedihan tetap pada tempatnya; di
ujung paling sepi hatinya. Kalau
perlu Tuhan pun tidak boleh
menemukannya.
Di antara mereka ada yang dengan
tegas menukar dengan suka rela
kesedihan yang sudah tidak bisa
dikuasainya dengan senyum lembut
malaikat maut. Kesakitan karena
kerongkongan berongga lebih
mematikan dibanding penggalan
pedang yang paling tajam. Di setiap
semburat jingga mulai bertiup di
ujung cakrawala, hampir tidak ada
satupun pintu dan jendela yang
terbuka. Semua rapat menyimpan
kesedihan yang meledak-ledak di
rumah-rumah mereka.
Anehnya Kemplu selalu menghilang
di setiap senja. Istrinya hanya tahu
dia pergi ke hutan di ujung desa.
Hutan yang dinamai hutan Gembira
oleh penduduknya meski entah
kenapa nama itu seperti berolok-olok
dengan udara yang dihembuskannya
setiap pagi, yang pekat dengan
kesedihan.
Jika angin berhembus di atas pohon-
pohon hutan itu, gesekan daun-
daunnya menyenandungkan requiem
yang paling pedih. Badan pohon-
pohon itu bergaung bersahut-
sahutan dengan irama yang lantang,
menyenandungkan kesedihan yang
pekat.
Ketika orang menyentuh papan nama
“Hutan Gembira”, mereka seperti
menembus jantung dan mengambil
dengan paksa kesedihan di dalamnya
untuk dimuntahkan. Persis “ilmu
Rogoh Jantung” para penjahat keji
di film laga .
Meski demikian teka-teki tentang
hutan itu belum pernah ada yang
bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu
yang setiap pagi keluar dari hutan
dengan penuh tawa dan keceriaan
luar biasa, selalu menjawab, bahwa
kesedihan hutan itu sudah ada
bersama tanahnya saat Semesta
menanam pohon pertama kalinya di
sana. Semesta menangis karena
Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu
dispensasi satu-satunya kenapa
kesedihan diperbolehkan di muka
bumi ini.
“Adam manusia pertama, dia punya
hak khusus dan hanya satu-satunya
yang boleh merasakan rasa sedih
itu. Rasa itu begitu memekat di hati,
anak cucunya harus membasminya.”
Sihir. Kata-kata ajaib. Semua
mengamini tanpa ragu setitik pun.
Hingga satu hari, kepala desa
memutuskan bahwa satu-satunya
jalan agar tingkat kebahagiaan di
desa itu meningkat pesat adalah
membuat taman keriaan yang
termegah di negeri ini dengan cara
membabat Hutan Gembira. Semua
setuju, juga orang-orang dengan
rongga di kerongkongannya. Mereka
berharap dengan taman keriaan itu
rasa sakit yang bernanah di
kerongkongannya hilang. Hanya
Kemplu yang protes.
“Kita perlu oksigen segar dan itu
merusak lingkungan,” lantang
teriaknya, menirukan para aktivis
linkungan di televisi. Kepala desa
yang mengaku keponakan jenderal
yang berkuasa itu tetap keras
kepala. Saat Kemplu mengorganisir
anti taman keriaan, saat itu pula
buldoser-buldoser didatangkan
untuk menyapu rata hutan Gembira.
Dalam dua-tiga jam, hampir seluruh
pohon tumbang. Hanya satu pohon
yang tersisa.
Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba
semencekam saat senja, padahal
terik matahari seperti meretakkan
kepala mereka, seperti saat sakaratul
maut tersenyum dan siap mencabut
semua jejak nafas.
Buldoser mendekat ke satu-satunya
pohon yang tersisa. Ketika mulut
buldoser hanya tinggal satu senti
dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara
Kemplu keluar dengan lolongan
kesedihan yang begitu pekat.
“Jangan…!” suara yang keluar
bercampur isak yang sudah bertahun
membatu.
Seperti geledek di musim kemarau
yang parah, semua warga jantungnya
berhenti berdetak. Kemplu, lelaki
paling jagoan di desa itu
melantangkan kesedihan begitu
hebat. Isak tangis yang meruah tak
bisa dihentikan oleh buaian
perempuan berpayudara surga
sekalipun.
“Di rongga pohon itulah keluargaku
tinggal. Mereka tidak hilang
bersama badai. Aku bercakap kepada
mereka di setiap senja. Aku berikan
percakapan bernama air mata di
sana. Rongga itu adalah mulutku
sekaligus telingaku. Aku mencium
bau keringat mereka dan kubelai
dengan seluruh cinta yang aku
miliki . Badai itu telah menipu
kalian. Keluargaku selalu sembunyi
di rongga itu, kucumbu mereka
dengan percakapan paling sepiku.
Maafkan, kesedihan ini tidak
tertahankan. Aku butuh bicara
tentang kesedihanku, aku butuh
berbagi. Aku tidak tahan. Tolong ,
jangan ambil pohonku, hanya itu
satu-satunya yang mau
mendengarkanku…. Aku akan mati
tanpa rongga itu….”
Suaranya makin menghilang. Sebuah
rongga di kerongkongannya tiba-tiba
menyeruak. Semua orang menjerit,
karena rongga itu tidak berhenti
sebatas kerongkongan. Rongga itu
terus membesar hingga akhirnya
tubuh Kemplu meledak dan serpihan
tubuhnya berhamburan. Hanya
jantungnya yang tetap berdetak.
Istri barunya pingsan, anak-anaknya
meleleh. Hening pekat.
Rahasia kesedihan hutan Gembira
pun tersingkap. Sambil meyakinkan
dirinya bahwa adegan itu mungkin
hanya ilusi, kepala desa memungut
jantung berdetak itu. Berhati-hati
dimasukannya ke dalam rongga
pohon terakhir itu. Begitu
dimasukkan, pohon itu hidup seperti
di ruang keluarga bahagia di iklan
TV. Suara gelak tawa yang
menggelegar, dentingan piano,
keriaan yang penuh. Semua warga
yang mendengarnya, tahu bahwa
Kemplu benar-benar bahagia di
dalamnya.
Sejak itu, ada yang berubah. Setiap
senja, desa itu begitu riuh dengan
tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi
hangat. Pintu dan jendela di buka
lebar-lebar. Meski angin akan
merapuhkan tubuh mereka, tapi
penduduk desa itu tahu bahwa hati
mereka akan menahannya. Mereka
tahu, setiap senja jatuh, hati mereka
akan mengeras dan menguat.
Mereka menerima dengan suka cita.
Kesedihan yang sangat bersahabat….
Ketika mereka mengenalnya,
kesedihan justru menjadi begitu
pemurah dan melimpahinya dengan
detak bernama bahagia. Hutan itu
tetap berfungsi sebagai ruang
publik. Sekarang justru bernama
Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan
boleh menangis sepuas-puasnya.
Bahkan pengunjung taman yang
sedang gembira dan ingin
merasakan bagaimana indahnya
kesedihan di taman itu bisa
membeli obat perangsang kesedihan
yang ditawarkan petugas penyobek
tiket tanda masuk. Setiap
pengunjung sebelum pulang akan
menyempatkan berfoto di pohon
Kemplu, demikian mereka menyebut
satu-satunya pohon yang tidak di
tebang itu. Pohon yang merindang.
Berterimakasihlah kepada kesedihan
dan airmata karena bersamanya kita
belajar kekuatan yang sempurna.
Sebuah lingkaran tidak harus bulat
penuh seperti halnya garis tidak
selalu lurus.
Sebuah senja yang indah, sebuah
senja yang pekat….
     

  batu sambak,4 februari 85
     Cmst.bts.monta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar