28 Januari 2014

Batas kesedihan tanpa montong tangi

       Montong Tangi 23 januari.        ________

Aku menunggu setengah jam
sampai toko bunga itu buka.
Tapi satu jam kemudian aku
belum berhasil memilih. Tak
ada yang mantap. Penjaga toko
itu sampai bosan menyapa dan
memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk
mencari ke tempat lain, suara
seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan
seorang gadis cantik ,usianya di
bawah 25 tahun. Atau mungkin
kurang dari itu.
”Bunga untuk ulang tahun.”
”Yang harganya sekitar berapa Pak?”
”Harga tak jadi soal.”
”Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku
mengikuti.
”Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain
bunga tulip dan mawar berwarna
pastel. Bunga yang sudah beberapa
kali aku lewati dan sama sekali tak
menarik perhatianku.
”Itu saya sendiri yang
merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak
aku lihat sebelah mata itu berubah.
Tolol kalau aku tidak menyambarnya.
Langsung aku mengangguk.
”Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
”Mau diantar atau dibawa sendiri?”
”Bawa sendiri saja. Tapi berapa
duit?”
Ia kelihatan bimbang.
”Berapa duit.”
”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi
kalau Bapak mau nanti saya bikinkan
lagi.”
”Tidak, aku mau ini.”
”Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
”Tidak. Ini!”
”Tapi itu tak dijual.”
”Kenapa?”
”Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
”Sudah, katakan saja berapa duit?
Satu juta?” kataku bercanda.
”Dua.”
”Dua apa?”
”Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada
bunga berharga dua juta. Dan
bunga itu jadi semakin indah. Aku
mulai penasaran.
”Jadi, benar-benar tidak dijual?”
”Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia
tersenyum seperti menang. Lalu
menunjuk lagi bunga yang lain.
”Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku
keluarkan dompetku, lalu memeriksa
isinya. Kukeluarkan semua. Hanya
900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi
aku taruh di atas meja berikut uang
receh logam.
Dia tercengang.
”Bapak mau beli?”
”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu.
Itu juga berarti aku harus jalan kaki
pulang. Aku tidak mengerti bunga.
Tapi aku menghargai perasaanmu
yang merangkainya. Aku merasakan
kelembutannya, tapi juga ketegasan
dan kegairahan dalam karyamu itu.
Aku mau beli bunga kamu yang tak
dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak
perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
”Bapak perlu berapa duit untuk
ongkos pulang?”
”Duapuluh ribu cukup.”
”Rumah Bapak di mana?”
”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?”
”Memang, tapi dilewati angkot.”
”Bapak mau naik angkot bawa bunga
yang aku rangkai?”
”Habis, naik apa lagi?”
”Tapi angkot?”
”Apa salahnya. Bunga yang sebagus
itu tidak akan berubah meskipun
naik gerobak.”
”Bukan begitu.”
”O, kamu tersinggung bunga kamu
dibawa angkot? Kalau begitu aku
jalan kaki saja.”
”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak
ambil saja uang Bapak 150 untuk
ongkos taksi.”
Aku tercengang.
”Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk
naik Blue Bird, tapi juga cukup
untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan
selamat di bunga?”
”Tidak.”
Dia berpikir.
”Jadi, bukan untuk diberikan kepada
seseorang? Bunga ini saya rangkai
untuk diberikan pada seseorang.”
”Memang. Untuk diberikan pada
seseorang.”
”Yang dicintai mestinya.”
”Ya. Jelas!”
”Sebaiknya, Bapak tambahkan
ucapannya. Bunga ini saya rangkai
untuk diantar dengan ucapan.
Diambil dari puisi siapa begitu yang
terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
”Setuju. Tapi tolong dicarikan
puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya
mengambil kartu.
”Sebaiknya Bapak saja yang
menulis.”
”Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa
lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku
kumpulan sajak. Aku menolak.
”Kamu saja yang memilih.”
”Tapi, saya tidak tahu yang mana
untuk siapa dulu.”
”Pokoknya yang bagus. Yang
positip.”
”Cinta, persahabatan, atau sayang?”
”Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya
ia sudah hapal di luar kepala isi
buku itu. Ketika ia menunjukkan
tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan
sajak Gibran, tapi kalimat yang
ditarik dari sajak Di Beranda Itu
Angin Tak Berembus Lagi karya
Goenawan Mohamad:
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa
kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela
mengaku mendapat inspirasi untuk
bertahan selama 26 tahun di penjara
Robben karena puisi.
”Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan
haru. Air mataku menetes dengan
sangat memalukan. Cepat-cepat
kuhapus.
”Saya juga sering menangis
membacanya, Pak.”
”Ya?”
”Ya. Tapi sebaiknya Bapak
tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan
kartu itu kepadanya.
”Kamu saja yang tanda tangan.”
”Kenapa saya?”
”Kan kamu yang tadi menulis.”
”Tapi itu untuk Bapak.”
”Ya memang.”
Ia bingung.
”Kamu tidak mau menandatangani
apa yang sudah kamu tulis?”
”Tapi, saya menulis itu untuk
Bapak.”
”Makanya!”
Ia kembali bingung.
”Kamu tak mau mengucapkan
selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
”Aku memang tak pantas diberi
ucapan selamat.”
”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
”Ya.”
”Bapak membelinya untuk Bapak
sendiri?”
”Ya. Apa salahnya?”
”Bapak yang ulang tahun?”
”Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
”Kenapa?”
”Mestinya mereka yang yang
mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka siapa?”
”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman
Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau
pacar Bapak…”
”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah
mengganggu kesibukan.”
”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli
bunga untuk diriku sendiri dan
ucapkan selamat untuk diriku sendiri
karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih
dekat ke jangkauannya. Lalu aku
ambil bunga itu.
”Terima kasih. Baru sekali ini aku
ketemu bunga yang harganya 900
ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia
bahwa aku tak marah. Percakapan
kami tadi terlalu indah. Bunga itu
hanya bonusnya. Aku sudah
mendapat hadiah ulang tahun yang
lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko,
dia menyusul.
”Ini uang Bapak,” katanya
memasukkan uang ke kantung
bajuku sambil meraih bunga dari
tanganku, ”Bapak simpan saja.”
”Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia
mengelak.
”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah
dariku untuk Bapak. Dan aku mau
ngantar Bapak pulang. Tunjukkan
saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari
merah yang seperti nyengir di depan
toko.
”Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku
berubah.

Cmst.bts.montong tangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar